Chereads / Luxuria's Penthouse : The Last Devil's Hormone / Chapter 3 - 2 | The Last Devil's Hormone : Daeva

Chapter 3 - 2 | The Last Devil's Hormone : Daeva

Suasana berselimut gejolak hati yang berbaur dengan duka berserta lara di hati, bukan untuk wanita muda itu. Ia bahkan lupa rasanya menangis dan melupakan semuanya lewat air mata. Duka hanya diperuntukkan pada mereka yang punya hati dan kenangan baik bersama pria yang namanya diukirkan dalam batu nisan. Poin pentingnya adalah mereka manusia. Jantung berdetak, darah mengalir, pikiran jernih, dan hati merasakan semuanya. Itulah syarat utama disebut sebagai manusia.

Daeva Desmonav adalah sesuatu yang berbeda. Raganya adalah manusia, tetapi tidak ada satu pun yang berfungsi di dalam dirinya. Ia hidup atas sebuah perjanjian dari Loralei Sang Agung, sebuah perjanjian kuno di tanah Sheol, tempat orang mati. Di dalam perjanjian yang ditulis di atas pasir gaib, menyebutkan namanya bersama Sang Agung. Dia diampuni, lebih tepatnya diberi kesempatan untuk menyalakan tujuh macam batu kuasa, dengan warna pelangi yang indah. Setiap batu punya kuasnya masing-masing. Melambangkan penebusan dosa yang abadi. Setidaknya, Daeva butuh manusia tulus yang akan menghantarkan dirinya pada pengadilan di Little Sweatmeat nanti. Jika dosanya terlalu berat tanpa ada penimbang, surga dan neraka bahkan tanah Sheol pun tak akan mau menrima jasadnya. Bumi menolak untuk mengebumikan seonggok daging dan tulang senilai dengan tumpukan sampah.

--Di pandangnya makam pria tua yang baru saja ditinggalkan pergi oleh keluarganya. Peziarah pulang, sebab sore dan petang akan datang. Mereka cukup berduka sampai di sini. Menyaksikan sebuah upacara sakral kematian yang terhormat adalah hal wajar untuk sekumpulan manusia. Daeva memahami itu, ia hidup hampir seribu tahun berjalan sejak penghakiman di Lembah Sheol.

"Sekarang Anda benar-benar sendiri." Seseorang berdiri di dekatnya. Melirik Daeva lantas mengembangkan senyum yang manis.

Daeva tak berbicara. Ia terus memandang gundukan tanah dengan bunga segar di atasnya. Dialah manusia dengan kematian yang paling menyakitkan, seperti yang disebutkan pada perjanjian. Dari sekian banyak keturunan yang melayani dirinya, hanya pak tua ini yang tulus apa adanya. Kematiannya wajar, tak dibunuh oleh sihir kemarahan yang ada di dalam diri Daeva.

"Bagiamana dengan putra terakhirnya?" Daeva membuka mulut. Ditatapnya sejenak pemuda di sisinya.

"Mr. Hamlet?" Ia merogoh sesuatu di dalam kantung jas yang dikenakan. Memberikan ponsel pada Daeva. "Dia ingin menemui nona muda yang disebut dalam surat wasiat sang ayah, Nona Daeva."

Daeva kembali menatapnya. "Aku?"

"Mr. Jeff Stewart menuliskan sebuah surat wasiat sebelum penyakit jantung merenggut nyawanya. Manusia punya semacam insting, sebelum ajal menjemputnya. Dalam surat itu nama Anda disebut, Nona. Mr. Hamlet terkejut dengan isinya. Jadi dia menghubungiku meskipun sedang dalam suasana berduka."

Daeva diam sejenak. Tak ada yang terucap dalam sepersekian detik berlalu. Tentu saja, baginya, kematian ini bukan hal mengejutkan. Jauh-jauh hari, ia mendapat pesan dari Loralei melalui Decurion. Katanya, ia harus mempersiapkan diri. Jika perlu, Daeva harus menangis sebab itu hal alami yang dilakukan manusia ketika mendengar kabar kematian orang terdekat.

"Aku akan menemuinya langsung. Katakan pada pria itu untuk datang ke kantor Mr. Jeff Stewart." Daeva memutar langkah kaki. Secara bersamaan, portal besar terbuka di depannya. Membuat pria yang ada di sisinya menatap tak percaya. Daeva tak pernah melakukan ini di tempat umum. Biasnya dia hanya akan berbalik dan menghilang. Meninggalkan aroma bunga yang khas, yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata dan kalimat dalam bentuk apapun.

"Sekarang," imbuhnya. Membuyarkan lamunan pria di depannya. Ia masuk ke dalam portal dan menutupnya begitu tubuh ramping Daeva dilahap habis.

••• Luxuria's •••

"Da-Hong Pao Tea." Suaranya ringan terdengar masuk ke dalam lubang pendengaran lawan bicaranya. Seorang pria paruh baya, kiranya berusia kisaran 50 hingga 60 tahunan duduk sembari mendorong secangkir teh yang baru saja diseduh untuk tamunya. Daeva Desmonav.

"Teh ini warisan dari Dinasti Ming dan warisan nasional di Cina. Kau tak akan kecewa dengan rasanya," umbar pria di depannya sembari tersenyum manis. "Aku yakin kita sudah pernah bertemu sebelumnya. Wajahmu tak asing, Nona." Dia memulai. Berhenti untuk berbicara.

"Namun aku baru mendengar namamu setelah pengacaraku membacakan surat wasiat yang ditinggalkan oleh ayahku. Dia punya anak bernama Hamlet Stewart yang mengolah perusahan properti terbesar di kota ini. Dia juga punya seorang cucu yang berusia 30 tahun yang akan menikah tahun depan bernama Delwyn Stewart. Keluarganya masih lengkap, tetapi dia ingin mengembalikan semua properti kekayaan pada wanita asing bernama Daeva Desmonav?"

"Dia ingin Anda melayaniku," sahut Daeva dengan mantan. Ia menarik teh di depannya. Sejenak diam, melirik Mr. Hamlet yang tersenyum kecut. Tentu saja, anak ini tak dekat dengan ayahnya. Dia tak tahu, dari mana kekayaan sang ayahanda berasal. Mr. Hamlet hanya paham bahwa semuanya sudah ada sejak dirinya lahir. Kekayaan ini turun temurun dari keluarga Stewart.

"Melayanimu?" Mr. Halmet tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Daeva terus bersantai dengan teh mahal di dalam gelas. Tenang saja, Daeva bahkan bisa membeli seluruh pabrik teh mahal ini.

"Hei, Nona Daeva. Berapa usiamu?"

Daeva menggelengkan kepalanya. "Aku tak pernah menghitung itu. Tak ada yang pernah bertanya sebelumnya."

"Jangan bercanda, Nona. Jelas-jelas usiaku lebih tua darimu. Kenapa aku harus—"

"Kau tidak dekat dengan ayahmu." Daeva memotong. Meletakkan teh di atas meja. Bunyi dentingan itu menyita perhatian milik Mr. Halmet. "Kau dikirim ke Inggris sejak usia 5 tahun. Kau mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah atas dan pergi ke Jerman untuk kuliah di sana. Kau pulang setelah punya istri dan ayahmu memberikan separuh dari kekayaannya tanpa bercerita asal usul saham Stewart bukan?"

Mr. Halmet menaikkan satu sudut matanya. "Jelas-jelas itu dari kakek buyutku."

"Akulah kakek buyutmu, Verdammt."

Kembali wajah pria itu aneh. Dia baru saja dihadapan dengan orang gila! Begitulah kiranya arti pandangan Mr. Halmet untuknya.

"Kenapa menatapku begitu?"

"Kau masih muda, Nona Daeva. Masa depanmu masih panjang dan hidupmu—" Ucapan Mr. Halmet terhenti tatkala cahaya hijau muncul dari ujung jari jemari Daeva. Berkumpul menjadi satu membentuk bulatan kecil di tengah telapak tangannya. Kejadian yang luar biasa! Mr. Hamlet adalah orang yang realistis. Ia tak mempercayai segala bentuk macam sihir di dunia modern. Namun, dia baru saja menyaksikannya secara langsung.

Daeva menjentikkan jarinya ke atas. Bola hijau itu naik, bak pantulan cahaya. Mengenai atap bangunan dan memadamkan lampu di atasnya. Suasana ruangan gelap seketika. Suara pintu terkunci terdengar kemudian. Panik dirasa menyelimuti diri Mr. Halmet.

"Kekayaan itu berasal dariku, Mr. Halmet. Ayahmu menyembah seorang iblis untuk perusahaan kecilnya di masa lalu. Dia mengabdi padaku." Suara Daeva dari kegelapan mencuri perhatian Mr. Halmet. "Tugasmu hanya melayani dan melakukan apa yang dilakukan oleh ayahmu sebelumnya atau aku terpaksa mencabut semuanya dan memilih manusia lain untuk menghantarkan diriku ke penghakiman terakhir," imbuh Daeva. Cahaya api muncul dari sekujur tubuhnya. Namun, itu tak mengubah suhu ruangan. Semuanya masih terasa begitu dingin.

Mr. Halmet kaku di tempatnya. Kedua lututnya gemetar hebat. Sekarang, ia bak membeku sebab apa yang dilihat oleh sepasang matanya. Sihir itu benar-benar ada! Setan dan semuanya benar-benar ada!

... To be continued ...