Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Luxuria's Penthouse : The Last Devil's Hormone

🇮🇩Lefkiilavanta
--
chs / week
--
NOT RATINGS
38.1k
Views
Synopsis
update setiap hari Senin, Selasa, Kamis, dan Jumat! Penemuan sebuah kitab kuno, Althea-lux pada tahun 1800-an menjadi awal mula sebuah legenda yang menggairahkan untuk masyarakat pesisir pantai tak berpenghuni. Catatan jejak peninggalan seorang penulis tanpa nama membawa sebuah kabar yang mengejutkan untuk semua telinga yang mendengarnya. Ketidaksengajaan menelusuri sebuah bangunan tua yang hampir runtuh termakan usia dan tumbuhan liar di perbatasan Virginia menjadi awal mula kisah ini berasal. Selama bertahun-tahun para peneliti epigrafi memulai perdebatan mereka. Simbol bulan dan hujan, langit awan membentang, matahari berada di atas kepala. Burung terbang mengepakkan sayapnya, mati tertusuk duri dari tumbuhan liar yang ukurannya berlipat-lipat kali lebih tinggi dari seekor gajah. Setiap simbol dan tulisan aneh menjadi beban tersendiri di dalam perannya. Kitab ini diyakini sebagai pertanda akhir jaman, ketika iblis menguasai dunia manusia. Althea-lux adalah perwujudan nyata dari ramalan manusia, yang katanya hidup melebihi kekuasan dewa di dunia. Dia adalah anaknya, anak dewa yang membangkang. Tahun membawa kabar pasal kitab Althea-lux masuk menjamah peradaban manusia yang baru. Peradaban manusia urban dengan teknologi yang paling mutakhir mulai menerjemahkan apa-apa saja yang tak bisa diartikan di tahun-tahun sebelumnya, termasuk sebuah tempat bernama Luxuria's Penthouse. Di tempat inilah, iblis mengendalikan dunia manusia dengan berbaur bersama mereka. ---Luxuria's Penthouse, Greenbank, Virginia---
VIEW MORE

Chapter 1 - Opening : Demon Land 'Sheol'

Sheol - Lembah gersang, penebusan tiga akar dosa manusia.

Little Sweatmeat - unknown, 1.122.

Sang Agung telah berbicara. Mewakili Decurion berjubah hitam dengan penutup wajah, yang menyisakan dua mata merah menyeramkan itu. Waktu penghakiman dimulai. Giring-giring menggentari, memekakkan telinga. Tengah hari adalah waktu yang ditentukan. Surya agung di atas kedudukannya yang hangat berjarak beberapa kilometer dari puncak pegunungan di sisi lembah. Tanah gersang menyimpan panas di setiap butir pasir halus berwarna gelap, terbawa embusan angin yang membadai selepas gong besar dipukul dengan mengerahkan seluruh tenaga. Algojo mengangkat parang bergerigi, melingkar bak bulan sabit di atas langit malam. Wajah seram, bermata hitam memicu reaksi berlebihan dari jantung kala mereka berjalan mendekat.

Targetnya adalah satu pendosa dengan kedua tangan yang diikatkan di sisi tiang besar, membara api yang begitu hebat. Kakinya tak lain ditarik kuat membentuk tanda X dengan ujung jari jemarinya yang meneteskan bulir-bulir keringat. Ada kawah besar di bawahnya. Bergerak sedikit saja, atau saat parang bergirigi menebas salah satu talinya, ia akan direbus di bawah sana.

"Kesombongan!" Suara menggelegar, bak badai di awal musim hujan. Pagar-pagar yang terbuat dari jajaran tengkorak manusia seakan ikut bergoyang. "Ketamakan!" Suaranya terdengar lagi. Tak berwujud, seakan mewakili alam semesta. "Iri hati!" Sekarang, suaranya diikuti dengan ujung anak panah yang diarahkan pada si pendosa. "Kemarahan! Hawa napsu! Kerakusan!"

Ia mendongak ke atas, kilatan petir mewakili suasana mencekam. Tak pernah disangka, dia terbangun di tempat seperti ini.

Tanah mulai bergerak. Memunculkan cacing besar dengan kepala penghisap yang meneteskan darah segar. Bergerak mengelilinginya seakan mencari bagian tubuh mana yang paling nikmat untuk menjadi pembuka hidangan.

"Kemalasan!" Inilah yang terakhir, tujuh dosa manusia genap disebutkannya. Sosok hitam muncul dari celah bulatan yang tiba-tiba datang entah berasal dari mana. Seperti sebuah portal dunia sihir.

"Itulah semua dosa yang menghantarkan dirimu datang kemari." Dialah yang selama ini berbicara.

Angin berembus dengan kencang. Jubah turun dari atas kepala. Terkejut bukan main, saat otak dan seluruh organ di dalam kepala tak dibungkus dengan tengkorak, seperti melayang di udara. Rambutnya dibungkus dengan ular-ular kecil bermata merah dan biru. Sesekali menjulurkan lidah, mendesis pada tahanan.

"S--siapa ...." Ia berkata sekuat tenanga, meskipun sisanya sudah habis dilahap oleh keadaan. Hawa panas semakin terasa, seakan suhu sudah ada di puncaknya.

"Loralei, pemimpin Decurion." Ia berjalan. Langkahnya tak meninggalkan jejak dan suara, padahal jelas-jelas ia menapak di atas tanah lembah gersang. Normalnya, pasir membuar jejak sepatu itu seharusnya ada.

"Daeva ...." Ia menyebut nama dengan begitu agung. Suaranya sumbang, terdengar menggema. Ini bukan ruangan, jangkauannya terlalu luas untuk suara gema.

"Kau akan dihukum."

Seorang wanita berwajah cantik, tubuhnya digerogoti oleh ketakutan yang luar biasa. Bulu kuduk berdiri seketika kala ular-ular dari atas kepala Loralei turun dan berlari mengejar padanya. Naik menjelar, menjadi pengganti pakaian serba putih terkena noda dari dari beberapa luka di tubuhnya.

Ia terheran, terperangah tak percaya kala ular itu membesar. Membelit tubuhnya, seakan ingin meremas. Cacing besar ikut berdiri, membelah kepalanya menjadi dua. Awan menggelap. Udara panas, tetapi hujan turun dengan begitu deras. Hanya untuk Daeva, si pendosa yang punya nomor giliran.

"Kau memenuhi batas tujuh dosa yang ada." Langkahnya kembali. Ia seakan semakin terbang, menaiki anak tangga tak berwujud. "Dosamu terlalu banyak, Nak."

Nak? Ya, baru saja wanita cantik dengan penampilan menyeramkan itu berubah menjadi wanita tua berambut panjang dan jubah putih bersih yang tersapu oleh angin di sekitarnya. "Sheol, neraka dan surga, Little Sweatmeat ... tidak menerima sebab tak ada doa yang meringankan bebanmu."

Ia memutar ujung jarinya. Di sisi sana, sebuah layar besar, lebih tepatnya portal menampilkan rekam jejak yang tak asing untuknya.

"Kau pendekar, pelayan, prajurti, anak dari puluhan ibu dan ayah, kakak, saudara, dan manusia." Ia menuturkan. Menyebutkan satu persatu perannya selama di dunia. Bibirnya merampalkan mantra. Cahaya hijau tua keluar dari atas telapak tangannya. "Namun, tak satupun peranmu punya kebaikan di sana. Tak ada doa yang mengiringi kepergianmu."

Ia hanya diam. Matanya terus menitik pada rekam kilas balik kehidupannya. Kini ujung kepalanya tak lagi merasakan hujan badai yang menyakiti tubuhnya, melainkan ular yang menjalar membawa panas api membelai permukaan kulitnya. Gadis itu merintih. Melirik bagian tubuhnya yang baru saja dilalui oleh ular api. Namun, neraka tak membiarkan dirinya mati begitu saja. Siksaan akan tetap berlanjut.

"Kau membunuh banyak orang ... kau menyelematkan nyawa banyak umat, memberi kasih, memberi dusta ... kau melakukan semuanya." Suara itu semakin agung terdengar. Masuk ke dalam lubang pendengaran yang kini mulai berdegung hebat.

Kilatan hijau muncul dari atas langit, membelah kegelapan di atas awan. Hawa dingin menyapu setiap inci bagian tubuh, salju tiba-tiba saja muncul dari atas sana. Suasananya sekarang jauh berbeda. Tak ada yang masuk akal di sini.

"Di--" Celah bibir keringnya terbuka. Matanya sayu-sayu memandang sosok besar di depannya. Ingatannya dibawa kembali, ia sadar bahwa tak seharusnya dirinya masih bisa merasakan tubuhnya sendiri. Perang perbatasan merenggut nyawanya. Tangan kirinya lepas dan kakinya patah. Anak panah menembus jantungnya, ingatan itu semakin kental tatkala sesosok tubuh jatuh dari atas langit.

Itu dirinya! Lebih tepatnya disebut sebagai mayat dirinya.

"Dimana aku berada?" Napasnya terengah-engah. Sesekali mengembuskan napasnya panjang, sesak di dada kian terasa.

"Sheol!" Suara berteriak lantang. Sosok hitam besar di depannya tak lagi berwujud manusia. Entahlah, disebut apa itu. Terlalu begitu semu dan menyeramkan. Hanya ada pedang panjang yang mengarah padanya sekarang.

"Terimalah hukumanmu, Nak! Kau adalah Hamba Tuhan yang tak patuh!" Ayunan pedang itu terasa nyata. Sheol? Ya, dia tahu tempat apa ini. Mengapa tubuhnya ada di sana, dan ruh-nya berdiri terikat di sini.

"Kesombongan, ketamakan, iri hati, kemarahan, hawa napsu, kerakusan dan kemalasan!" Ucapannya terhenti. Butir pasir yang mengudara mulai turun kembali ke tanah. Udara mulai normal. Hawa tak lagi dingin, tetapi panas dalam batas normal. Cacing hitam menyeramkan yang berusaha melahap kepalanya kembali tenggelam di dalam tanah. Ular lenyap, dibakar api.

Kawah yang di bawahnya tak lagi mendidih. Sihir mengendalikan semua ini. "Hukumanmu .... dimulai dari sekarang," katanya. Lirih, sangat lirih.

Belum sempat ia menjawab. Pedang mengarah padanya. Membelah kepala hingga sampai ke ujung kakinya. Hawa panas menggerogoti. Pikirannya riuh dengan suasana pandangan yang kacau. Bulu kuduknya berdiri hebat, ngeri melihat tubuhnya sendiri. Ia mengerang hebat, rasanya sakit luar biasa. Tak kunjung berhenti. Aneh saja, padahal tubuhnya sudah terbelah menjadi dua. Namun, ia tak mati. Hanya merasakan rasa sakit yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata.

Tak ada kata yang bisa terucap. Sepersekian detik kemudian, cahaya hitam menelan tubuhnya. Pandangan buram, sebelum akhirnya ia tak lagi melihat cahaya apapun. Dunia Sheol hilang begitu saja. Ia ditelan oleh kegelapan. Suara-suara di sekitarnya bak melodi yang membuatnya tertidur. Ia tak bisa menahannya. Kantuk melahap semua memori buruknya di tanah iblis.

... Bersambung ....