Dina mengeluarkan bulir bening. Ia tidak menyangka dengan apa yang menimpa anak laki-lakinya. Yang lain juga memiliki ekspresi wajah yang sama.
"Rayaaaaaan!" jerit Nadia.
Nadia memeluk jenazah. Sedangkan, Dina hanya menatap. Dinda hendak membuka penutup putih. Namun, beberapa orang yang tidak dikenal memasuki kamar jenazah.
"Kalian siapa?" tanya seorang wanita.
"Apa kalian mengenal adik saya?"
Keluarga Rayan saling menatap satu sama lain setelah mendengar pertanyaan dari seorang wanita muda yang cantik.
"Adik?" Dinda membuka kain putih yang menutupi wajah jenazah. Semuanya bernapas lega ketika mengetahui bahwa Rayan masih hidup.
"Wah, gila!" Umpat Rayan kepada bus yang nyaris merenggut nyawanya.
Dina, setelah mengetahui bahwa kemungkinan besar jika Rayan masih hidup, menelepon Rayan beberapa kali. Dina, Dinda, Nadia dan Cindy lekas kembali lagi ke rumah.
"Udah jam segini, bukannya kasih kabar," pikir Hilmi. Hilmi merasa ada yang aneh dari sikap Dina. Biasanya, Dina selalu memberi kabar jika telah sampai di tempat yang dituju.
"Cariin gak ya?" Sedikitnya, Amel merasa kasihan kepada ibunya yang terus mencari Rayan. Amel hanya bisa menghubungi Rayan. Namun, tidak ada jawaban apa pun.
"Mah, gimana, Rayan udah ketemu?" Amel menghubungi Dina.
"Belum. Kamu gak kasih tau Papah kamu kan, kalau Rayan hilang lagi?"
"Kenapa Papah gak boleh tau Mah?"
"Kamu kaya gak tau aja gimana sikap Papah ke Rayan," cetus Dina.
Rayan menemui Gilang dan Maman lagi. Mereka berbincang tentang hal yang terjadi. Lebih banyaknya, Rayan menceritakan jika dia hampir tertabrak bus.
"Emang bisnya gak klakson?" tanya Maman.
"Mana bisa bis klakson sendiri. Supirnya kali," timpal Gilang.
"Nah, Maksud gue begitu bego," tutur Maman.
"Eh, tapi, tadi siapa yang laporan ke polisi ya?" Rayan masih bingung. Biasanya, tidak pernah ada polisi yang mengetahui tentang balapan liar mereka.
"Temennya Cintya kali. Takut kalah dia," tebak Gilang. Maman yang sedang makan langsung tersedak.
"Eh, ngapa dah lu? Ni minum dulu." Rayan menyodorkan air mineral kepada temannya itu.
Dina panik ketika suaminya mengirim pesan akan menyusul ke Bandung, "Mah, Papah nyusul ya ke sana."
"Aduh, gimana ini," kata Dina.
"Kenapa Din?" tanya Nadia.
"Hilmi mau nyusul ke sini Kak. Aduh, bahaya nih kalo Hilmi tau," terang Dina.
"Semoga aja atuh si Rayan teh cepet pulang ya. Biar pas Hilmi nyampe Rayan juga udah ada."
Dinda sedikit mengancam Gilang, "Gilang, aku tau ya kamu lagi sama adikku, Rayan. Kalo kamu gak akan kasih tau dimana Rayan sekarang, aku bakalan datangin rumah kamu."
Gilang yang membaca pesan dari Dinda, langsung melirik ke arah Rayan.
"Gue bales jangan ya," batin Gilang.
"Tapi, kalo gue bales, ntar Rayan marah. Tapi, gue gak mau juga sih Kak Dinda datangin rumah gue," pikirnya.
"Mau kemana lu?" Rayan mengerutkan kening, saat Gilang hendak pergi.
"Biasalah, mau teleponan Ama cewek,"
"Hallo, kamu lagi sama Rayan kan? Kalian dimana hah? Ngelakuin hal yang aneh-aneh kan?" Baru saja menjawab panggilan dari Dinda, Gilang sudah dimarahi.
"Sssssssst! Pelan-pelan ya Kak. Pertama, Rayan memang lagi sama aku. Kedua kita lagi di Jakarta. Yang ketiga, kita gak ngelakuin hal yang macem-macem kok." Gilang menjawabnya dengan suara yang sangat pelan.
"Suruh Rayan pulang sekarang juga!" titah Dinda.
"Oke, aku akan suruh Rayan pulang, tapi, Kak Dinda jangan bilang kalo aku yang kasih info ya."
"Iya!" bentak Dinda.
"Janji dulu Kak," jawab Gilang.
"Iya, aku janji."
Setelah menutup sambungan telepon, Gilang menyuruh Rayan untuk kembali ke Bandung, "Ray, mending lu balik ke Bandung deh. Kayanya keluarga lu udah nyariin."
"Tumben lu ngingetin gue balik. Bentar lagi gue balik kok. Ngabisin kopi dulu," ucap Rayan.
"Lu mah ngusir Rayan kali," ujar Maman.
"Ya sedikit sih," jawab Gilang.
Nico sangat kesal ketika Amel mengatakan dengan jujur bahwa Amel memberikan nomor ponselnya kepada seorang pria.
"Kamu jangan marah-marah dong. Aku capek ngejar kamu. Aku balik ke kosan ya," Amel mengirimi Nico pesan.
"Balik aja sana ke cowok yang kamu kasih nomor hp."
Amel merasa gemas kepada Nico yang bersikap cemburu kepadanya, "Ih cemburunya gemes banget."
"Mah, Gilang udah ngaku kalo dia lagi sama Rayan. Tapi, Gilang bilang jangan kasih tau ke Rayan kalo dia yang udah bilang ke Dinda," jelas Dinda.
"Di Jakarta? Alhamdulilah!" ungkap Dina.
"Dinda juga udah bilang sama Gilang, buat suruh Rayan cepet-cepet pulang." Sekali lagi, Dina bisa tenang mendengar bahwa Rayan dalam keadaan yang baik-baik saja.
Dinda lalu mengirimi Gilang pesan, "Kalau Rayan udah pulang, kasih tau. Kalau bisa sekalian fotoin!"
"Iya Kak."
Gilang menuruti perintah dari Dinda. Juga, dari arah belakang, Gilang memotret sahabatnya. Dalam pesan, Gilang menuliskan, "Laporan dikirim."
"Hil, ada Dina atau Dinda gak?" tanya Kak Ani.
"Aku lupa, sekarang kan waktunya giliran jaga Ibu. Mana Dinda sama Dina belum pulang lagi." Hilmi menepuk kening.
"Biar Ibu, Hilmi yang jaga ya Kak. Hilmi ke sana sekarang." Hilmi berputar arah. Ia tidak jadi pergi ke Bandung. Hilmi pergi untuk menjaga ibunya yang sedang sakit.
"Ibu udah tidur sih. Tapi, istrimu mana Hil?" Ani bertanya ketika Hilmi telah tiba di kamar pasien.
"Dina sama Dinda lagi pergi ke Bandung. Mereka kayanya lupa ngabarin lagi deh. Gak ada kabarnya lagi sampe sekarang," terang Hilmi. Hilmi memotret mertua Dina. Hilmi juga mengirimkannya kepada Dina.
"Kamu gak kangen Ibu?"
"Sekarang kan udah waktunya gantian jaga Ibu. Kayanya, Papah yang gantiin posisi aku. Mana besok kerja Papah kerja pagi lagi," batin Dina. Namun, Dina masih belum bisa menghubungi suaminya, sebelum Rayan kembali.
"Mah, Rayan udah dalam perjalanan pulang nih." Dinda memperlihatkan foto Rayan.
"Papah menghubungi Dinda gak?" tanya Dina. Dinda mengangguk.
"Iya Mah tadi. Tapi, Dinda jawab kalo Mamah udah tidur. Soalnya, Papah pasti khawatir Mah."
"Gimana Buk, yang tadi teh keponakan Buk Nadia bukan?" Tetangga Nadia yang memberitahukan informasi mendatangi lagi kediaman Nadia.
"Untungnya teh bukan. Aduh, mana saya teh udah malu,"
"Malu kenapa atuh?" tanya tetangga Nadia.
"Nih, dengerin ya, kan kita semuanya teh dibawa ke ruangan jenazah. Pas gitu deh panik atuh da kata perawatnya juga yang kecelakaan dibawa ke rumah sakit teh udah meninggal. Saya peluk tuh jenazah. Eh tiba-tiba ada yang masuk terus nanya kalian kenal adik saya? Pas dibuka penutup putihnya teh. Eh, bukan keponakan saya ternyata."
Panjang lebar Nadia menjabarkannya. Tetangga Nadia tertawa. Tiba-tiba terselip pertanyaan, "Masa main peluk aja, kalo nanti tiba-tiba nge-datengin gimana?"
"Ya jangan sampe atuh ih amit-amit," Jawab Nadia. Tiba-tiba, dari arah dapur terdengar bunyi yang kencang. Mereka berdua saling menatap. Nadia berkata, "Paling tikus."
Tetangga Nadia pamit untuk pulang, "Punten, saya mau pulang dulu."