Chereads / Badboy Vs Jenius Girl / Chapter 1 - Pindah Ke Kampung

Badboy Vs Jenius Girl

Christal_Queen98
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 34.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Pindah Ke Kampung

"Maju lo anjing! Sini!"

Perkelahian masal antar sekolah itu dimulai. Kebanyakan dari mereka membawa senjata tajam untuk menyakiti musuh.

"Anjiiiir sakit," batin Rayan.

Ia tidak ingin terlihat lemah dihadapan para teman-temannya. Padahal, darah bercucuran dari bagian kakinya. Rayan terus memukuli siswa dari sekolah lain walaupun, jalan dengan kaki yang terseok-seok.

Maman memepah Rayan. Maman mengusulkan, "Yan, ini sih parah. Lu harus dibawa ke rumah sakit,"

"Kagak mau gue. Ntar gue diceramahin ama nyokap gue,"

Rayan tidak mau keluarganya khawatir tentang kondisi jari kakinya yang hampir putus. Namun, Rahmat memberitahu kepada orang tua Rayan tentang kondisi Rayan.

"Rayaaaan!"

Tiba-tiba, orang tua Rayan menjemput Rayan ke tempat perkumpulan Rayan dan teman-temannya. Mereka langsung membawa Rayan ke rumah sakit.

"Kita harus lekas memindahkan Rayan ke kampung halamanku. Pergaulan ibu kota sangat tidak bagus untuk Rayan."

Wanita cantik yang tengah duduk di sisi ranjang pasien memohon kepada suaminya. Pria berkumis tebal dan memiliki postur tubuh yang tinggi besar itu sangat khawatir. Ia bertanya, "Lalu siapa yang akan mengurus Rayan?"

"Ada Kak Nadia yang akan mengurus Rayan," jawab ibu dari Rayan.

"Rayan tidak mau pindah, Mah, Pah," kekehnya meminta untuk terus melanjutkan pendidikan di ibu kota.

"Gimana nih, kayanya si Rayan mau dipindahin ke kampung," terang Gilang sembari mengompres luka di wajahnya.

"Mana Rayan ketua lagi," imbuh Maman.

Ayah Rayan mengambil ancang-ancang untuk menyakiti anaknya sendiri. Namun, ibu Rayan melindungi Rayan dengan memeluk Rayan. Dengan mata yang berkaca-kaca, ibu Rayan membentak, "Rayan masih terluka, Pah."

Banyak pasien yang melirik ke arah keluarga Rayan. Ditambah melihat ibu Rayan yang menangis.

"Ray, kalau Rayan sayang sama Mamah, Rayan nurut aja ya," bisik ibu Rayan.

Dielusnya anak lelaki satu-satunya. Setelahnya, kedua orang tua Rayan berdiskusi di luar kamar pasien.

"Anaknya aja nolak untuk pindah. Kalau kamu memaksa, takutnya jadi lebih parah," sungut ayah Rayan.

"Kalo Rayan masih di Jakarta, dia akan terbawa sama pergaulan yang gak benar, Pah!"

"Pokoknya, Papah gak setuju, Mah, apalagi Rayan tidak tinggal bersama kita."

Bukan tanpa alasan, ayah Rayan tidak menyetujuinya. Ayah Rayan tidak mau jika Rayan tinggal dikampung. Gengsi kepada tetangga dan teman-temannya lebih besar daripada keselamatan nyawa Rayan.

"Sekarang, jari kaki yang harus dijahit. Mamah takut Pah, jika besok-besok Rayan pulang hanya tinggal nama."

Ibu Rayan menyenderkan kepala dipundak suaminya. Ayah Rayan berusaha untuk menenangkan. Akhirnya, Ayah Rayan luluh dengan air mata istrinya. Tante Rayan menelepon karena cemas.

"Hallo Din, gimana keadaan Rayan sekarang?"

"Rayan udah dijahit Kak. Dina ada rencana buat memindahkan Rayan untuk bersekolah di sana. Boleh gak, Kak?"

"Tentu boleh dong. Jadi kapan rencananya?"

"Dina mau mengurus surat kepindahan dulu. Mau membicarakan juga dengan pihak sekolah."

Dina dan suaminya mendatangi sekolah Rayan. Guru-guru mengatakan jika Rayan sering membolos. Bahkan, selama satu bulan terakhir, Rayan hanya bersekolah selama dua hari.

"Ini rapot dan hasil ulangan Rayan." Wali kelas menyodorkan rapot milik Rayan. Terlihat banyak sekali nilai-nilai yang kebakaran.

"Pah, jangan memarahi Rayan ya, saat kita sudah kembali ke rumah," pinta ibu Rayan.

Maman dan Gilang menjenguk Rayan. Mereka sengaja pergi ke rumah Rayan saat orang tua Rayan tidak ada di kediaman.

"Cepetan bantuin gue keluar dari sini!" Rayan meminta Maman dan Gilang untuk membantu dirinya melarikan diri.

"Gue gak bisa Yan. Ntar kita diamuk sama keluarga lo gimana?" tutur Gilang.

"Ema Bapak lo udah datang lagi," jelas Maman ketika mengintip ke luar jendela.

"Eh, tungguin gue juga mau kabur," bentak Rayan ketika melihat teman-temannya terlebih dulu melarikan diri.

Rayan tahu betul, kedua orang tuanya akan menasihati dirinya ketika sepulangnya mereka dari sekolah. Ia memilih untuk berpura-pura tidur. Bukan hanya teman-teman yang menjadi alasan Rayan tetap bersikuku tidak ingin pindah. Kekasih adalah alasan utamanya.

"Ray, bangun dulu ya. Mamah sama Papah mau ngomong." Dengan hati-hati, Dina membangunkan Rayan.

"Rayan ngantuk, Mah," ucap Rayan.

"Yaudah, kalo gitu. Besok Rayan siap-siap ya ke rumah Bude," ungkap ibu Rayan sembari mengusap punggung Rayan.

Amel, kakak pertama Rayan datang ke dalam kamar Rayan. Ia melemparkan beberapa roti ke wajah Rayan lalu, meledek Rayan, "Banyak tingkah sih. Begini kan jadinya."

"Berisik lu! Sono pergi!"

Sedangkan Dinda, kakak kedua Rayan memerhatikan bekas jahitan Rayan. Dinda amat khawatir tentang adiknya itu.

"Kamu gak perlu jenguk aku lagi. Aku gak papa kok."

Rayan membalas pesan dari Nindia, kekasih yang sangat tidak ingin Rayan jauhi.

"Masih sakit?" tanya Dinda.

"Udah enggak kok."

"Nanti, di rumah Uwa Nadia sekolah yang bener. Jangan bolos melulu." Dinda memberikan Rayan nasihat.

"Lah, sekolah itu di sekolahan Din. Bukan di rumah," cetus Rayan.

"Ngelawak ya. Jangan panggil gue Dinda. Kakak!" Dinda mencubit lengan Rayan.

"Iya, kakak."

"Kumpul dululah, buat perpisahan," pinta beberapa teman Rayan dalam obrolan grup.

"Gak bisa bego! Gue besok udah langsung dibawa,"

Nindia memaksa Rayan untuk menemui dirinya. Rayan merasa sedih karena tidak bisa bertemu dengan Nindia. Rayan menenangkan hati Nindia dengan kata-katanya, "Sekolah kan ada liburnya. Kalo libur, aku pasti balakan nemuin kamu kok."

Rayan mengemas beberapa baju dan barang-barang yang akan dia bawa. Dia mengirimi kakaknya pesan masuk bahwa dia dan Rayan akan berangkat ke Bandung.

"Bye anak badung!" lontar Amel ketika akan berpisah dengan Rayan.

"Yang rajin sekolahnya," ucap Dinda.

"Hati-hati Yan." Gilang dan beberapa teman mengirim pesan kepada Rayan.

Dina dan suaminya mengantarkan Rayan menuju sebuah kampung. Kampung halaman yang akan membuat Dina bernostalgia. Kedatangan keluarga Dina sangat disambut hangat oleh Nadia.

"Rayan, coba Uwa liat bekas jahitannya."

Rayan memperlihatkan jari kakinya. Dina menceritakan tentang kejadian yang membuatnya cemas itu.

"Kemarin, temannya Rayan datang ke rumah Kak. Dibilangin kakinya Rayan mau putus. Paniklah kita. Dina sama Hilmi Langsung samperin Rayan," terang Dina menjabarkan.

"Belum lagi, nilai rapot Rayan. Bilang geleng-geleng Kak." tambah Dina. Hilmi tidak banyak berkata. Ia terlalu marah dengan perilaku Rayan.

Rayan hanya mengerucutkan bibir. Ia merasa kesal harus tinggal berjauhan dari teman-teman dan juga sang kekasih.

"Tuh kan, kalo udah begini kan tetep aja keluarga yang urusin. Bukan temen, janganlah tawuran-tawuran! Gak ada gunanya. Mending cari banyak temen. Musuh mah jangan dicari!" Tante Rayan menambahkan nasihat.

"Yaudah, Rayan istirahat dulu ya sana di kamar atas. Perjalanan dari Jakarta-Bandung kan jauh. Pasti Rayan capek." titah Nadia.

Rayan pun, menuruti perintah tantenya. Ia menaiki anak tangga. Setelahnya, membuka pintu.

"Aaaaaaaah!"

Dari kamar yang akan ditempati Rayan, terdengar jeritan seorang perempuan.