Selamat Membaca
A Iman tidak mengalihkan pandangan dariku sedikit saja. Terlihat di matanya begitu banyak amarah, sementara aku masih saja menunduk. Belum berani menjawab pertanyaan yang terus ia lontarkan. Sesekali Teh Aini menenangkan, tapi malah kena amarahnya juga. Aku semakin bersalah karena telah melibatkan calon kakak ipar.
"Aku tidak habis pikir dengan tingkahmu ini, Arina," tuturnya, masih sama dengan nada yang meninggi. Ternyata, belum reda marahnya.
"Maaf, A."
Hanya kata maaf saja yang berani keluar dari mulut. Rasanya sulit sekali untuk bicara, juga menerangkan semua kejadian malam itu. Ahh ... aku pun sudah tak mau mengingat kejadian menjijikan yang berhasil membuat rahim ini berpenghuni.
"Apa jangan-jangan kamu berhijab seperti sekarang hanya karena ingin menutupi aibmu, Arina," sentak A Iman, mengejutkanku.