Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 52 - Sajak Alkisah

Chapter 52 - Sajak Alkisah

Alkisah semula1

Menyerupai tak pernah serupa

Daging menjadi tubuh

Dari tanah asal diri

Api yang menyebabkan angin

Berbaur langit menjadi cahaya

Lebih tinggi langit atas kepala

Matahari berpijar ubun-ubun

Membakar rambut hingga kulit tengkorak

Masih ada tujuh rupa warna nirwana

Dari darah dan gumpalan

Berasal dari kejadian suci kewajiban

Antar yang di sebut suami dan istri

Setidaknya mengertilah setetes air hina

Yang mengerti belum tentu paham

Apa itu menjadikan yang di jadikan

Apa itu yang membuat dan yang dibuat

Semua bukan milik kita

Bahkan kita melihat dunia pertama bertelanjang tubuh

Karena itu tidak ada apa-apa

Dan tek berbentuk jua

Kosong adalah isi dan isi adalah kosong

Semua sirna hampa tak memiliki bentuk jua

Serupa tapi tak sama

Ikhwal tubuh dan bayangan adalah aku

Sang pemilik bayangan adalah Maha Aku

Bila semua ada tak ada aku tak berarti kejadian

Yang semula hidup bakal mati

Yang bernyawa keseluruhan bakal tiada

Yang semula ada bakal tiada juga

Yang ingat belum tentu bisa

Yang bisa belum tentu paham semula

Ikhwal semula aku adalah titik

Dalam maha luas alam semesta

Dan hanya debu kecil teramat kecil di lihat dan di rasa

Mengertilah alkisah semula

Yang menjadikan dan yang dijadikan

Saat ada lalu tak ada dan kembali ada

Bahkan bila baka adalah tujuan

Maka fana adalah sebuah wadah dan sarana

Bila tanah adalah tempat tumbuh

Maka langit adalah sebagai rumah

Begitu terus perumpamaan di mulaikan

Dari Aku menjadi aku lalu tiada ku kembali menjadi Aku

***

Begitulah sair keresahan hati siang ini saat takbir zuhur berkumandang dan terbentang alam hati memanggil dengan respons otomatis. Saat lafaz azan dari bibir hitam nan basahnya air suci permulaan salat di kumandangkan.

Sejuk dikalbu namun selalu getaran dahsyat di dada begitu terasa. Dan alam otak memanggil-manggil berkata dalam jiwa, "Hentikanlah seluruh kesibukan dunia dan mari sujud pada Sang Rabana."

Ah aku rasa semakin hari semakin berat saja dunia ini dan masa pandemi yang tiada henti membuat kami para pedagang harus berjibaku berjuang hanya sekedar untuk makan. Sore ini bakda Ashar pukul 15:25 menurut waktu di desaku.

Ya sudahlah terlalu lelah aku hari ini tentang berjuang atas harta yang berlebih setidaknya Gusti Allah memberiku cukup untuk makan esok hari dan membeli sebungkus rokok seperti biasanya sudah terucap Alhamdulillah di hati ini.

Andai kala di Jakarta aku sudah mengerti apa itu menghargai sejumlah rezeki yang ku dapatkan. Tentu hari ini aku sudahlah berjaya tak terus menerus berusaha untuk tetap hidup.

Ya biarlah memang dahulu adalah kisah cerita di Jakarta. Yah Sukanta andai waktu itu aku dapat menolongmu tentu lain cerita sebab kau yang selalu mengingatkanku untuk sekedar menyisihkan rezeki yang kita dapat setiap malam terminal.

Melangkahku malas dan gontai menuju sebuah tempat kalau orang Jawa bilang Padasan atau tempat berwudu di sudut rumahku sebelah sumur rumah. Dengan Bismilah dan basuhan air dari kran Padasan arau tempat berwudu di mulai dari ujung kuku sampai berurutan sesuai yang disyariatkan.

Lalu setelahnya ku tengadahkan tangan berdoa dengan lantunan doa setelah wudu. Ku gelar kembali sajadah warna biru yang dahulu aku beli kala jalan-jalan sore di area depan Pondok Pesantren Kiai Haji Hasyim Ashari Tebu Ireng Cukir kota Jombang.

Empat rakaat terselesaikan sudah kembali melipat sajadah lalu duduk di ruang tamu untuk sedikit menikmati segelas kopi sisa tadi siang. Mencoba mengingat kembali semua kenangan kala Jakarta menggoda akan segala kemolekan dan kecantikan dan sebuah daya tarik besar dengan sebuah iming-iming.

"Hiduplah di kota Jakarta maka kamu akan sejahtera."

Tapi itu sudah berlalu terlalu lama bahkan jauh lama sekali sehingga menjadi kenangan dan album hitam agak tebal dan besar yang kini telah kupegang di tangan kanan.

Ku buka kembali sebuah lembar di mana aku telah bersama Moza Mustafa. Seorang janda muda dari kota Lamongan Jawa Timur. Mbak Moza bekerja sebagai tukang pijit terapi di Hotel Mariot di mana dulu temanku oh bukan sahabatku Sukanta bekerja.

Terkadang ia seharian tak pulang sebab banyak pelanggan yang kecapean badan dan ingin di pijat oleh Mbak Moza. Dan pernah iya katakan gaji sehari kerja melebihi dari seratus ribu bahkan bisa lebih kalau lembur dan pasien sedang banyak-banyaknya.

Sempat aku berpikir negatif tentang pekerjaan pijit-memijit Mbak Moza di dalam kamar hotel bertingkat 23 lantai itu. Sebab sangat riskan akan lelaki hidung belang yang begitu saja kurang ajar melihat kemolekan tubuh Mbak Moza yang begitu putih dan halus.

Tapi urung ku pikir ku tepiskan biarlah menjadi masalah Mbak Moza. Dan suatu hari terungkap siapa yang menusuk Sukanta dia adalah komplotan preman dari mantan suami Mbak Moza.

Dan sudah pula di tangkap bersama komplotannya oleh pihak yang berwajib. Kala itu aku bertambah menyesal karena tidak ada di tempat kejadian saat Sukanta menghembuskan nafas terakhirnya.

Terkenang sebuah malam di mana aku begitu terpukul dan Mbak Moza begitu merasa bersalah sebab mantan suami ya lelaki yang ku buat tak sadarkan diri sekali jurus. Saat pagi hari pukul tiga pagi membuat gaduh depan pintu kosan ku itu.

Ternyata ia adalah mantan suami Mbak Moza. Mereka sudah berpisah setahun yang lalu sebab Mbak Moza tak kuat dengan perilakunya yang tak mau bekerja dan hanya meminta uang hasil jerih payah Mbak Moza untuk minum-minum dan mabuk dan judi.

Tetapi si lelaki tak mau berpisah sebab hanya Mbak Moza yang dapat ia peloroti untuk diperas uangnya. Sebagai bekal ia bersenang-senang di dunia malam Jakarta.

Saat menusuk Sukanta sebenarnya bukan Sukanta tujuan dan sasarannya. Tapi aku berhubung ia tahu Sukanta temanku. Saat menemui Sukanta dan menanyakan dimana aku berada tapi tak ada jawaban dari bibir Sukanta sepatah kata pun.

Akhirnya mereka berkelahi dan keadaan yang tak seimbang. Sukanta kalah jumlah akhirnya tumbang jua dan satu belati pas menembus dadanya sebelah kiri agak bawah, pas di uluh hati sehingga berpulanglah Sukanta hembuskan nafas terakhirnya di bawah langit malam dan di bawah atap pasar kue subuh sebelah pojok utara.

Malam ini Mbak Moza sengaja mengajakku ke dalam kamarnya mengajakku berdiskusi tentang segelas kopi pahit dan tentang Ikhwal meminta maaf akan perbuatan sang mantan suami.

"Maafkan atas yang dilakukan mantan suamiku Dek Pen sehingga menghilangkan nyawa sahabatmu Sukanta," ucap Mbak Moza memandangku dengan mata berkaca-kaca dengan penyesalan.

"Mbak tek perlu meminta maaf semua sudah terjadi dan yang bersalah bukan Mbak Moza melainkan sang mantan suami Mbak Moza. Lagian dia sudah dipenjara Mbak dengan ganjaran sepuluh tahun tentu tidak setimpal dengan rasa sakit atas kepergian Sukanta tapi polisi tentu telah menimbang baik dan buruknya," ucapku sambil menghisap rokok di tangan.

Tiba-tiba Mbak Moza memelukku dengan erat sambil menangis. Lekas ku tutup pintu kosan yang semula tak tertutup sempurna agar orang tak mendengar tangisan Mbak Moza.

Dan kisah aku dan Mbak Moza terjadi. Sebuah kisah kembali penyakit bejatnya hati bersahut syahwat bejat dan otak gila akan melihat kemolekan Mbak Moza malam itu kami. Aku dan Mbak Moza saling memadu kasih di temaram lampu hias dalam sepetak kosan kamar Mbak Moza.

Bagai kupu-kupu menari Mbak Moza sanggatlah ahli dalam permainan di atas gelap menyeruak dan hanya sekilas-sekilas cahaya redup lampu hias menyorot lekuk. Kami begitu berkeringat walau hari tengah dingin-dinginnya.