Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 53 - Asmara selimut putih

Chapter 53 - Asmara selimut putih

Kala malam itu sebuah kisah yang sangat terkenang di awang kenangan. Bahkan lembaran tulisan kisahnya ku tulis pada album kenangan bertinta warna merah jambu dengan kertas wangi melati.

Bahkan saat aku kembali menceritakan kisah ini atau sekedar mengingatnya sejenak. Raut mukaku berubah menjadi abu-abu dan sering kali aku tersenyum sendiri.

Sebuah kisah di balik sepetak kamar kosan tiga kali empat meter berdinding triplek tiga centimeter. Saat aku menikmati harum tubuhmu, saat aku mengecap indah merah merekah bunga-bunga manis di atas gemantung warna bibir. Saat aku menikmati manis rasa madu dari sari murni jiwa dan ragamu.

Malam itu kau dan aku adalah kita di bawah atap kosan sebelah kamarmu. Kau hanya bermuka teduh dengan mata agak mengaduh dan bibir terus meracau sambil berkata teruskanlah saja. Kadang kita bertukar lidah atau manisnya air keruh yang keluar dari tenggorokan.

Kadang kita saling berbisik dari kata nikmat. Kadang kau melenguh mendongak kepala terlalu menghayati polanya. Hingga tiada burung yang bersuara mungkin mereka hanya menjadi saksi antara kita saat memadu kasih.

Hingga rembulan tak mau tampak, seakan hanya mengintip di sela-sela awan kadang sekali melihat. Iya rembulan seakan malu bermuka merah jambu melihat kemesraan kita berdua.

Sekali kau berbisik pada telinga dengan nafas terengah setengah meninggi tak tersadar apa yang terjadi, "Terima kasih Dek Pen sayang," lalu kau begitu pasrah tak berdaya melawan.

Dan aku semakin semangat membuat pola-pola serangan dan terus meluncurkan mortir atau granat yang tajam tapi tak melukai walau meledak di dalam tubuh. Setelah lima kali penyerangan dan pada akhirnya kau menyerah takluk di bawah dekapanku. Kuusaikan sudah tentang perang di dalam selimut malam.

Dan aku berbisik di telingamu manja, "Apa masih mau lagi Mbak Moza?" dan kau hanya tersenyum puas seakan semua rasa lelah hilang sirna di wajahmu yang payau ranum sekali bagai buah stroberi atau semangka segar yang baru di petik.

Malam itu sungguh hanya malam itu aku benar-benar merasakan malam minggu sebenar-benarnya surga kala malam minggu. Ku kecup sejenak namun agak lama di keningmu. Dan kau membalas dengan pelukan erat di tubuhku. Dan kita adalah satu selimut berdua, dan kita adalah satu bantal berdua, dan kita yaitu aku dan kau satu alas kasur berdua.

Tapi entah malam itu sudah kau rencanakan sejak lama atau memang tanpa sengaja tetapi kebahagiaan malam minggu berubah agak canggung saat kau ungkapkan ingin pulang ke kampung halaman. Untuk merawat sang ibu yang sudah tua dan sakit-sakitan dan jua ingin membesarkan putri kecil kesayanganmu.

Sambil memelukku dan sama-sama di atas kasur tertidur sebab lelah berdua dan berpeluh keringat kita kau membisikkan kata-kata yang kembali mengubah bahagia di wajah ini menjadi kembali murung.

"Dek Pen aki hendak mengatakan sesuatu padamu tapi jangan marah ya," bisikan kata-kata olehmu di telingaku membuat aku terkejut memandangmu dengan cukup serius.

Namun pelukanmu bertambah erat saja di tubuhku sambil terus berbaring kau dan aku saling mengungkapkan maksud di dalam sebuah selimut putih bergaris-garis hitam milikmu.

"Apa itu Mbak ku sayang, katakan saja jangan buat Adek khawatir untuk menunggunya," ku katakan jawaban dengan tegas agar kau terus terang mengungkapkan dan tiada berperumpamaan.

"Dek Pen cium dulu tapi," ucap Mbak Moza mendaratkan kecupan mesra di bibir ini.

Mungkin itu satu jurus bagi para wanita agar pasangannya tak marah saat mereka hendak mengutarakan dan maksud yang sekiranya sangat menghawatirkan bagi mereka dan resah di hati mereka akan marahnya sang pasangan hati.

"Katakan saja Mbak, Adek pasti akan selalu siap menghadapi setiap kenyataan. Sebab Adek sering kali di benturkan dengan terus-menerus kenyataan pahit," jawabku sambil menatap atas langit-langit kamar.

"Tapi sebelum Mbak mengungkapkan apa yang Mbak maksudkan tentang unek-unek Mbak. Mbak mau bertanya dahulu pada Adek tapi serius Adek tidak boleh marah ya?" ungkap Mbak Moza sambil menatap wajahku dan masih menatap wajahku sambil masih dalam posisi memelukku dengan terbaring memiringkan tubuhnya.

Sejenak aku menatap matanya agak tajam dan tampaknya ia merasa ketakutan akan tatapan pancaran mataku yang amat tajam.

"Tuh kan marah enggak jadi lah Mbak bobok saja ah," ucap Mbak Moza mengubah posisi tidurnya semula memiringkan tubuhnya menghadapku sambil memelukku.

Kini melepas pelukannya dan memiringkan tubuhnya tetap dalam posisi tidur dan membelakangiku.

"Halah jangan mengambeklah Mbakku Adek Cuma bercanda loh," kali ini aku keluarkan sebuah jurus agar ia tenang kembali.

Kalau seorang wanita memiliki sebuah jurus untuk menenangkan sang pasangan dengan memeluknya lalu mengecupnya di bibir sang lelaki. Begitu jua kami kaum lelaki memiliki jurus jitu untuk meluluhkan hati mereka hanya dengan memeluk mereka, mendekapnya seakan kita adalah pelindung darinya akan semua bahaya yang mendekat dan mengancam keselamatan jiwa.

Begitu jua malam ini aku melakukan hal yang sama seperti yang aku jelaskan beberapa kali di bab-bab sebelumnya. Ku peluk tubuh Moza dari belakang serta mengecup pipinya sejenak dengan rasa kasih sayang.

"Jangan ngambek dong bidadari malamku, bercanda loh Adek Mbak," ucap ku mencoba meluluhkan hati Mbak Moza sambil membenahi selimut putih bergaris-garis hitam agak tingi menutupi tubuh kami yang tiada lagi menempel satu helai benang kain pun di atasnya.

"Nah begitu kan manis, begitu baru gantengnya Mbak Moza," kembali Mbak Moza mengubah posisi tidurnya tetap memiringkan tubuh tapi kini menghadapku yang jua tidur bergaya miring dan kali ini kami saling berhadapan.

"Serius ya Mbak mau bertanya, Mbak kok merasa Adek sudah sangat ahli bermain dan Mbak merasa Adek sudah tahu beberapa gaya untuk bercanda bersama Mbak di atas kasur ini. Maaf sekali lagi ya Dek, apa Adek pernah melakukan sebelum-sebelumnya dengan mantan Adek?" ungkap Mbak Moza kali ini iya yang menatapku dengan sorot mata tajam namun tersirat seperti adanya aura rasa penasaran.

Saat ku memandang wajah lucu Mbak Moza dan aku tak dapat menahan rasa ingin tertawa namun aku tahan dan pada akhirnya terlepas namun masih dengan aku tahan mulut tetap aku bungkam. Tetapi jadinya agak tertawa sehingga tanpa sengaja titik-titik air keruh kerongkongan keluar meluncur menempel di wajah Mbak Moza.

"Ah Adek Pendik kan basah muka Mbak jorok ih," celetuk Mbak Moza.

"Maaf, maaf Mbak keceplosan Adek," kata ku sambil meraih tisu di atas kami yang sengaja kami sediakan untuk membersihkan sari pati rahim ibu yang keluar dari area utama tubuh Mbak Moza.

Atau sekedar membersihkan cucuran keringat yang keluar setiap kami bercanda. Lalu ku bersihkan wajah Mbak Moza dengan teliti hingga bekas titik-titik air keruh dari kerongkongan hilang sudah.

"Enggak mau jawab juga enggak papa kok Dek," ucapnya sambil membantuku membersihkan wajahnya.

"Endak begitu Mbak jujur ya Mbak Adek sudah pernah beberapa kali melakukannya bersama mantan Adek. Maaf ya Mbak, karena Mbak Moza bukan yang pertama merasakannya," ungkapku dengan rasa hati tulus mengatakannya.

"Tidak apa Dek, lagian Mbak juga bukan gadis lagi. Tetapi bekas lelaki lain, dan Mbak sangat berterima kasih atas bantuan Adek pagi itu. Andai Adek pagi itu cuek tak jua bangun membantu Mbak tentu Mbak sudah babak belur. Dan oh iya satu lagi maaf ya tentang sahabatmu Sukanta yang menjadi korban keganasan mantan Mbak," kata Mbak Moza sambil kembali memelukku dan aku jua kembali mengubah posisi tidur menjadi terlentang menghadap ke atas.

"Semua sudah berlalu Mbak, sudahlah bukan salah Mbak jua. Akan aku anggap kematian sahabatku sebagai takdir dari Allah. Tetapi seandainya saja aku ada di sana saat itu, tentu akan berbeda kejadiannya. Mungkin Sukanta hari ini tak akan pergi dan masih di sini bersama kita bercanda di depan pintu seperti beberapa waktu yang lalu," ungkapku dengan menampakkan wajah kesedihan.

"Uluh jangan sedih dong sayangku, sudah-sudah kita bermain lagi yuk Dek masih mampukah?," tatapan Moza merayuku akan kembali bercanda di dalam satu selimut berdua.

Begitulah kami terus bercanda lalu kembali bercerita disela-sela rehat dari kelelahan sejenak setelahnya kembali bercanda lagi hingga aku tertidur setelah aku melihat Mbak Moza jua tertidur terlalu lelahnya.

Sampai suatu pagi aku terbangun betapa terperangah aku bahwa kamar sudah kosong. Semua barang Mbak Moza telah tiada. Namun ada satu lembar kertas bertulis tangan di tinggalkan di atas meja di bawah sebungkus rokok yang kubawa semalam.

"Dek Pendik terima kasih atas malam ini ya sayang. Betapa aku belum pernah merasakan kebahagiaan akan yang diberikan seorang lelaki selama ini. Dan itu hanya kudapatkan oleh kuatnya dirimu Dek. Dan maaf Mbakmu ini harus pamit mungkin saat kau terbangun Mbak sudah jauh dibawa kereta api menuju kampung halaman. Jangan marah ya Adiknya Mbak yang manis tetaplah berjuang di Jakarta. Kejar cita-citamu mengalahkan Ibukota, Mbak sudah kalah biar Mbak pulang untuk merawat Ibu Mbak yang sudah tua dan sakit-sakitan. Dan menemani putri Mbak yang sudah bertumbuh dewasa. Mbak akan selalu sayang padamu Adek Pendik maafkan Mbak harus pulang," begitulah tulisan tertera di sebuah lembar kertas warna merah muda.

"Oalah ditinggal lagi nasib-nasib," gerutuku agak kesal.