Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 54 - Filsafat Bapak Vs Anak

Chapter 54 - Filsafat Bapak Vs Anak

Hari ini Ibu bertanya kenapa selalu kau mandi setiap malam hari atau menjelang pagi buta apa kau tak merasakan dinginnya air sumur saat mandi di waktu-waktu itu.

Dan aku hanya terdiam sambil menahan tangis dari mirisnya hati. Aku tak bisa menentukan atau menyebutnya ini kelemahan iman atau sekedar ujian.

Tetapi mandi dikala fajar menjelang atau dikala jam dinding menunjukkan semua jarum berpadu lurus ke atas. Dan kala bulan pas di tengah-tengah menjadi suatu kebiasaan.

Entah dari kapan aku melakukannya yang kutahu sudah begitu lama aku berjibaku dengan dinginnya angin petang walau sedingin apa pun menerpa aku harus tetap melakukannya. Setelah itu menangisi apa yang kulakukan dan memohon ampun dengan dua rakaat taubatan lalu memohon pemakluman pada Sang Pemilik langit kala petang menjelang.

Sejak saat itu setelah masa khitan lalu sebuah mimpi tentang kedewasaan membayangi. Sebagai pertanda aku telah dewasa. Sejak saat itu aku mulai bermimpi terus menerus setiap hari dan sepanjang malam.

Lalu nama-nama mereka yang disebut sang mantan ada dengan segala bentuk rupa dan warna serta bahasa. Dan setiap mereka ada di sampingku selalu dan terus begitu menikmati kemolekan menjadi ketergantungan dan kebiasaan.

Lalu aku harus bagaimana setelah mandi aku menangis aku ingin memaki aku ingin marah dan membentak. Tapi yang kumarahi adalah angin, tetapi yang kubentak hanya udara, tetapi yang kumaki hanya ruang hampa dan kosong tak ada apa-apa.

Aku selali meminta, "Bantu aku wahai Sang Pencipta tubuh dan otak dan jiwa serta raga serta kalbu ini," kadang tiada jawaban sekali ada jawaban pasti jawabannya adalah bersabar.

Dan aku bersabar sebuah sabar yang hingga kali ini sabarku bagai waduk besar tapi tiada muara untuk awal dan akhir tiada bertepi dan tak terlihat ujungnya pula.

Dan aku terus menanti saat datangnya benar-benar Sang Dewi kayangan dari surga yang benar diciptakan untukku tapi tiada kunjung datang kadang aku merasa letih ditengah-tengah jalan penantian. Sempat aku menahan agar tak menjadi gila, agar tetap waras dan normal mengingat Asma Allah dan Rasulnya.

Terkadang aku takut akan noda salah pada pemilik bumi dan yang menciptakan terkadang aku malu. Lalu setiap malam aku memohon pengertian pada tanah agar ia tak marah sebab selalu kulukai hatinya Ikhwal membuang kotoran tubuh dari bejatnya nafsu.

Lalu setiap petang aku memohon maklum pada langit karena menyaksikan perbuatan anak manusia yang bertobat lalu berdosa lalu memohon ampun dan berdosa lagi. Lalu aku bicara pada tembok dan kasur dan bantal dan guling dan baju dan kain sarung dan air sebagai saksi bisu akan kemelaratan hati dari jiwa yang utuh ciptaan Illahi.

Dan aku juga bicara dengan tangan dan kaki dan mata dan otak dan nafas yang melekat pada tubuh ini. Memohon pengertian akanku dari sebuah perjalanan pembenahan diri yang belun jua ter benahi.

Kemarin bapakku marah dan membentak berkata kasar saat aku hanya diam di satu tempat sebuah ruang dapur baru jadi sebab baru saja terenovasi dari rezeki dihadirkan melalui anak perempuan bapakku yaitu adik wanitaku Nuriva.

Saat tengah malam bapak yang kini bertentangan paham datiku yang kini berpaham langit dan bapak memiliki rumus bumi dari sekian pengalaman yang ia petik dari perjalanan hidup.

Bapak bicara dengan nada agak keras namun tetap merendahkan intonasi masih dalam batas-batas atau norma kearifan Jawa, "Ndik kamu enggak tidur Tole, besok bekerja bukan. Nanti mengantuk bahaya kamu saat berkendara, tidur cepat sana!?"

Sebagai rasa manusia yang kadang datang mulut ini ingin membalas dengan perkataan yang ku anggap benar.

Tetapi aku urungkan apa dalam hati bapak menerima filsafat yang aku ungkapkan atau malah batinnya tersentak bertambah marah dari paham beliau sebab perkataan dalam jiwa menganggap bahwa aku lebih tua.

Dalam pandanganku tak selamanya petuah atau dawuh atau pemahaman orang tua selalu dianggap benar. Sebab hari ini berbeda jaman, jaman mereka tak sama lagi dengan jaman kini.

Terkadang bisa jadi yang muda belum tentu berpikiran seperti usia sesungguhnya. Bahkan ada beberapa anak muda yang dapat berpikir melampaui batasan usianya bahkan memiliki pemahaman mengalahkan yang lebih bahkan jauh lebih tua darinya.

Terkadang bisa jua yang tua belum tentu dapat berpikiran selayaknya setua usianya.

Bahkan banyak terjadi kesetimpangan arti dari kata paham. Bahwa mereka yang berfisik tua terkadang memaksakan bahwa yang mereka anggap benar harus dianggap benar oleh yang muda. Tetapi perlu di garis bawahi bahwa hari ini berbeda jaman putaran bumi sudah tidak pada porosnya lagi dan matahari dan bulan sudah semakin jauh dari posisi semula.

Dalam kata lain yang tua belum tentu pikirannya setua usianya bahkan pemikiran mereka terkadang lebih muda dari bentuk tubuh yang semakin keriput termakan usia.

Namun ketika aku dan bapak dalam pakem sifat-sifat Jawa kuno akan tata krama dan adat-istiadat Jawa. Malam ini ku urungkan membalas bentakan bapak dan tetap diam saja dan pergi tertidur di atas kasur.

Padahal aku terjaga setiap malam demi menjaga mereka, menjaga tubuh dan ruh mereka atas ijin Sang Pemilik tubuh manusia akan bahaya yang ditimbulkan oleh penyamun atau sihir-sihir saat petang menyeruak.

Aku biarkan bapak berlalu dengan pemahamannya akan kemarahan untukku sebab aku sudah berada putaran waktu seperempat malam masih terjaga. Memang pemahamannya tidak salah jua sebab keesokan hari aku harus berkendara memutari pegunungan Anjasmara dari desa ke desa sekedar mencari kata rezeki dari Allah Tuhanku dan Tuhan semesta alam.

Anggapannya selalu khawatir akan keselamatan anak memang benar tiada salah. Tetapi bagiku kurang pas di taruh pada anak lelaki pertamanya yakni aku masa kini yang sudah kupasrahkan seluruh jiwa raga pada Sang Pencipta tubuh.

Ku biarkan bapak membanting pintu akan kemarahan atas tak kepatuhan anak lelakinya. Lalu ia terlelap kembali namun aku hanya mengiakan perintahnya tapi tetap aku masih terjaga atas pandangan akan melihat langit dan segala penghuni tak kasat mata di atas sana.

Dan aku jua memiliki pandangan lebih jelas akan segi tutur kata tata krama untuk lebih hormat pada orang tua sebab itu aku sebisa mungkin tak pernah mengomel bila bapak sudah membentak marah. Walau dalam hati berbicara pemahamanmu kurang pas denganku di jaman kini wahai Bapakku.

Begitulah malam ini berlalu dengan cerita aku dan orang tuaku atas pemahaman yang sudah tidak bersahutan sebab pemahamanku tentang bumi menuju langit dan bapak berpikiran hanya bumi lalu bumi kembali.

Dan kembali khayalanku tentang tanah Jakarta melintas kembali di mataku. Merayu-rayu agaknya memang harus di utarakan dan kembali aku mengetik cerita tentang sebuah pengalaman Jakarta. Saat menantang Ibukota dan akan kekalahan Mbak Moza dan perpisahan kami bertemu terakhir kali di atas ubin ruang tunggu setasiun Pasar Senen Jakarta Pusat.

Tapi ada yang terselip sewaktu aku berlari bergegas hendak menyusul Mbak Moza menuju setasiun. Saat melintas di depan kosan tepatnya di rumah Pak Haji Sodik. Sebuah tubuh dengan dua mata teduhnya melihatku dan sedang mengamatiku.

Dia Farhana anak perempuan Pak Haji Sodik satu-satunya artinya semata wayang. Aku sudah sering memperhatikannya saat memperhatikanku sekedar melihat atau mencuri pandang tapi tak aku hiraukan sebab ada hati Mbak Moza yang harus aku jaga.

Tetapi kali ini aku harus berlari menemui sang pemilik hati yang telah menyerah kembali pulang. Aku terus berlari di sepanjang trotoar memandang takut akan kembali kehilangan.

"Jangan pergi Mbak Moza, Adik Pendik ini sudah mulai jatuh cinta."