Chereads / Enemy to be Love / Chapter 5 - Secercah Harapan

Chapter 5 - Secercah Harapan

Setelah beberapa saat, akhirnya Viana terjaga dari kesedihannya. Ia lalu bergegas mengambil ponsel dari dalam tas mungilnya, dan mulai berkutat dengan telepon pintar itu.

Setelah melakukan pencarian di fitur kontak, akhirnya Viana pun menemukan apa yang dicarinya. Dipilihnya sebuah nama dan ditekannya tombol panggilan berwarna hijau.

Tut, tut, tut.

Panggilannya terhubung dengan seseorang di seberang sana. Viana terlihat sedang menunggu jawaban dengan perasaan resah.

Tut, tut, tut.

"Duh, kenapa nggak diangkat juga sih teleponnya?" gerutunya seorang diri.

Beberapa saat kemudian, telepon pun teputus. Namun, hal itu tak menyurutkan niat Viana. Ia terus mencoba untuk menghubungi seseorang itu kembali.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya ....

"Halo," terdengar jawaban dari seberang sana.

"Halo, Tante Rini?" sahut Viana sedikit lega.

"Iya, Vallen. Kamu kenapa?" tanya seorang wanita yang bernama Rini itu.

"Tante, buruan ke rumah sakit A. Marshall masuk rumah sakit, Tante. Dia mengalami luka yang cukup parah," jawab Viana langsung ke inti permasalahan.

"Apaa? Marshall masuk rumah sakit? Bagaimana bisa?" tanya wanita tersebut.

"Aku juga nggak tahu kejadian yang sebenarnya, Tante. Lebih baik sekarang Tante Rini sama Om Hendra segera datang kesini," ucap Viana lagi.

"Baiklah, Vi. Tante akan segera kesana."

Terdengar dari suaranya, bahwa wanita itu merasa sangat terkejut sekaligus khawatir. Tentu saja karena dia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada putranya, Marshall.

Tut, tut, tut.

Sambungan telepon pun terputus, tapi setidaknya Viana bisa merasa sedikit lebih tenang karena telah memberitahukan hal ini kepada mamanya Marshall.

Viana dan keluarganya berjalan mondar mandir kesana kemari. Sudah hampir satu jam dokter memeriksa keadaan Marshall, tetapi mengapa sampai sekarang mereka belum memberikan informasi apa-apa?

Hati Viana lagi-lagi gelisah kala memikirkan keadaan kekasih hatinya itu. Sungguh, dia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada Marshall.

Viana dan keluarganya tak henti-henti berdoa demi kesembuhan Marshall. Mereka memohon kepada Sang Pencipta agar memberikan kesempatan hidup untuk pemuda baik hati tersebut.

Tak lama kemudian, Tante Rini pun datang dan menghampiri mereka. Ia datang bersama dengan seorang pria yang terlihat begitu berwibawa.

"Viana, bagaimana kondisi Marshall?" tanya wanita itu dengan suara bergetar.

Dari matanya yang tampak sembab, bjsa diketahui bahwa ia baru saja menangis.

"Aku belum tahu, Tante. Sampai sekarang dokter belum juga keluar dari ruang ICU," jawab Viana lirih.

"Ya Tuhan. Tolong selamatkan Marshall, hiks hiks." Tante Rini berdoa seraya terisak.

"Viana, apa yang sebenarnya terjadi sama Marshall?" tanya pria berwibawa itu dengan tatapan tajam.

"Maaf, Om Hendra. Aku nggak tahu bagaimana kejadian sebenarnya. Tadi saat perayaan pesta ulang tahun di rumahku, tiba-tiba Marshall datang dengan tubuh yang penuh luka. Aku juga merasa sangat ketakutan dengan kejadian ini. Aku takut kalau sampai terjadi sesuatu sama Marshall. Huhuhu," kembali Viana menangis tersedu-sedu.

"Hmm."

Om Hendra yang ternyata adalah papanya Marshall itu tampak manggut-manggut dengan penjelasan Viana.

"Semoga Marshall bisa segera sadar, dan kita akan menanyakan hal ini kepadanya," cetus Om Hendra.

"Iya, Om," angguk Viana.

Sementara itu di ruang ICU,

Para dokter sedang berusaha untuk menyelamatkan nyawa Marshall. Salah seorang dokter segera mencabut pisau yang masih menancap di perutnya.

Sementara itu para perawat sibuk membersihkan darah di sekujur tubuh pemuda malang itu. Dengan sigap para petugas medis itu memasang selang oksigen dan infus di tubuh Marshall.

Mereka juga menghubungkan elektrokardiograf untuk memantau detak jantung pemuda berusia 23 tahun itu.

Selama beberapa jam, para dokter dan perawat berjuang untuk menyelamatkannya, walaupun kemungkinan untuk hidup sangatlah kecil. Namun, dengan diiringi doa pasti usaha mereka akan berhasil. Apapun bisa terjadi jikalau Yang Maha Kuasa sudah berkehendak.

Beberapa saat setelah para dokter itu berjuang, akhirnya Marshall mulai membuka mata secara perlahan. Ia menggerakkan jari-jarinya sambil tersenyum. Marshall menarik napas dengan begitu berat, seperti orang yang sedang menderita penyakit asma.

"Vi.... Viana," panggilnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Salah seorang perawat yang kebetulan sedang berada di dekatnya, mengetahui hal tersebut. Ia segera memanggil dokter dan memberitahukan perihal keadaan Marshall.

"Dokter! Pasien sudah siuman," panggil perawat tersebut.

"Apa? Benarkah?" tanya salah seorang dokter seakan tak percaya.

Mereka yang berada di ruangan ICU itu segera berhamburan menghampiri Marshall. Tentu saja mereka merasa sangat bahagia, karena akhirnya nyawa pria itu berhasil diselamatkan.

"Vi.... ana," panggilnya sekali lagi.

"Siapa yang kamu panggil, Nak?" tanya seorang dokter sambil mendekatkan wajahnya kepada Marshall.

"Viana," ucapnya lagi dengan nada pelan.

"Baiklah, kami akan memanggilnya," sahut dokter tersebut.

Pria itu lalu keluar dari ruang ICU, dan berniat untuk memanggil Viana.

Di ruang tunggu, Viana nampak sedang berpelukan dengan Tante Rini, ibunya Marshall. Mereka berdua terlihat saling menumpahkan air mata dalam dekapan satu sama lain.

Hubungan Viana dan keluarga Marshall memang sudah terjalin begitu erat. Tante Rini pun juga sudah menganggap Viana seperti putrinya sendiri, karena itulah mereka terlihat begitu dekat dan saling menyayangi.

Kritt.

Tiba-tiba pintu ruangan ICU itu pun terbuka. Semua mata tertuju ke arah pintu tersebut dengan penuh harapan.

Seorang dokter berjas putih lengkap dengan stetoskop di lehernya, berjalan menghampiri mereka semua dengan wajah cemas.

"Maaf, siapa yang bernama Viana?" tanya dokter itu tiba-tiba.

"Saya, Dok," jawab Viana seraya berjalan mendekat.

"Ada apa ya, Dok?" tanya gadis itu dengan wajah kebingungan.

"Hmm, pasien ingin bertemu dengan Anda," jawab petugas medis tersebut.

"Apa Dok? Jadi Marshall sudah siuman?" tanya Viana dengan mata berbinar-binar.

Sebuah kebahagiaan terpancar jelas di wajah cantiknya itu. Ia buru-buru mengusap air matanya dengan senyum manis merekah di bibirnya.

"Hmm, lebih baik Anda temui pasien terlebih dahulu," jawab dokter tersebut.

"Baiklah, Dokter," sahut Viana dengan bahagia.

Ia pun bergegas masuk ke ruang ICU dengan wajah berseri-seri. Ternyata Tuhan telah mengabulkan doanya. Tuhan begitu baik kepadanya, sehingga masih memberikan kesempatan sekali lagi untuk Marshall.

Semua mata menatap ke arah Viana dengan penuh haru. Mereka berharap semoga kebahagiaan akan selalu menyertai Viana dan juga Marshall.

"Dok, apa saya juga boleh ikut ke dalam? Saya mamanya Marshall, Dok. Saya mau ketemu sama anak saya," pinta Tante Rini.

"Aduh, bagaimana ya, Bu? Sebenarnya tidak ada orang yang diperbolehkan untuk masuk ke ruang ICU, selain petugas medis. Gadis itu masuk karena permintaan dari pasien sendiri, tapi karena Anda adalah ibunya, maka baiklah. Silahkan masuk, tapi tolong jangan membuat keributan ya, Bu." Dokter itu menegaskan.

"Baiklah, Dokter. Terima kasih banyak. Saya berjanji tidak akan membuat keributan. Terima kasih," ujar Tante Rini dengan perasaan lega.

"Sama-sama, Bu," jawab dokter tersebut sambil menganggukkan kepala.

Tante Rini pun segera masuk ke dalam ruangan untuk menyusul Viana. Sementara itu, Viana sudah tiba terlebih dahulu di ruangan tempat Marshall berada saat ini.

Viana menyaksikan bagaimana kekasihnya itu terbaring lemah dengan banyak selang infus disana sini. Selain itu, juga terdapat sebuah tabung oksigen dan selang yang dipasangkan di mulut dan hidung sang kekasih.

Gadis cantik itu segera mendekati kekasihnya yang tampak sedang berjuang menahan rasa sakitnya. Viana menghampiri Marshall dan segera duduk di sebelahnya.

Ia menggenggam pelan tangan pria tampan itu sambil menitikkan air matanya.

Seakan tak mampu menahan kesedihannya lagi, ia segera mencium tangan kekasihnya, dan mengusap lembut rambut sang kekasih.

Viana mendekatkan bibirnya di telinga Marshall, sembari mencoba untuk tersenyum manis.

"Sayang, bangunlah!" bisik Viana pelan.