Chereads / Enemy to be Love / Chapter 6 - Percakapan Terakhir

Chapter 6 - Percakapan Terakhir

"Sayang," lirih pria malang itu sambil menatap Viana.

Viana pun balas memandangnya dengan mata berkaca-kaca.

"Iya, Sayang. Aku di sini," balas Viana seraya mengusap air mata yang terus menggenang di pelupuk netranya.

"A.. aku sangat men.. cintaimu," tutur sang kekasih dengan tersendat-sendat.

"Iya, Sayang. Aku juga sangat mencintai kamu. Bertahanlah! Kamu harus kuat demi aku dan demi keluarga kamu," pinta Viana lagi.

Marshall menganggukkan kepala dengan lemah, dan tiba-tiba saja ia terlihat menitikkan air mata.

"Ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanya Viana seraya meraih wajah sang kekasih.

"Ka.. kamu harus ba.. bahagia." Marshall berkata dengan susah payah.

"Sayang, apa yang kamu katakan? Aku dan kamu pasti akan bahagia bersama-sama, karena kita saling mencintai," hibur Viana yang mencoba untuk membangkitkan semangat Marshall.

"A.. aku...."

Tok, tok, tok.

Viana segera menoleh ke arah pintu, ketika mendengar suara ketukan dari sana, begitu pula Marshall. Dengan bersusah payah ia menengok untuk melihat siapakah yang datang.

Nampak Tante Maria yang sedang berdiri di ambang pintu sambil menutup mulutnya. Wanita itu tampak menangis sesenggukan, saat melihat keadaan putra semata wayangnya yang sangat memprihatinkan.

"Marshall! Anakku sayang!"

Tante Rini lalu berlari menghampiri Marshall yang sedang berbaring lemah dengan ketidakberdayaannya. Dikecupnya kening dan pipi putranya itu berkali-kali.

"Apa yang terjadi, Sayang?" tanya Tante Rini sambil sesekali menyeka air matanya.

"Ma.. Mama," sapa Marshall sambil mencoba tersenyum ke arah mamanya.

"Iya, Nak. Ini Mama."

"Kamu yang kuat ya! Kamu harus bertahan demi Mama, papa, dan juga Viana. Kamu harus bisa menghadapi cobaan ini ya, Sayang. Mama tahu kalau kamu adalah anak yang kuat dan juga tangguh," hibur Tante Rini kepada putranya.

"Mama, Viana, ke.. kemarilah." Marshall melambaikan tangannya perlahan.

Tante Rini dan Viana pun saling berpandangan. Mereka sama-sama menganggukkan kepala, dan akhirnya mereka berdua pun duduk di samping Marshall.

"Iya, Marshall. Kami berdua di sini. Ada apa?" tanya Viana sendu.

"Apa yang kamu inginkan dari kami, Nak? Katakanlah! Pasti kami akan mengabulkan permintaan kamu, apapun itu." Tante Rini menambahkan.

Marshall hanya menjawab pertanyaan kedua perempuan yang sangat disayanginya itu dengan sebuah senyuman.

"A.. aku men.. cintai kalian semua. Ka.. kalian ha.. rus selalu ba.. hagia," lanjut Marshall dengan suara tertahan.

"Kamu ngomong apa sih, Sayang? Kami semua akan bahagia kalau kamu udah sembuh," timpal Viana.

"Memang apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, Nak?" tanya Tante Rini lagi.

Marshall tampak termenung seketika. Pikirannya melayang pada peristiwa malam ini, disaat dirinya mengalami kejadian naas yang nyaris merenggut jiwanya.

Air mata pun kembali meleleh menghiasi wajah tampannya yang pucat itu. Tubuhnya tiba-tiba gemetar dan berkeringat dingin.

"Ma.... mama, Vi.... ana, cari Reyhand dan ta.... tanyakan se.... semua kepadanya," pesan Marshall yang mulai megap-megap seperti orang kehabisan napas.

Marshall menyentuh wajah cantik Viana dengan pandangan sayu. Sementara itu, Viana merasakan bahwa tangan kekasihnya terasa begitu dingin dan gemetar.

"I love you," ujar Marshall lagi.

"I love you too," balas Viana lirih.

"Allahu Akbar! Asy.. hadu alla.. ilaha ilallah. Wa.. asyh hadu an.. na muhammadar rasulullah." Marshall mengucapkan dua kalimat syahadat dengan terbata-bata.

Hup, hup, hup.

Marshall terlihat semakin kesulitan untuk bernapas. Dia tampak megap-megap dengan kedua mata yang terlihat hampir tertutup.

Monitor elektrokardiograf di sebelahnya terlihat semakin tak beraturan, dan detakan jantungnya mulai menurun.

Tentu saja hal itu membuat Tante Rini dan Viana kaget bukan main. Mereka kalang kabut dan segera memanggil dokter yang tadi menangani Marshall.

"Dokter! Tolong!" pekik Viana.

Dia sudah tak lagi mempedulikan keadaan di rumah sakit itu, yang melarang seseorang untuk berbuat gaduh.

Saat ini hanya keselamatan kekasihnya-lah yang ada di dalam pikirannya. Keselamatan Marshall adalah hal yang terpenting untuknya.

Mariana dan suaminya, Wijaya segera mendekati Viana yang terlihat begitu histeris. Begitu pula dengan Hendra, papanya Marshall.

"Kenapa Vi? Apa Marshall baik-baik aja?" tanya Mariana kepada putrinya itu.

"Mama, Marshall megap-megap seperti kehabisan napas. Aku takut, Ma. Huhuhu," tangis Viana sesenggukan.

"Apaa?"

Kedua orang tua Viana terlihat begitu terkejut dengan apa yang baru saja disampaikan oleh putri mereka. Keadaan Marshall mulai mengkhawatirkan!

Tak lama kemudian, beberapa dokter dan perawat tampak berlarian dan masuk ke ruang ICU tempat Marshall dirawat.

Viana dan yang lainnya berniat untuk mengikuti para dokter tersebut. Mereka hanya ingin mengetahui kondisi Marshall saat ini.

Namun, salah seorang perawat menghentikan langkah mereka.

"Maaf, tidak ada seorang pun yang boleh masuk ke ruang ICU selama dokter masih menangani pasien. Saya harap kalian semua bisa mengerti, karena ini demi kebaikan pasien sendiri." Perawat itu menjelaskan.

"Tapi Sus, kita semua ingin mengetahui bagaimana keadaan Marshall," Viana bersikeras.

"Maaf, Mbak. Ini aturan di rumah sakit. Saya harap Anda bisa memahaminya," imbuh perawat tersebut.

Setelah itu perawat pun segera menutup pintu ruang ICU. Namun, tak lama kemudian pintu itu terbuka lagi, dan keluarlah Tante Rini dengan wajah berurai air mata.

Semuanya segera menghampiri Rini dan menanyakan tentang keadaan Marshall.

"Bagaimana, Ma? Apa Marshall baik-baik saja?" tanya Hendra dengan wajah resah.

"Papa! Marshall.... huhuhu. Semoga Tuhan bisa menyelamatkannya, Pa," tangis Rini.

"Memangnya kenapa, Ma?" tanya Hendra yang terlihat tak sabar menunggu penjelasan dari istrinya.

"Kita berdoa saja demi kebaikan Marshall, Pa," balas Rini.

"Baiklah, Ma," jawabnya pasrah.

Sementara Viama masih terus menangis sambil memeluk mamanya. Mereka sama-sama berdoa demi kesembuhan Marshall.

"Ya Allah, tolong selamatkan Marshall. Dia anak yang baik dan berbakti," harap Mariana dengan tulus.

"Ya Allah, Yang Maha Penyayang, tolong berikanlah kesempatan sekali lagi untuk Marshall. Selamatkan nyawanya, Oh Tuhan," doa Viana.

Suasana telihat begitu panik dan mencekam di ruang tunggu itu. Semuanya berharap agar Marshall mendapatkan kesempatan lagi untuk melanjutkan hidup.

Para dokter nampak resah dan gelisah dengan keadaan pasiennya ini. Mereka pun mencoba melakukan aksi penyelamatan berkali-kali.

Dikarenakan kondisi jantung yang semakin melemah, salah seorang dokter menekan dada Marshall menggunakan defibrillator, yaitu alat pacu jantung.

Mereka melakukannya berulang kali, tetapi jantung Marshall tak memberikan respon.

Hingga beberapa lama para dokter itu berjuang, akhirnya sesuatu yang mereka takutkan pun terjadi.

Tit, tit, tiiiiiittttt,

Suara di monitor elektrokardiograf terdengar begitu nyaring dan panjang. Sebuah garis panjang terpampang di layar monitor tersebut.

Para dokter terlihat saling berpandangan dengan jantung berdebar-debar. Akhirnya perjuangan mereka selama ini pun gagal jua.

Mereka semua segera mendekati Marvin yang sudah terbujur kaku itu dengan mata berkaca-kaca.

"Semoga khusnul khatimah, Nak."

"Insyaa Allah kamu anak yang baik. Surga menantimu."

Para dokter pun bergantian mendoakan Marshall. Lalu mereka pun menutupi seluruh tubuh pemuda malang itu dengan kain berwarna putih.

Para petugas medis itu saling berpandangan dan menarik napas panjang.

Ini waktunya mereka memberitahukan kabar duka ini kepada keluarga pasien.