Chereads / Enemy to be Love / Chapter 2 - I Love You

Chapter 2 - I Love You

Viana bergegas menuju ke ruang depan untuk membuka pintu.

Krekk.

Pintu pun terbuka, dan tampaklah seorang pemuda yang mengenakan jaket dan helm berwarna hijau, sedang berdiri di depan pintu.

"Maaf, siapa ya?" tanya Viana dengan sopan.

"Saya seorang kurir, Mbak. Saya bermaksud untuk mengantarkan paket ini kepada Mbak Viana Evangelista. Benarkah ini alamat rumahnya?" Pemuda yang ternyata kurir itu bertanya kepada Viana.

"Iya, benar. Saya sendiri," jawab Viana dengan wajah keheranan.

Sebab dia tak merasa jika telah memesan sesuatu.

"Oh, ternyata Mbak sendiri ya? Kalau begitu, ini paket untuk Mbak Viana." Kurir tersebut mengulurkan sebuah bingkisan yang sudah dikemas dengan rapi.

"Tapi saya nggak merasa order sesuatu, Mas. Mungkin Mas salah kirim," tolak Viana dengan sopan.

"Memang bukan Mbak Viana yang memesannya, tapi ada seseorang yang mengirimkan paket ini untuk Mbak." Mas kurir tersebut menjelaskan.

"Eh, siapa Mas?" tanya Viana semakin bertambah heran.

"Orang itu nggak memperbolehkan saya memberitahukan identitasnya sama Mbak Viana. Dia bilang supaya ini jadi kejutan," jawab sang kurir sambil tersenyum.

"Hmm, ya udah deh, Mas. Saya terima paketnya."

Viana pun menerima paket yang diberikan oleh kurir tersebut dengan wajah bertanya-tanya. Dia lalu menandatangani bukti tanda terima paket tersebut.

"Terima kasih ya, Mas," ucap Viana.

"Sama-sama Mbak. Kalau begitu saya permisi dulu," pamit sang kurir.

"Iya, Mas," jawab Viana ramah.

Mas kurir pun berpamitan dan segera meninggalkan rumah Viana.

Sementara itu, Viana masih menatap paket yang ada di tangannya dengan penuh kebingungan.

"Siapa yang mengirim paket ini?" tanyanya di dalam hati.

Merasa penasaran dengan sesuatu yang ada di tangannya itu, Viana pun segera membuka bungkusan tersebut dengan tergesa-gesa.

"Kira-kira apa ya isinya?" gumamnya sambil terus bertanya-tanya.

Begitu bungkusan tersebut selesai dibukanya, justru matanya membelalak seketika. Mulutnya terkunci seakan tak bisa berkata-kata. Tiba-tiba dia merasakan dadanya bergemuruh.

Selang beberapa saat, sebuah butiran kristal jatuh dari netranya.

Dia merasa sangat terharu dengan apa yang diterimanya ini.

Bagaimana tidak?

Sebuah boneka rajut berbentuk unicorn dengan lambang merah hati, tengah berada di tangannya saat ini. Di atas lambang merah hati tersebut terdapat ukiran nama Marshall dan Viana, yang dibuat dari sulaman benang yang begitu indah.

"Marshall, aku sangat mencintaimu. Hiks hiks," isak Viana seraya memeluk boneka rajut tersebut.

Selama ini, Viana memang sangat menyukai unicorn. Itulah sebabnya dia merasa sangat senang dengan hadiah yang diterimanya ini.

Selain boneka rajut unicorn, Viana juga menemukan sepucuk surat di dalam paket tersebut.

Viana segera mengusap air matanya, dan bergegas mengambil surat tersebut lalu membacanya perlahan.

"Teruntuk kekasihku yang tercinta, Viana Evangelista. Selamat ulang tahun, Sayang. Semoga dengan bertambahnya usiamu ini, semakin bertambah pula kedewasaan dan pemikiranmu. Aku berdoa supaya kamu selalu diberi kesehatan dan kebahagiaan. Pada hari istimewa ini, aku hanya bisa memberikan hadiah kecil ini untuk kamu. Mungkin nilainya memang tak seberapa, tapi percayalah kalau aku merajut sendiri boneka ini dengan penuh rasa cinta. Aku juga menyulam helaian benang menjadi ukiran nama kita berdua. Semua aku lakukan karena kamu sangat menginginkannya. Semoga kamu bahagia dengan kado ini, Sayang. Jaga diri kamu baik-baik ya. Aku sangat mencintaimu, Viana. Dari kekasih yang selalu mencintaimu, Marshall Marcelino."

Hati Viana menjadi tersentuh saat membaca surat dari sang kekasih. Betapa Marshall sangat mencintainya, sampai-sampai dia rela merajut boneka unicorn itu khusus untuk Viana.

"Marshall, aku nggak bisa berkata apa-apa lagi. Aku sangat mencintai kamu," ucap Viana seraya memeluk surat dan boneka dari kekasihnya itu dengan erat, seakan-akan Marshall-lah yang sedang berada dalam dekapannya.

Gadis itu merasa sangat bahagia, dan dia pun segera berlari menuju ke kamarnya sambil membawa boneka dan surat tersebut. Saking gembiranya, dia berjalan begitu saja dan melalui para wanita paruh baya yang sedang berada di rumahnya.

"Viana, kok kelihatannya seneng banget?" tegur salah seorang wanita.

Viana tertegun sejenak. Dia menghentikan langkahnya dan segera menoleh ke arah wanita tersebut. Sebuah senyum tersungging di bibir mungilnya.

"Eh, iya, Bu Marni. Kebetulan ada yang ngirim paketan buat aku," jawabnya dengan tersenyum kecil.

"Wah, dari siapa tuh?" tanya wanita yang lain.

"Mm, dari temen, Bu. Ya udah, Viana masuk ke kamar dulu ya," pamitnya sembari meninggalkan ibu-ibu tersebut dengan tergesa-gesa.

"Kalau pembicaraan ini terus dilanjutkan, mereka pasti nggak akan berhenti ngobrol dan menggosip," batinnya.

Viana terus melangkah tanpa melihat lagi ke arah ibu-ibu tersebut.

"Sombong banget ya Viana. Baru ditanya begitu saja sudah langsung pergi. Untung saja kaya, kalau miskin sudah aku tampol pakai nih sendal," ujar salah seorang wanita memulai pembicaraan.

"Iya juga sih. Mentang-mentang orang kaya. Eh, pasti paketan tadi dari pacarnya. Iya kan?" Ibu-ibu itu mulai menggosip.

"Iya pastilah. Siapa lagi kalau bukan pacarnya," sahut ibu yang lain.

"Eh, aku pernah lihat saat si Viana itu pulang diantar sama pacarnya lho. Cowoknya itu ganteng, tinggi, putih, terus hidungnya mancung lagi. Udah kayak artis lah pokoknya." Salah seorang wanita menimpali.

"Ya lagian kan Viana juga cantik banget. Jadi wajarlah kalau dapat pacar yang seganteng itu," sahut yang lainnya.

"Maaf, Ibu-ibu, saya mengganggu waktunya sebentar."

Kerumunan wanita paruh baya itu tersentak kaget saat melihat kedatangan seseorang. Wajah mereka memerah karena merasa malu. Mereka pun segera terdiam dan saling menyikut satu sama lain.

"Eh, Bu Mariana," tukas salah seorang wanita dengan gugup.

Mama Mariana hanya tersenyum saat menyaksikan wajah-wajah kikuk dari para tetangganya itu.

"Maaf ya, Bu. Saya mengganggu sebentar. Apa saya bisa minta tolong sama Ibu-ibu semua?" tanya Mama Mariana dengan sopan.

"Eh, tentu, Bu. Apa yang bisa kami bantu?" tanya salah seorang wanita.

"Begini, Bu. Tolong bantu saya untuk menyiapkan makanan di dapur ya. Tadinya sih saya mau pesan catering saja, tapi ternyata hari ini toko catering langgangan saya sedang tutup. Jadi saya berpikir untuk memasak sendiri saja makanannya. Bagaimana Ibu-ibu?" pinta Mama Mariana.

Para wanita itu tampak melirik satu sama lain. Setelah beberapa saat, akhirnya mereka pun menyetujui permintaan dari tetangganya itu.

Ibu-ibu itu bergegas menuju ke dapur dengan wajah malu. Mereka merasa malu karena telah ketahuan oleh Mama Mariana, saat sedang menggosipkan putrinya. Para wanita itu pun segera mempersiapkan bahan masakan dengan tergesa-gesa.

Sementara itu, Mama Mariana hanya tersenyum geli dengan perilaku para tetangganya.

"Dasar tetangga! Bahagia banget kalau sudah ngomongin orang. Sudah jadi kebiasaan buruk mereka," gumamnya lirih.

"Walaupun mereka suka ghibah, tapi tetap saja aku membutuhkan bantuan mereka. Dasar tetangga ya! Walaupun sudah sering digosipkan, tapi masih saja minta tolong. Ya mau bagaimana lagi, kami semua kan hidup berdampingan." Mama Mariana berujar seraya mengangkat kedua bahunya.

Dia pun bergegas menyusul para ibu-ibu itu menuju ke dapur untuk mempersiapkan makanan.

Beberapa jam kemudian di kamar Viana,

Gadis itu sedang sibuk memainkan gawainya dengan perasaan was-was.

Berkali-kali dia menekan angka-angka di ponsel dan mencoba untuk memanggilnya. Namun, tak ada jawaban dari nomor yang di harapkannya itu.

Viana segera melihat jam di layar ponselnya.

"Udah jam lima sore, tapi kenapa Marshall nggak kasih kabar? Aku udah coba menghubungi dia sejak beberapa jam yang lalu, tapi sampai sekarang nggak ada jawaban darinya," ucapnya yang mulai diselimuti rasa khawatir.

"Marshall, kamu kemana sih? Kalau emang kamu nggak bisa datang ke acara ulang tahunku nanti malam, nggak apa-apa kok, tapi tolong kasih kabar supaya aku nggak gelisah seperti ini," gerutu Viana sambil berjalan mondar-mandir dan terus berkutat dengan smartphone di tangannya.

Marshall, kemanakah kamu sebenarnya?

Apa kamu baik-baik saja?