Sebuah mobil melaju di atas jalan raya yang padat kala sore itu, Andine duduk di di bangku belakang dengan disupiri oleh Pak Joko, supir pribadinya.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Andine tak henti memandangi layar ponselnya. Senyuman samar juga tak kunjung luntur dari bibir wanita itu, kedua matanya tampak berbinar dengan hati yang begitu mengagumi sosok lelaki di foto tersebut.
Betapa bangganya gadis itu, memiliki seorang suami yang tampan dan juga berwibawa. Sosoknya yang gagah kala melangkah, dan suara beratnya saat bicara. Tidak salah lagi, bahkan kali pertama ia mendengar ijab qabul yang dilakukan Andra, wanita itu sudah jatuh cinta.
Namun, senyuman di bibir kemerahan itu lantas luntur dan memudar, saat ia mengingat bahwa hingga detik ini ia belum mampu meluluhkan hati sang suami. Sungguh keras, sekeras batu.
"Senyum-senyum mulu, Non." Lelaki yang duduk di balik kemudi itu memecah hening dengan sebuah canda hingga membuat Andine tersenyum malu.
"Bukan apa-apa, Pak," ujarnya sambil menyimpan ponsel di dalam tas, rasanya sudah cukup memandangi wajah tampan itu, ia sampai ditegur seperti itu, Andine jadi malu.
"Saya merasa senang kalau, Nona senang. Tidak melulu murung seperti saat di rumah," ungkap Pak Joko, yang bicara dengan tutur kata lembut nan tulus.
Ah, bahkan seorang pekerja saja turut merasa kesedihan yang sama begitu melihat bagaimana suasana rumah tuan dan nona mereka yang tidak baik-baik saja.
Andine melempar pandangan ke luar jendela sambil menghela napas pendek, ia menyadari bahwa selama di rumah, dirinya memang lebih banyak murung dengan wajah sedih, apalagi setelah bertengkar dan berdebat dengan sang suami.
Rumah itu dihuni oleh lebih dari satu orang, tapi seolah mati. Tidak hidup, hening, dan sunyi. Tak ada cinta yang menyala di dalamnya, sehingga yang tercipta hanya sebuah sepi yang mendera setiap jiwa. Penuh lara, padahal tak ada masalah apa-apa.
"Eng, maaf, Non, kalau ada yang salah dengan kata-kata saya." Melihat dari pantulan cermin bagaimana mimik muka sang nona yang langsung berubah drastis tak seperti sebelumnya, membuat lelaki paruh baya itu jadi merasa bersalah.
Andine menggeleng dengan selarik senyum ramah. "Nggak apa-apa, Pak. Nggak ada yang salah dengan kata-kata, Bapak," ujar Andine, "lagipula semua itu memang benar, kalau saya lagi di rumah, saya memang jarang sekali terlihat tersenyum. Lebih sering menampakkan wajah murung dan bersedih, terlebih saya juga suka menyendiri. Itu semua terjadi … karena sikap Mas Andra yang begitu dingin." Andine menyamarkan suara saat mengatakan kalimat terakhir, suaranya menghilang seiring dengan helaan napas yang menguar.
Raut wajah Pak Joko tampak berubah menjadi sendu, ia seolah turut merasakan bagaimana sulit dan kusutnya perasaan wanita itu.
Andine tersenyum miris, "Sudahlah, Pak. Saya tidak mau memikirkan banyak hal yang membuat saya jadi sedih, saya bertekad untuk memperbaiki semuanya."
Pak Joko hanya mengangguk mengiyakan.
Andine melihat-lihat isi galeri di handphone miliknya, ia juga membuka foto-foto pernikahannya dengan Andra, juga melihat isi buku nikah yang pernah ia foto.
Kedua mata bermanik kecoklatan itu tampak memicing dengan dahi berkerut halus, Andine mendekatkan layar ponsel ke wajahnya, lalu melihat di sana data-data diri Andra seperti tanggal lahir dan lainnya.
"Tiga hari lagi tanggal dua puluh delapan 'kan?" gumam Andine memastikan kembali, sejurus kemudian ekspresinya pun berubah. "Mas Andra ulang tahun hari itu?" Gadis itu sontak tersenyum lebar.
Andine tak menyangka, suaminya akan berulang tahun sebentar lagi. Tiba-tiba sebuah ide pun muncul, bahwa Andine akan membuat kejutan untuk lelaki itu. Sebagai salah satu usahanya untuk membuat Andra mau membuka hati untuk dirinya.
Andine diam-diam menyembunyikan senyum, sambil mengamati foto pernikahannya dengan sang suami, gadis itu tidak sabar untuk memberikan kejutan di hari spesial Andra.
Semangat yang pernah padam akibat rasa kecewa disia-siakan, kini mulai tumbuh lagi. Andine tidak akan melewatkan kesempatan serta momen spesial ini.
"Ada apa, Non? Saya lihat dari sini, kok kelihatan bahagia banget?" Rupanya lelaki paruh baya yang bertugas mengemudi itu melihat bahwa sang nona tengah tersenyum di belakang sana.
Andine tertangkap basah lagi, ia pun hanya tersenyum seraya menjawab, "Tiga hari lagi Mas Andra ulang tahun, Pak. Saya jadi ingin membuat kejutan untuknya," jelas gadis itu.
"Ohh, begitu. Kejutannya akan lebih spesial lagi kalau kuenya dibuat oleh Nona sendiri. Ya, ini cuma saran saja, Non. Orang yang sedang berulang tahun akan merasa lebih spesial kalau sesuatu dibuatkan untuknya dari tangan pasangannya." Pak Joko turut bahagia melihat sang nona tersenyum seperti itu.
Andine mengangguk mengerti, "Boleh juga, saya terima saran dari, Bapak," timpal wanita berhidung mancung itu.
Setibanya di rumah, Andine mulai memikirkan saran dari sang supir. Ia duduk di sebuah sofa kecil di sudut kamarnya, tengah berpikir apa yang dikatakan oleh Pak Joko.
"Tapi, aku 'kan nggak bisa bikin kue? Ck, boro-boro bikin kue, masak aja nggak tahu caranya." Andine sedikit mengeluh sambil berdecak, "Kayaknya kuenya beli aja deh kalau gini," gumamnya sambil mengusap wajah yang gusar.
Namun, tiba-tiba saja Andine teringat akan ibu mertuanya–Wulan–ibu kandung dari Andra. Gadis itu pernah mendengar bahwa mama mertuanya bisa dan cukup jago membuat kue. Andine jadi ingin segera menghubunginya, dan meminta sang mama mertua untuk mengajarinya. Tapi, saat Andine hendak menekan icon telepon di layar itu, tiba-tiba ia teringat akan satu hal lagi.
"Tapi, apa aku bisa dalam waktu tiga hari bisa langsung bikin kue?" gumam gadis itu meragukan dirinya sendiri, "Tapi … coba aja dulu," lanjutnya lagi kali ini meyakinkan diri sendiri.
Andine menghubungi nomor mama mertuanya, tak perlu menunggu waktu lama seseorang di seberang sana pun menjawab telepon Andine.
"Halo, Sayang … ada apa, Andine?" Begitu lembutnya suara mama mertuanya menyapa, Andine sedikit membandingkan dengan perlakuan dan kata-kata sang suami.
Ibu dan anak memiliki perbedaan saat bicara dengannya.
"Halo, Ma. Mama apa kabar?" Gadis itu berbasa-basi sebentar.
"Baik." Wulan menjawab singkat pertanyaan anak menantunya tersebut.
"Andine mau tanya, Ma. Mama … bisa bikin kue?"
"Kue? Bisa, Sayang. Kenapa?"
Selarik senyum terukir di bibir wanita muda itu, "Boleh ajarin, Andine, Ma?"
Terdengar tawa renyah di seberang sana, "Boleh dong, datang aja sini ke rumah."
Andine merasa senang dengan respon mama mertuanya itu, "Terima kasih, Ma."
"Iya, Sayang. Oh iya, memangnya ada apa kok tiba-tiba minta diajarin bikin kue?" tanya wanita paruh baya di ujung telepon.
Andine sedikit malu saat harus menjawabnya, "Eng … tiga hari lagi Mas Andra ulang tahun, Ma. Dan aku, ingin membuatkan kue untuknya."