Chereads / Wasted Wife / Chapter 8 - Kepanikan Andra

Chapter 8 - Kepanikan Andra

Sebuah taksi online berhenti di depan pagar rumah Andine dan Andra, seorang wanita tengah berjalan dengan bibir menggerutu. Ia adalah Andine.

Istri dari Andra tersebut langsung masuk ke dalam taksi, ia memerintahkan sang supir untuk menjalankan kendaraan roda empat tersebut.

Andine melipat tangan, tatapannya tertuju keluar jendela kaca. Gadis itu masih kesal atas sikap sang suami, betapa pria itu sungguh dingin dan ketus padanya.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, jalan raya tampak lenggang pada hari ini. Sedangkan cuaca terlihat cukup cerah, awan putih menggantung di atas langit kebiruan di atas sana.

Andine mendengkus, ia merogoh isi tasnya dan mengeluarkan sebuah ponsel. Ibu jarinya bergerak lincah mencari kontak seseorang. Saat Andine hendak menekan icon telepon, gadis itu tiba-tiba terdiam sejenak.

Beberapa detik berlalu, Andine menarik napas dalam kemudian membuangnya secara perlahan. Gadis itu tengah berusaha menenangkan dirinya terlebih dahulu, ia tak mau seseorang yang diteleponnya nanti curiga akan nada suara Andine yang terdengar tengah menahan kesal.

Akhirnya setelah merasa lebih baik, Andine segera menekan icon telepon pada kontak bernama 'Amira' tersebut.

"Halo?" Suara seorang wanita terdengar di telinga Andine.

"Halo, Mir."

"Ya? Kenapa, An?" tanya Amira dari seberang telepon sana.

Andine terdiam sejenak, ia tak mau sahabatnya tersebut sampai curiga. Hari Minggu seperti ini, apalagi Andine adalah sosok wanita yang baru mendapat status sebagai istri, apakah cocok bahwa dia memilih pergi dan meninggalkan sang suami? Bukankah lebih baik tinggal di rumah bersama suami tercinta? Andine bingung, ia mencoba mengarang cerita agar Amira percaya dan tidak menaruh curiga.

"Eng … kamu di rumah, Mir?" tanya Andine kemudian.

"Ya, aku di rumah. Kenapa, An?"

"Aku mau ke rumah kamu, Mir. Mau main aja," jawab Andine sambil menggigit bibir bawahnya.

"Loh? Suami kamu ke mana? Kenapa nggak main sama dia aja?" tanya Amira sambil tertawa, membuat Andine memutar bola mata malas.

"Dia sibuk, Mir." Kalimat itu terlontar begitu saja tanpa Andine duga. Ya … tapi memang seperti itu faktanya bukan?

"Masa sih? Ini 'kan hari Minggu, sibuk apaan emang?" Amira terdengar sangat penasaran.

Andine menghela napas, "Sibuk kerjaan lah, sibuk apalagi emang?"

Terdengar tawa di ujung telepon sana, "Ya, santai dong jawabnya. Duh, kasihan banget kamu, An, bukannya sayang-sayangan sama suami malah milih pergi cari kesenangan sendiri."

Andine menahan kekesalan dengan membuang napas panjang, temannya yang satu ini memang minus akhlak, dan Andine sudah tahu akan hal itu.

"Udah aku bilang dia sibuk, aku juga nggak mau ganggu," ucap Andine, "jadi, boleh nggak nih aku main ke rumah kamu? Kalau nggak boleh ya nggak apa-apa."

"Iya boleh! Sensi banget sih? Sini-sini dateng sini, kita main bareng kayak kamu gadis dulu. Ke mana? Mall? Atau ke mana?" Suara Amira terdengar sangat antusias, gadis periang itu sebenarnya sangat senang saat tahu Andine hendak datang mengunjunginya.

"Ntar dipikirin lagi mau ke mana, mending sekarang kamu siap-siap aja dulu, aku nggak mau nunggu lagi," jelas Andine.

"Oke!"

Setelah mendengar jawaban sahabatnya, Andine segera mematikan sambungan telepon. Gadis itu kembali membuang pandangan ke luar jendela kaca, ia menyandarkan punggung dan mengamati suasana jalanan kota Jakarta yang ramai tersebut.

Tak berselang lama, mobil yang membawa Andine akhirnya tiba di depan rumah Amira. Gadis berhidung mancung itu segera turun dari kendaraan roda empat tersebut, ia berdiri di depan pagar dan beberapa kali menekan bel rumah.

Sepersekian detik kemudian, pagar besi di hadapan Andine tersebut akhirnya terbuka. Seorang gadis berambut hitam sebahu muncul sambil tersenyum lebar menyambut kedatangan Andine.

"Hai! Sebentar ya, aku mau ambil mobil dulu, tunggu sini, An." Amira berbalik dari hadapan Andine setelah mendapat anggukan dari sahabatnya itu.

Andine menunggu di luar pagar, sedangkan Amira tengah mengambil mobil pribadinya, sebagai kendaraan untuk mereka pergi bersama-sama.

"Yuk!" ajak Amira, wanita yang duduk di balik kemudi itu menghentikan mobilnya di sebelah Andine berdiri. Andine pun segera melangkah dan masuk ke mobil sahabatnya.

"Kita mau ke mana nih?" tanya Amira seraya menoleh ke arah Andine.

Andine tak langsung menjawab, dengan raut wajah datar tanpa ekspresi, gadis itu malah balik menoleh dan melihat Amira tengah memperhatikannya.

"Eng … ke resto baru yang kemarin kita lihat aja gimana? Penasaran sama makanannya." Andine akhirnya menjawab meski ia mati-matian menyembunyikan rasa tak menyenangkan di dalam hatinya.

Amira mengangguk sambil tersenyum lebar, "Oke! Berangkat!" Gadis itu segera melajukan kendaraan roda empatnya tersebut.

***

Di rumah, Andra tinggal seorang diri. Pria itu masih berada di ruang kerjanya. Duduk di balik meja, dengan tatap tertuju ke arah layar laptop.

Ponsel Andra yang berada di atas meja tiba-tiba bergetar. Pemuda itu segera mengambilnya.

"Mama?" gumam Andra dengan dahi mengernyit heran.

"Halo, Ma?" jawab Andra akhirnya.

"Halo, Sayang …!" Suara Wulan--ibu kandung Andra--terdengar sangat bahagia.

"Iya, Ma, ada apa?" Andra malas-malasan merespon wanita di seberang sana itu.

"Andra, kamu dan Andine di rumah 'kan? Mama dan papa lagi di perjalanan mau ke rumah kalian nih, sebentar lagi sampe."

Andra tersentak kaget, di tempat duduknya pria itu membeku. Panik, dan bingung, Andra dilanda kecemasan secara tiba-tiba. Orang tuanya akan datang berkunjung ke rumahnya, sedangkan saat ini istrinya sedang tidak ada di rumah. Apa yang harus dilakukannya?

"Eng … ma-mama beneran udah di jalan?" Andra kembali memastikan, walau ia tahu jawaban mamanya tetap sama.

"Iya, Sayang. Ya udah kalau gitu sampai ketemu nanti ya? Jangan lupa sampaikan ke Andine juga." Wulan langsung mematikan sambungan telepon, bahkan tak memberikan kesempatan untuk sang putra kembali bicara.

"Halo? Ma? Halo, Ma? Yah, langsung dimatiin," Andra mengusap wajahnya, frustasi.

"Aduh … aku harus bilang apa kalau, mama sama papa tanya? Andine ke mana sih tadi? Aduh …!" Pria itu tampak gusar, Andra segera menelepon sang istri untuk memberitahu kabar mendadak ini, sekaligus memintanya untuk segera pulang.

Panggilan pertama.

Panggilan kedua.

Panggilan ketiga.

Sang istri tak kunjung menjawab teleponnya. Sebab memang, gadis itu sedang menikmati waktu kebersamaan dengan sahabatnya tanpa ingin diganggu oleh suaminya.

"Parah banget kamu, An! Angkat lah!" Andra menggerutu, ia tak kunjung mendapat jawaban dari teleponnya, Andra sampai mengirimi sang istri pesan panjang dan berharap gadis itu akan membaca kemudian bergegas pulang ke rumah.

"Duh!" Andra mengusap wajahnya.

Ting! Bel rumah terdengar, Andra terkejut bukan kepalang. Lagi-lagi kepanikan melanda, apa yang harus dikatakannya saat papa dan mamanya bertanya tentang keberadaan Andine? Andra belum punya jawaban apa-apa, dan mereka sudah tiba tanpa Andra duga.

Bersambung.