Andra mendengkus, "Kamu ngomong apa sih, An?" Pemuda itu tak mempedulikan ucapan Andine yang sedikit memohon.
"Sudah aku bilang sejak awal, jangan terlalu berekspektasi terlalu tinggi pada pernikahan ini." Andra melanjutkan dari tempatnya berdiri, sedangkan sang istri duduk dengan kepala menunduk di atas sofa.
"Kamu masih muda, begitu juga denganku. Setelah berpisah, kamu akan menemukan pria yang lebih baik dari aku."
"Apa, Mas?" Andine yang diam sejak tadi lantas mendongak, matanya melotot dengan ekspresi wajah penuh keterkejutan.
"Kamu bahkan sudah berpikir sampai ke sana?" tanya Andine setengah memprotes, sedangkan Andra hanya mematung dengan tatap tertuju ke wajah Andine.
"Aku nggak percaya kamu udah siap-siap untuk menceraikan aku--"
"Ya nggak dalam waktu dekat ini juga lah, aku juga nggak mikir sedangkal itu!" potong pria tinggi itu dengan tatapan tajam.
"Kamu pikir aku bodoh? Lagipula apa yang aku bilang tadi benar 'kan? Suatu hari nanti kita bakal cerai, dan kembali ke kehidupan masing-masing. Aku udah bilang sama kamu, aku nggak pernah menginginkan pernikahan ini terjadi di dalam kehidupan aku," jelas Andra dengan penuh penekanan dan suara yang jelas.
Andine merasa tertohok, ia membuang pandangan ke sembarang sarah seraya mengembuskan napas panjang. Syok.
"Dua atau tiga tahun mungkin cukup, aku bisa buat alasan supaya orang tua kita percaya kalau di antara kita memang nggak ada kecocokan. Setelah itu, kita berdua bebas dan nggak akan terikat oleh apa pun. Kamu sendiri bisa cari laki-laki lain yang bisa menerima dan mencintai kamu." Andra bicara dengan penuh percaya diri, seolah-olah hatinya telah benar-benar mati untuk sekedar mencoba menerima Andine sebagai istrinya.
"Tapi kenapa, Mas? Kenapa kamu nggak mencoba untuk menerima dan mencintai aku? Aku butuh alasannya." Andine menatap suaminya dengan suara yang terdengar memohon.
Melihat wajah iba milik Andine, tak langsung membuat hatinya menaruh simpati pada sang istri. Andra masih teguh dalam pendiriannya, bahwa sampai kapan pun ia tak akan jatuh cinta pada sosok Andine. Pernikahan ini bukanlah keinginannya, ia tak akan bisa membuka hati barang sedikit untuk gadis berparas ayu tersebut.
Pertanyaan Andine membuat Andra terdiam, di kepalanya tiba-tiba terbayang sosok gadis lain yang wajahnya jauh berbeda dengan Andine. Wanita langsing bertubuh tinggi dengan rambut hitam lurus serta sedikit kemerahan di ujungnya, wajahnya lebih mirip orang kebaratan daripada asia. Namanya, Viona.
"Aku tidak bisa mengatakan alasannya padamu. Jangan bahas masalah ini lagi." Sejurus kemudian Andra melangkah pergi meninggalkan Andine, pria itu menaiki tangga lalu menghilang setelah ia memasuki kamar pribadinya.
Setetes air jatuh dari ujung mata Andine, menyusul genangan lain di mata yang satunya. Gadis itu terdiam memandangi pintu kamar Andra yang telah tertutup rapat. Dalam hati ia berharap, agar sang suami berubah pikiran dan kembali untuk mengatakan alasan sebenarnya. Namun, hingga beberapa detik berlalu, pria itu tak kunjung keluar dari kamarnya.
***
"Kenapa? Kenapa harus kamu tanya alasannya?" Andra meremas pagar pembatas di balkon kamarnya. Amarah Andra tiba-tiba memuncak saat Andine menanyakan alasan mengapa ia tak mencoba untuk menerima sang istri sepenuhnya.
Bayangan Viona kembali mengisi otaknya. Sosok gadis berwajah cantik dengan hidung mancung dan bibir penuh kemerahan memenuhi pikiran Andra. Lagi-lagi Viona membuat Andra kesulitan bernapas, dadanya tiba-tiba sesak kala ia mengingat pengkhianatan wanita itu.
"Aku janji akan kembali ke Indonesia, Ndra. Aku janji."
"kamu yakin bisa berjanji? Bagaimana jika kamu berhasil menjadi model terkenal lalu melupakan aku?"
"Tidak. Aku tidak akan melupakanmu. Setelah aku berhasil dan sukses di sana, aku akan kembali untuk menjadi istrimu. Bukankah aku sudah berjanji?"
"Baiklah, aku percaya."
Obrolan yang sudah berlalu bertahun-tahun itu kembali berputar di ingatan Andra, suara dan setiap kata yang diucap oleh Viona masih jelas membekas di kepala pemuda itu.
Andra tersenyum getir, inilah alasan sebenarnya mengapa ia tak bisa mencintai Andine--istrinya--sebab di hatinya masih tersimpan sebuah nama yang tak bisa benar-benar menghilang begitu saja.
"kamu mengingkari janjimu, Viona. kamu mengkhianati aku. kamu …." Andra menunduk dengan perasaan hancur, "kamu sudah melupakan aku."
Andra kecewa, berkali-kali lipat rasa sakitnya. Saat orang yang diharapkan akan memenuhi janji, ternyata malah mengingkari janji itu sendiri.
Andra mendukung penuh mantan kekasihnya itu, ia bahkan tak henti menanyakan kabar saat Viona baru memulai perjalanan karirnya di Paris. Pemuda itu masih mengharapkan Viona kembali dan pulang ke Indonesia, tetapi gadis itu tak pernah melakukannya.
Viona tak pernah lagi kembali.
***
Siang itu, kediaman Andra dan Andine didatangi oleh tamu. Danu dan Utami, keduanya adalah papa dan mama kandung Andine.
Di ruang tamu, keempat orang itu duduk bersama. Ditemani oleh teh dan beberapa cemilan sebagai sambutan untuk tamu yang datang.
Seulas senyum tak henti berkembang di bibir Danu dan Utami, mereka sangat bahagia melihat Andine kini sudah bersuami. Apalagi, sosok suami Andine adalah pria yang mereka pilih sendiri, yang mereka yakini akan cocok dengan Andine.
"Bisnis gimana, Ndra? Aman?" tanya Danu diselingi canda.
Pemuda itu tersenyum semakin lebar, "Aman, Pa. Setelah menikah dengan Andine, laba juga semakin naik." Andra menjawab sambil melirik sekilas ke arah sang istri.
"Wah, beruntung dong kamu nikah sama, Andine." Pria berambut setengah putih itu tertawa, ia menatap bergantian ke arah putrinya dan sang menantu.
Sedangkan Andine, hanya menanggapi dengan senyum tipis.
"Andine juga beruntung menikah dengan Andra, sekarang dia kelihatan lebih kalem dan bahagia. Kalian berdua sama-sama beruntung." Kali ini Utami turut memberikan komentarnya.
"Karena sudah jodoh, Ma," celetuk Danu sambil kembali tertawa.
"Aku mau ke kamar mandi sebentar, Ma, Pa. Lanjutin aja ngobrolnya," pamit Andine tiba-tiba. Gadis itu segera beranjak dari sana, dan buru-buru menuju kamar mandi yang kebetulan terletak di dekat dapur.
Selain karena ingin buang air, alasannya pergi ke kamar mandi juga karena Andine tidak mau terlalu lama menikmati drama di sana. Gadis itu sudah muak melihat wajah manis suaminya yang penuh kepalsuan, di mana Andra hanya berpura-pura dan berakting di depan orang tuanya seolah dia adalah suami yang baik dan sangat menyayanginya.
"Bullshit!" Andine bergumam lirih dengan perasaan dongkol, di depan cermin kecil yang ada di kamar mandi gadis itu mematut diri. Ia sangat enggan sebenarnya jika harus kembali dan berkumpul lagi bersama orang tua dan suaminya. Andine lelah dengan semua drama ini.
"Haruskah aku berhenti berjuang? Sedangkan Mas Andra aja nggak pernah mau mencoba menerimaku sebagai istrinya," lirih suara Andine dengan pikiran yang kalut.
Andine bergegas keluar, tapi tiba-tiba ia dikejutkan dengan sosok sang mama yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi.
"Mama?" Gadis itu mulai dilanda rasa panik, bagaimana jika mamanya mengetahui keresahan hatinya lewat ekspresinya saat ini? Atau jangan-jangan wanita itu mendengar apa yang Andine bicarakan di dalam toilet?
Utami tersenyum, "Kamu baik-baik aja 'kan, An?" tanyanya.
Bersambung.