Tak ada yang bisa menyalahkan takdir, semua sudah terencana sebagaimana mestinya. Termasuk pernikahan.
Arya tak berdaya, saat mengetahui fakta bahwa wanita yang selama ini ia kagumi diam-diam, ternyata menikah dengan pria lain. Salahnya sendiri memang, kenapa ia harus jatuh cinta pada pekerjanya sendiri, dan mengapa tak segera mengutarakannya saja.
Namun, Arya percaya pada kalimat; bahwa cinta tak harus memiliki, dapat melihat Andine bahagia itu sudah cukup baginya. Tetapi, melihat wajah murung Andine malam ini, membuatnya merasa curiga. Benarkah gadis itu sedang baik-baik aja? Arya bertanya dalam hati.
"Saya pulang duluan, Pak," pamit Andine, sesaat setelah meeting selesai.
Arya menoleh pada gadis di sebelahnya, wanita itu sudah siap hendak pergi. Ada sorot tak rela di manik kehitaman milik Arya, seolah ia tak ingin sang sekretaris buru-buru berlalu dan meninggalkannya.
"Kamu pulang sama siapa?" tanya Arya kemudian, sebenarnya ia ingin sekali mengantarkan wanita itu. Namun, keinginannya masih tercekat di tenggorokan. Arya tak seberani itu, apalagi Andine kini sudah berstatus sebagai istri orang.
"Supir saya sedang menuju ke sini, Pak." Wanita berambut lurus itu menjawab, disertai seulas senyum tipis dan anggukan singkat. Menghormati sosok di depannya.
Arya menghela napas pendek, ia tak punya pilihan lagi selain membiarkan Andine pergi bersama supirnya.
Bola mata gadis itu melirik sebuah mobil putih yang baru saja melintas di hadapannya, ia segera berceletuk, "Itu dia supir saya, Pak. Sudah tiba di depan."
Arya menoleh sekilas pada jalanan di hadapannya, tapi segera ia alihkan saat mengetahui Andine sudah bangkit berdiri.
"Oke, hati-hati," ucap Arya seraya bangkit berdiri mengikuti Andine.
Wanita muda itu mengangguk sopan, "Permisi, Pak," pamitnya.
Andine segera melangkahkan kaki setelah mendapatkan anggukan mempersilakan dari Arya, pemuda berkulit bersih itu mengamati punggung Andine yang kian menjauh dari pandangannya. Bahkan tak sedetik pun terlewat sampai sosok sang sekretaris menghilang saat ia memasuki mobil.
Arya menghela napas, ia menunduk dan menatap sepatu hitam yang membalut kakinya. Terkadang, pria itu heran dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia menyukai wanita yang bahkan hanya menganggap dirinya sebagai pimpinan yang wajib dihormati? Arya kesal dengan dirinya sendiri, sebab sampai detik ini perasaannya untuk Andine masih tetap sama dan tak kunjung berubah, padahal gadis itu sudah memiliki suami yang pasti sangat Andine sayangi, menurut Arya.
***
Tepat pukul sembilan malam, setibanya di rumah Andine segera masuk ke kamarnya. Wanita itu tak melihat sang suami, kemungkinan sudah ada di kamarnya, pikirnya.
Andine mengempaskan duduk di depan meja riasnya, wanita yang sudah selesai mandi dengan rambut setengah basa itu menatap pantulan dirinya di cermin.
Kulit sehat terawat, bentuk wajah yang seringkali membuat beberapa kaum Adam terpana, serta lekuk tubuh yang sebenarnya bisa dibilang ideal untuk usia Andine. Wanita itu cantik, dan pantas untuk dicintai sepenuh hati.
Namun, ternyata suaminya sendiri tidak bisa melihat apa yang ada di dalam diri Andine. Andai Andra mau membuka matanya lebar-lebar, mungkin ia akan belajar menerima pernikahan ini, dan mulai menerima istrinya sendiri.
Andine tersenyum kecut, bahkan seharian tanpa kabarnya Andra merasa baik-baik saja. Pria itu bahkan tak menghubunginya walau hanya mengiriminya pesan singkat. Tak ada sama sekali. Wajar jika Andine menganggap sang suami tak peduli pada dirinya.
"Kapan kamu bisa buka hati kamu untuk aku, Mas?" Andine bergumam lirih.
***
Di ruang kerjanya, Andra duduk mengamati layar laptop di hadapannya. Dahinya sampai berkerut dengan tatapan menyipit, begitu serius. Tangan kanan lelaki itu menggenggam mouse untuk mengatur gerakan kursor yang ada di layar.
Bukan karena pekerjaan yang membuatnya tampak begitu serius, pria berkaus hitam itu sedang sibuk mengamati akun Instagram seseorang. Milik lelaki berkebangsaan asing yang bertempat tinggal di Paris, Perancis.
Andra tersenyum miring, ia menggelengkan kepala sambil terus mengamati foto-foto unggahan lelaki asing itu. Andra merasa geli sendiri, padahal di setiap postingan yang diunggah, tak satu pun yang mengandung unsur komedi.
"Kau sedang dekat dengannya? Apa istimewanya laki-laki ini? Dia bahkan hanya seorang bartender di sebuah kafe kecil." Andra menggumam sambil tersenyum mengejek.
Detik berikutnya, pria itu menutup laptop dan bangkit berdiri. Senyum tipis yang tadi sempat terukir kini menghilang, wajah kehampaan kembali menyapanya.
Pemuda itu melangkah menuju jendela kamarnya yang terbuka, ia mengamati taburan gemintang di atas langit gelap di atas. Bahkan setelah menjatuhkan lelaki asing itu, keadaan hatinya masih belum baik-baik saja. Luka di dalam sana tak kunjung sembuh, yang ada semakin perih kala ia kembali mengingat sosok yang menjadi sebabnya.
"Apa kau bahagia dengan kehidupanmu yang sekarang, Viona? Apa kau tak pernah mengingatku lagi sebagai bagian kecil dari kebahagiaanmu di masa lalu?" Andra bergumam dengan tatapan sendu.
"Lalu bagaimana denganku? Yang masih harus tertatih melupakanmu, bahkan sampai detik ini aku belum mampu." Suara Andra semakin lirih ditelan embusan angin malam yang sejuk.
Lelaki itu memejamkan kedua mata sejenak, kini kesedihan begitu terpancar jelas dari wajahnya. Dalam keheningan malam, dalam kesunyian yang terasa mencekam, masing-masing dari mereka tengah merasakan gulana di dalam jiwa.
Tentang cinta yang belum selesai, dan tentang cinta yang tak kunjung terbalas. Sampai kapan baru akan menuju kebahagiaan?
***
Sabtu pagi. Weekend kali ini Andine dan Andra sama-sama stay untuk di rumah saja. Bukan apa-apa, sebab hari ini keduanya akan kembali kedatangan tamu lagi. Kali ini bukan dari orang tua Andra, melainkan dari orang tua Andine. Para orang tua yang memang saling berteman dekat itu, seolah sudah mengatur jadwal untuk bergantian mengunjungi anak-anak mereka.
Bedanya, kedua orang tua Andine sudah mengabari sejak subuh. Sehingga tak membuat pasangan muda itu panik, keduanya bisa mempersiapkan beberapa hal termasuk menjaga kekompakan agar papa dan mama Andine tidak menaruh curiga.
"Selalu tersenyum, tunjukkin kalau kamu bahagia atas pernikahan ini. Dan satu lagi, jangan jauh-jauh dari aku, kita berdua itu harus kelihatan seperti pengantin baru pada umumnya, yang maunya lengket terus sama pasangannya." Andra bicara panjang lebar sambil berjalan mondar-mandir di hadapan Andine.
Wanita bertubuh langsing itu hanya memutar bola mata malas mendengar ocehan suaminya, ia tak tertarik sama sekali dengan rencana drama yang tengah disusun oleh Andra. Lelaki itu ingin sekali membuat orang lain menganggap mereka adalah pasangan serasi, padahal nyatanya tidak sama sekali.
Lagipula, Andine tak perlu berpura-pura untuk 'terlihat' mencintai Andra, sebab sejak ijab kabul terucap, Andine sudah jatuh cinta sebenar-benarnya pada lelaki itu. Hanya saja, Andra yang tidak mengetahuinya, ia hanya berfokus pada perjanjian pernikahan yang ia buat sendiri.
"Bagaimana, An? Kamu paham 'kan?" tanya Andra sambil melihat ke arah istrinya yang sedang duduk di sofa.
Andine menghela napas, ia menatap sang suami dengan jengah. "Kenapa kamu nggak belajar untuk benar-benar menerima dan mencintai aku, Mas? Jadi, kita nggak perlu bikin drama seperti ini."
Wajah lelah Andine menyiratkan betapa ia sangat kecewa dengan sikap suaminya. Sedangkan Andra, terdiam dengan penuh kebingungan.
Bersambung.