Di parkiran keenam dari mereka berjalan menuju mobilnya dengan menampakkan wajah penuh kekecewaan, operasi yang sudah direncanakan matang-matang gagal begitu saja. Para pelaku sungguh benar-benar bukan orang yang pantas disepelekan. Walau mereka rata-rata dari kampung, tapi kelicikan mereka cukup sulit untuk ditebak.
"Gagal lagi hari ini untuk menangkap keempat dari mereka," keluh Haris dengan wajah kecutnya.
"Mungkin bukan hari ini, tapi kita harus yakin kalau kita bisa menangkap mereka suatu saat nanti," Ramon merangkul bahunya.
"Aku harus pergi sekarang, tapi nanti aku akan balik lagi," Andrew meminta ijin kepada Viktor sehingga semua yang berjalan berbalik melihatnya.
"Mau kemana kau?" tanya Haris dengan nada kesal melihat Andrew yang tidak tahu diri ijin pergi.
Reni memperhatikan wajah Andrew yang cemas, membuatnya ikut penasaran dengan Andrew yang ingin pergi.
"Mau pergi kemana sih dia? Buatku penasaran saja," batin Reni sambil menyilangkan tangannya melihat ke arah Andrew yang berada di samping Viktor.
Viktor melihatnya yang sangat panik. "Apa ada kejadian buruk?" tanya Viktor kepada Andrew sambil melihat wajahnya.
"Saya harus melihat seseorang yang terluka, jadi saya ijin sebentar. Apa boleh Pak?" Andrew dengan penuh harap melihat Viktor lalu melihat ke arah lainnya.
"Pergilah, tapi jangan lupa kau harus kembali ke kantor," jawab Viktor memberi ijin Andrew yang begitu meyakinkan.
"Terima kasih Pak," ucap Andrew langsung bergegas berlari menuju mobilnya yang terparkir dipaling ujung.
Sontak Haris dan Adit yang tak menyukainya, protes terhadap Viktor yang memberikan ijin kepada Andrew yang pergi begitu saja.
"Kenapa sih komandan memberikan ijin! Nanti kebiasaan lagi dia. Kemarin pagi juga dia pergi begitu saja, sampai telat untuk rapat," protes Haris dengan wajah kesal.
Viktor menggelengkan kepalanya sambil berjalan menuju mobilnya diikuti oleh yang lainnya. Lalu Adit juga menyampaikan keluhannya dengan. Andrew yang tidak pernah sopan terhadap yang lainnya.
"Iya Andrew juga terlalu cuek, dan juga dingin. Tidak sopan dan tidak bisa diajak kerja sama," Adit berjalan di belakangnya dengan melihat Haris yang ada di sampingnya.
"Kalian ini serasa kalian saja yang paling benar dalam bekerja!" Tegur Reni dengan tegas yang ada di belakangnya bersama Ramon.
Haris dan Adit menengok ke arah Reni untuk menegurnya, tapi Viktor memberi perintah untuk terus berjalan.
"Teruslah berjalan! Jangan ribut di jalan!" perintah Viktor dengan tegas.
Mereka berdua dengan kesal tidak jadi menegur Reni yang sangat menyebalkan. Ramon melihat ke arah Reni seketika tersenyum menggelengkan kepalanya, merasa lucu dengan Reni yang sedang kesal. Reni yang melihatnya langsung menanyakannya dengan gerakan bibirnya saja.
"Apa kau tersenyum seperti itu?" Reni menggerakkan bibirnya dengan ekspresi wajah yang kesal.
"Tidak apa-apa. Kau lucu sekali jika sedang marah," bisik Ramon ditelinga Reni lalu tersenyum menggodanya.
Reni menghentikan langkahnya dengan kesal melihat Ramon yang sedari tadi siang sok akrab sekali dengannya. Ramon melihat Reni berhenti lalu dia melambaikan tangannya sambil berjalan. Dengan terpaksa dia berjalan pelan agar tidak dekat-dekat dengan Ramon.
"Ish dasar pria hidung belang! Kau pikir bisa bermain-main denganku!" gumam Reni dengan kesal.
Di perjalanan Andrew mempercepat laju kendaraannya, memikirkan Sonia yang tadi meneleponnya dengan sangat cemas.
"Aku harap kamu baik-baik saja Sonia, jika terjadi hal buruk denganmu! Maka aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri," gumamnya dengan wajah yang khawatir.
Sonia sedang duduk di teras minimarketnya sendirian, sambil termenung merasakan kesakitan di sekujur tubuhnya. Dia tersenyum dengan mata yang berbinar-binar ingin menangis, mengingat neneknya.
"Nenek lihatlah aku, babak belur seperti ini! Padahal aku mengatakan untuk kebaikan mereka, tapi apa yang mereka perbuat kepadaku. Sungguh menyesakkan!" ucap Sonia seolah mengeluh kepada Neneknya yang sudah tidak ada lalu berdiam diri meneteskan air matanya. "Nenek aku rindu sekali," lirih Sonia mengusap air matanya lalu tersenyum sedih. "Maafkan aku nenek, lagi dan lagi aku menjatuhkan air mata ini yang tidak berguna. Nenek tersenyumlah disana, jangan sedih melihatku seperti ini, karena aku akan tetap berjuang mengatakan hal yang benar," Sonia menundukkan wajahnya dengan kedua kaki yang ditekuk lalu menangis sesenggukan.
Tak lama mobil Andrew tiba di halaman minimarket yang luas, dia melepaskan sabuk pengamannya melihat Sonia yang menundukkan kepalanya di kedua lututnya yang dilipat. Lalu dia turun dari mobilnya dengan menutup pintu mobilnya lagi.
"Brakkk..."
Mendengar suara itu Sonia menegakkan kepalanya lalu menghapus air matanya sambil berdiri untuk menyapa Andrew.
"Kamu sudah...." perkataannya berhenti kala Andrew langsung memeluk tubuhnya yang dingin. "Ada apa denganmu Andrew?" Sonia sambil mengangkat tangannya untuk melepaskan pelukannya.
"Tetaplah seperti ini sebentar saja, aku sangat mencemaskanmu," pinta Andrew memeluk Sonia dengan erat di malam yang dingin.
"Maafkan aku ya Andrew, bukan maksudku membuatmu cemas, tapi..." perkataannya terhenti Andrew melepas pelukannya.
"Ada apa dengan wajahmu? Seperti habis dipukuli orang! Siapa yang berani memukulmu seperti ini!" Andrew dengan cemas menyentuh wajah Sonia yang babak belur.
Sonia menjauh sambil tersenyum menyingkirkan tangan Andrew. "Aku baik-baik saja, aku hanya malu saja. Diperlakukan seperti ini dengan anak remaja SMA itu. Mereka mengeroyokku dengan kejam, kalau saja main satu lawan satu, sudah pasti aku yang menang," jelas Sonia dengan rasa kesalnya.
"Astaga Sonia! Kenapa kamu melawan anak remaja itu sih, mereka itu anak-anak nakal yang kurang perhatian. Seharusnya kamu diamkan saja, jangan ikut campur. Lihat wajahmu itu, jadinya seperti apa," Andrew dengan wajah cemas menegur Sonia.
"Aku tahu itu! Tapi coba saja kau menjadi aku, mereka ingin membeli kondom dan rokok! Apakah kamu akan memberikannya," Sonia membela dirinya yang salah dimata Andrew.
"Ya sudah berikan saja, itu kan urusan mereka. Aku hanya tidak ingin kamu kenapa-kenapa seperti ini. Kau tahu aku tidak bisa membiarkan kamu terluka seperti ini," Andrew meninggikan suaranya mencemaskan Sonia.
Sonia menatap serius dengan wajah menahan rasa kesalnya terhadap Andrew yang bisa bicara seperti itu dengannya. "Sepertinya aku salah meminta bantuan kepadamu!" Sonia berjalan cepat meninggalkan Andrew.
Andrew menghela nafasnya berjalan menyusul Sonia, memegang lengannya untuk menghentikannya pergi.
"Jangan pergi sendiri, naiklah ke mobilku," ucap Andrew melemahkan suaranya membujuk agar Sonia tak lagi marah.
Sonia melepaskan tangannya dengan menatap tajam Andrew yang memintanya naik ke dalam mobilnya.
"Tidak usah! Aku akan pergi saja, aku tidak akan meminta bantuan lagi kepadamu," jawabnya dengan marah kepada Andrew.
"Sonia... Maafkan aku ya. Aku hanya mencemaskan kamu saja, aku tidak ingin kamu kenapa-kenapa. Itu saja, makanya tadi aku berucap seperti itu," Andrew membujuknya dengan mengakui kesalahannya.