"Apa itu, Pa?" tanyaku, dengan dahi mengernyit bingung. Menatap pada satu amplop berwarna coklat, berukuran besar.
"Uang, kalian bisa menggunakannya untuk apa saja, terserah!" Netraku berbinar, senyum merekah. Ternyata usai sakit yang kualami, bahagia datang secara bertubi.
Namun, kebahagiaan itu seakan berpihak kepadaku saja. Buktinya, Mas Faris tampak memasang wajah biasa. Seakan tak ada yang spesial, kamu kenapa lagi, Mas?
Usaha bakso, kami tinggal untuk sementara waktu, demi memenuhi panggilan Mama dan Papa. Terlebih, suami juga setuju. Katanya, hal ini akan membuat tali silahturahmi yang sempat terputus bisa kembali terjalin dengan erat.
"Jangan senang dulu, Mayang. Karena Papamu, memberikan uang itu tidak secara cuma-cuma." Tubuhku menegang, demi mendengar perkataan Mama.
Allah ... ternyata aku salah menilai, padahal hati sudah senang. Mikirin yang enak-enak, faktanya lain dari apa yang sudah menjadi harapan!