"Bicaralah, Dek ... Mas perlu suaramu, Mas perlu semua yang dulu kamu berikan kepada, Mas. Jangan hanya diam saja, Mas tak bisa begini. Diammu bisa membuat Mas perlahan-lahan menjadi gila, Dek." Mas Alif menggoyangkan bahuku pelan.
Aku masih tetap diam, kutatap manik mata Mas Alif dengan sangat mendalam.
Benarkah cinta Mas Alif setulus itu padaku?
Apa benar rasa sayangmu padaku tak akan berkurang, Mas? Aku ragu, Mas. Aku takut suatu saat nanti, kamu akan bosan padaku lalu berpaling pada istri barumu. Apalagi jika istri barumu hamil, kupastikan kamu akan secepatnya melupakanku, batinku.
Aku melepaskan pegangan Mas Alif padaku.
Kulangkahkan kaki menuju ranjang, lalu berbaring di sana, memunggungi Mas Alif.
Kurasakan pelukan hangat pada tubuhku, kubiarkan saja Mas Alif berlaku seperti itu.
Masih terdengar isak tangis di belakangku, jujur mendengar tangisnya. Aku benar-benar merasa bahwa aku sangat berharga dalam kehidupannya.