Air liurku hampir saja menetes. Dasar, memalukan. Aku kan sudah dua kali bergelayut di sana, bahkan sering merebahkan kepala di dadanya. Masih saja dibuat tak berdaya seperti ini. Otak dan pikiranku sepertinya sudah terkunci oleh seorang Farhan.
"Kebiasaan. Melamun terooos ...."
Aku melangkah maju. Bukan mendekat padanya, melainkan duduk di tepi ranjang. Diam-diam kuelus seprai berwarna biru dongker ini, warna kesukaan Mas Farhan.
"Padahal aku tau isi pikiranmu." Dia berputar. Berhenti di dekatku.
"Apa? Seperti cenayang saja." Aku melawan menatapnya, biar dia tau kalau dia pun punya kesalahan.
"Kenapa pesanku nggak dibalas? Teleponku juga nggak diangkat." Aku menggerutu. Menoleh kearahnya.
"Oiya, Mas lupa kasih tau. Kalau kamu jangan sering-sering kirim pesan. Aku orangnya pelupa. Takutnya pesan darimu nanti nggak kuhapus dan dibaca sama mama."
Kata-katanya membuatku sadar di mana posisiku sebenarnya. Akupun terdiam, menunduk.
"Hei, kamu tersinggung?"
