Akhirnya, tiba juga aku dan Esih di depan rumah yang dibangun dari hasil jerih payah Mas Dana bekerja sebagai guru PNS selama ini. Di depan bangunan tipe 36 dengan cat warna putih dan abu tersebut, aku langsung turun dari motor matik kakak iparku. Esih masih diam. Tak begitu banyak bicara. Namun, saat dia juga hendak turun dari motor, aku langsung cepat-cepat berbicara.
"Mbak, sebaiknya langsung pulang saja. Aku sedang tak enak hati untuk berlama-lama ngobrol." Aku memandangnya sekilas, untuk kemudian membuka pagar rumah dan hendak masuk ke dalam.
"Yen, kamu kalau jengkel sama Rahma dan ibunya, jangan aku dijadiin tumbal, dong!" Esih memasang raut tak senang. Mukanya jadi cemberut. Namun, perempuan yang sering membuat kami susah dengan banyaknya permintaan tersebut tak juga kunjung menghidupkan mesin motor.