"Maafkan Mas, Sayang." Mas Alif bersimpuh di depan kakiku.
"Mari kita bercerai, Mas ...." Ucapan itu tiba-tiba keluar begitu saja dari mulutku.
Aku enggan menatap Mas Alif. Hatiku terasa selalu sakit ketika melihat wajah teduh yang selalu menatapku penuh cinta.
Beberapa menit, hening menyelimuti ruangan ini.
"Astaghfirullah ...." Terdengar hembusan nafas kasar dari Mas Alif.
Mas Alif mendekat, belum sempat aku menghindar ia langsung memegang bahuku dengan erat.
"Istighfar, Dek. Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan, hah?" tanya Mas Alif
Aku diam, menangis semakin tersedu-sedu. Hatiku benar-benar terasa diremas dengan begitu kuat.
"Kamu sadar dengan yang kamu ucapkan, Dek!" bentak Mas Alif. Dia mengguncang bahuku pelan.
"Jangan bicara begitu, Dek. Aku bisa gila, jika kamu pergi." Mas Alif langsung memelukku dengan erat.
Pelukan ini. Pelukan yang selama ini menjadi penghangat disaat aku gundah.
Bahunya yang menjadi tempat sandaranku ketika aku lelah.