Mas Alif, mengekor di belakangku.
Aku berbalik menatapnya, senyuman manis dan tatapan penuh cinta itu yang selalu kudapatkan kala pagi datang.
"Kenapa mengikutiku, Mas?" tanyaku dengan wajah datar.
Dia lalu mendekat, dan menangkup pipiku.
"Bukankah setiap pagi Mas n mengikuti kemanapun kamu pergi," ucapnya dengan senyuman manis.
"Jangan sekarang, Mas. Aku ingin memasak untuk sarapan," jawabku.
"Tenanglah, Dek. Sudah ada Bi Narti
di dapur. Kamu merindukan Mas kan selama ini, padahal hanya dua Minggu ditinggalin, biasanya juga sebulan nggak begitu," ucapnya diiringi kekehan kecil.
"Karena saat kamu pulang, kamu membawa secercah kebahagiaan, Mas. Namun sekarang, bukan kebahagiaan yang kudapatkan tapi sebuah harapan. Harapan untuk kamu tetap di sini, atau pergi meninggalkanku sendiri," gumamku pelan.
"A-apa, Dek?" tanyanya gugup.
"Apa?" tanyaku balik, dengan alis yang terangkat.
"K-kamu tadi ngomong apa?" tanya Mas Alif kembali.