"Sudah, jangan nangis. Mas merasa jadi baby sitter kalau kamu nangis kayak gini."
"Mas tadi ... bilang ... apa?"
Aku mengacak rambut bagian depannya. Lucu melihat wajah imutnya. Jadi kepengen ... gendong.
"Nggak ada," jawabku, "Mas ... lapar!" Aku melepas pelukan, lalu menarik tangan Bunga menuju bagian belakang kamar hotel.
"Bukan itu yang diomongin tadi. Masalah Mbak Mega"
"Makan dulu, baru di omongin nanti." Bunga protes sebenarnya, tapi tak kuhiraukan. Aku yakin ... ia bergidik dengan ucapanku barusan. Mana mau gadis belia seumuran Bunga, menerima suami sudah beristri sepertiku.
"Makan yang banyak. Biar cepet gede," ucapku dengan mulut penuh.
"Apanya yang gede? Bunha sudah gede kali, Mas."
"Dewasa maksudnya."
"Terus, kalau sudah dewasa?"
"Uhuk- uhuk ... uhuk!" Mulut yang penuh ini menyemburkan makanan hingga kembali ke piringnya.
"Pelan-pelan, Nga ...." Aku menyodorkan kotak tisu, Bunga menyambar beberapa dan langsung mengelap mulutnya.