Sudah setengah jam perjalanan, tapi Mas Jakk masih saja diam. Tak berbicara apapun. Mungkinkah Mas Jaki keberatan dengan permintaanku?
"Mas," panggilanku membuatnya menoleh.
"Ada apa, bunha?"
"Mas marah sama Bunha?"
Mas Jaki malah tertawa lepas.
"Kenapa bilang begitu?"
"Dari tadi diam saja. Apa Mas Jaki keberatan dengan permintaanku?"
"Mas nggak bisa nyetir sambil ngobrol, bunga. Takut nggak bisa fokus, nanti bikin kita celaka."
"Oh!" Aku jadi sedikit lega mendengar jawabannya.
"Masalah perbincangan antaraku dengan Mas Jaki tadi pagi, kita bicarakan lain kali saja." Mas Jaki tiba-tiba berucap.
"Iya, Mas."
Kami kembali terdiam. Mas Jaki memang terlihat fokus ke arah jalan. Perasaanku lebih lega sekarang.
Diam-diam, aku memperhatikan lelaki yang kini menyandang status sebagai kekasihku. Tangannya terlihat kokoh mencengkeram stir kemudi. Dada bidang, rahang kokoh, pipinputih bersih, tak ada satupun jerawat yang bertengger di sana.