"Bang Zidane, tunggu!" Secepat mungkin aku mencegah, sebelum bogem mentah bersarang lagi di pipi Sofyan. Zidane melepas cengkeramannya. Sedang Sofyan menyingkirkan tangan Zidane kasar, lalu merapikan kerah kemejanya kembali. Terlihat beberapa pengunjung kafe juga sudah bersiap-siap untuk melerai perkelahian yang hampir saja terjadi.
"Ayo, kita pulang, Ranaya. Aku menunggumu di rumah." Zidane berkata tegas, sorot matanya seperti tengah memaksa ke arahku. Tak disangka, di balik sikapnya yang sering diam dan kaku, ternyata bisa emosi juga. Huff.
"Iya, iya. Aku akan pulang bersamamu. Tapi biarkan aku menyelesaikan dulu masalahku dengan Sofyan. Oke?" tawarku juga setengah memaksa.