Mobil Fabio memasuki gerbang rumah megah keluarga Rezer. Para penjaga berlarian mengikuti mobil yang mulai berjalan pelan itu. Mereka adalah penjaga yang akan membukakan pintu mobil untuk tuan muda mereka.
"Selamat siang, Tuan. Selamat datang," sapa seorang penjaga.
Seperti biasa Fabio tak pernah menjawab sesopan dan sesering apapun para penjaga itu menyapa.
"Selamat siang, Nona," sapa penjaga yang membuka pintu Amanda.
"Ah, selamat siang, Paman," sahut lembut Amanda dengan senyuman.
Hingga beberapa saat Amanda tak mendengar sahutan Fabio, dia segera menahan lengan Fabio saat hendak meraih lengannya.
"Mereka menyapamu, mengapa tak bisa membalas hanya sekedar ucapan selamat siang? Apa itu begitu sulit?" cecar Amanda.
Fabio menatap istri mudanya itu dengan tajam.
"Kau banyak sekali mengatur. Mereka sudah biasa dengan aku yang seperti ini," jawab Fabio.
"Biasakan untuk hal yang lebih baik, lihat perubahan wajah mereka saat kau menjawab sapaan mereka. Jangan abaikan kebaikan sekecil apapun yang menghampirimu," jelas Amanda.
Fabio tak menggubris. Dia justru merasa istrinya itu telah mempermalukan dirinya.
"Memalukan sekali," umpat Fabio.
Keduanya melangkah masuk bersama. Perasaan Fabio masih tak enak.
"Ah, kalian akhirnya datang," kata Ibu Fabio.
"Selamat siang, Ibu," jawab Fabio.
Amanda tak mengatakan apapun, dia hanya berdiri di sebelah suaminya.
"Hai, Amanda. Kami sudah banyak dengar tentangmu," sapa Nyonya Rezer.
"Sungguh? Selamat siang, Nyo ... ah ... bagaimana aku harus memanggil Anda?" ujar Amanda bingung.
"Aish, wanita ini," umpat Fabio.
"Panggil dia Ibu. Bukankah kau menikah secara resmi dengan putraku?" sahut Tuan Rezer—ayah Fabio—yang sedang berjalan ke arah mereka.
Amanda menjadi kaget setelah mendengar suara rendah pria itu. Dia meremat lembut tangan suaminya yang masih setia mengenggam tangannya itu. Perasaan takut itu menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Ah, Fabio benar, dia lebih menakutkan dari pada dirinya," batin Amanda.
"Ayah," sapa Fabio.
"Kenapa kalian berdiri? Ayo duduk," ajak Tuan Rezer.
Amanda masih saja mengekor dan menempel erat pada suaminya itu.
"Pengantin baru memang seperti itu. Selalu ingin dekat dan bersama," goda Tuan Rezer.
Amanda dengan segera melepaskan tangannya dari lengan Fabio setelah mendengar perkataan ayah mertuanya.
"Sungguh aku tak menyangka jika Louis memiliki adik secantik dirimu," kata Tuan Rezer.
Wajah penuh senyum Amanda menegang seketika. Dia mendengar dengan jelas jika ayah mertuanya itu mengira jika dia adalah adik dari Si Brengsek Louis.
"Ah, bu ... bu ... ka ...," sahut Amanda yang tak mengerti.
"Ayah benar, aku juga sudah lama berteman dengan Louis tapi baru beberapa bulan terakhirnya aku tahu dia memiliki saudara perempuan," jelas Fabio.
"Kau tak salah orang, Nak. Kau benar-benar memilih wanita terbaik untuk menitipkan benihmu di rahimnya," jawab Tuan Rezer.
Amanda kaget bukan kepalang, Fabio ikut-ikutan meyakinkan jika dia adalah adik dari Louis.
"Haruskah aku buatkan pesta meriah untuk merayakan pernikahan kalian?" tanya Tuan Rezer.
"Ah, tidak, Ayah." Fabio sudah panik mendengar penawaran ayahnya.
"Kalian tinggal bersama dengan Yoona?" tanya Nyonya Rezer.
"Iya, Ibu," balas Amanda.
"Tak inginkah kau tinggal di sini, Nak? Rumah ini terlalu besar untuk kami berdua," pinta Nyonya Rezer.
Amanda memandang Fabio dengan cepat. Dia meremat lengan suaminya itu karena tak tahu apa yang akan dia ucapkan.
"Tidak, Ibu. Dia harus tinggal di rumahku," kata Fabio.
Tuan Rezer beranjak dari sofa menuju ruang kerjanya.
"Kalian sudah makan siang?" tanya Nyonya Rezer.
"Sudah, Ibu. Jangan khawatir," jawab Fabio.
"Amanda, Fabio adalah pria yang arogan. Dia banyak bicara dan kadang sangat ketus, Nak. Tapi kau bisa percaya padaku jika dia adalah pria yang setia," jelas Nyonya Rezer.
Amanda mengangguk dan menyunggingkan senyum tipis.
"Setia? Bahkan dia terang-terangan menikahiku di hadapan istrinya. Apanya yang setia?" batin Amanda.
Tak lama Tuan Rezer keluar dengan koper di tangannya. Dia meletakan koper itu di meja dan membukanya secara perlahan.
"Ini untukmu jika kau bisa memberiku cucu laki-laki," kata Tuan Rezer menyerahkan sebuah dokumen yang menerangkan penyerahan 20% saham perusahaan.
"Ayah," lirih Fabio.
"Jika kau melahirkan cucu perempuan, kau hanya akan dapat uang ini," kata Tuan Rezer sembari memperlihatkan uang dollar sekoper penuh itu.
Amanda tak goyah. Hatinya sudah mati rasa tentang harta itu. Dia terus melawan perasaannya dengan alasan dia mulai mencintai Fabio.
"Aku harus bisa melahirkan anak laki-laki, agar aku bisa hidup enak setelah Fabio menceraikan aku," batinnya.
Gadis itu menahan gejolak hebat di dadanya. Biasanya dia sangat tergiur dengan harta, tapi kali ini tidak. Dia hanya tersenyum pasi melihat ayah mertuanya menawarinya harta yang berlimpah.
"Kau harus segera hamil dan kau bisa segera menikmati hadiahmu," kata Tuan Rezer.
"Mengapa membuatnya menjadi murahan? Apa seorang laki-laki hanya melulu memikirkan tentang tujuan akhir mereka. Tanpa menyadari ada yang terluka saat kalian berjalan seperti itu?" hardik Nyonya Rezer.
"Dia tak akan terluka, Sayang. Dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan. Semua impas," balas Tuan Rezer.
Mata Amanda bergetar. Hatinya begitu terkoyak. Perkataan Ayah Fabio membuatnya sakit hati. Ini bukan keinginannya. Saat semua sudah berjalan dia mulai merasakan cinta yang sebenarnya.
"Ayah, kami harus pulang. Besok aku akan ke luar kota untuk mengurus proyek." Fabio pamit undur diri.
"Seringlah meminta sopir untuk mengantarmu kemari, Nak. Ibu akan menunggumu," kata Nyonya Rezer.
"Tentu saja, Ibu. Tapi tidak untuk tiga hari ke depan. Aku harus ikut dengan suamiku," jawab Amanda.
"Baiklah, Ibu mengerti. Hati-hati di jalan, ya," kata Nyonya Rezer.
Fabio menggandeng tangan istrinya keluar dan mereka segera pulang. Hari hampir gelap, Amanda merasa memiliki Fabio seharian ini. Dia bahagia hanya dengan berada dekat dengan suaminya itu.
"Aku akan tidur di kamar Yoona malam ini. Kau bereskan kopermu dan berangkat denganku esok hari," ujar Fabio.
"Tapi seprei putih itu? Em ... maksudku ... em, haruskah aku em ... ah, sudahlah," bantah Amanda dengan terbata.
Dia merasa tak rela Fabio tidur di kamar istri pertamanya.
"Kau tak ingin aku tidur dengan Yoona?" tanya Fabio.
"Tidak, tidur saja. Apa peduliku." Sikap gengsi Amanda muncul. Dengan susah payah dia mempertahankan harga dirinya di hadapan pria yang sekarang menguasai hatinya itu.
Keduanya segera turun setelah sampai. Fabio meminta pengawal menurunkan belanjaan dari mobil.
"Kau ingin makan apa?" tanya Amanda penuh perhatian.
"Kau akan masak? Apa tak lelah?" tanya Fabio.
"Lelah bukan alasan untuk tak masak. Lagi pula aku sudah pakai uangmu banyak sekali," jawab Amanda dengan candaan.
"Baiklah, buatkan aku pasta tanpa daging. Aku sudah puas makan daging di makan siang tadi," jawab Fabio.
Keakraban keduanya mengundang decit kesal dari seseorang yang sedang menyilangkan tangannya dan berdiri diujung tangga.
"Murahan sekali," umpatnya berulang-ulang.
* * *