Chereads / Raka & Alanna / Chapter 13 - "Tawaran"

Chapter 13 - "Tawaran"

"Raka, bagaimana dengan keputusan kamu untuk kembali ke rumah? Apa kamu akan tetap berada disini? Jika iya, nanti Om Adi yang akan mengantar Alanna untuk pulang."

"Pah, setelah Raka dan Alanna pikirkan dengan matang, sepertinya Raka akan benar-benar kembali ke rumah setelah urusan kami selesai."

"Urusan kalian? Urusan apa itu?"

"Raka dan teman-teman sekolah Raka mengelola sebuah Cafe dan masih dalam tahap perkembangan, masih butuh fokus yang intensif, oleh karenanya, Raka berpikir untuk benar-benar menetap di rumah saat Raka menyelesaikan rencana ini."

Frederick mengangguk memberi ijin. "Katakan saja apapun pada Papah jika kamu butuh bantuan, begitupun untukmu Alanna, bilang aja sama Om apa keperluanmu."

"Ah, terimakasih banyak Om sebelumnya. Om sudah sangat baik mau menerima saya disini."

"Bagaimana Om bersikap gak baik pada seseorang yang dipilih Raka? Jika memang kamu benar-benar pilihan Raka, Om akan pastikan kamu jadi menantu di keluarga Wenaz," ujar Frederick dengan tersenyum menatap Alanna yang gelagapan.

Tentu saja mendengar hal itu Alanna terkesiap, ia menengok ke arah Raka yang mengangguk bertanda Alanna tidak boleh menolak atau menyanggah ucapan Frederick.

"T-terimakasih Om."

"Kalau begitu kami ijin berpamitan sekarang Pah."

"Baik, hati-hati di jalan. Raka, perlakukan Alanna dengan baik dan jaga dia, jika Jeanna masih ada disini, pasti dia akan berpesan sama seperti Papah."

"Iya Pah, itu pasti."

Setelah itu Raka mengajak Alanna untuk pergi ke garasi rumahnya, garasi yang berukuran luas karena memuat belasan kendaraan roda 4 dan 2.

"R-Raka, mobil nya.. banyak banget," Alanna tak bisa banyak berkata-kata.

Banyak jenis-jenis mobil di dalam garasi terutama beberapa mobil sport yang menyita perhatian Alanna karena seumur hidupnya ia belum pernah menaiki jenis mobil yang ada di garasi rumah Raka ini.

"Ini semua bukan punya gue. Punya gue cuman satu, yang itu," tunjuk Raka pada mobil Bugatti La Voiture Noire.

"Sejak kapan lo punya mobil itu?!" Alanna menatap Raka kaget.

"Sejak gue pengen karena dia yang paling gagah diantara mobil Papah yang lain," kekeh Raka. "Lo tunggu disini."

Alanna hanya mampu diam saat Raka bergegas meminta kunci mobil pada Om Adi, dan beberapa saat kemudian mobil tersebut melenggang keluar dari dalam garasi lalu berhenti di hadapan Alanna.

"Ayo naik."

"G-gue, gue gak tau gimana cara naiknya," gumam Alanna dengan tatapan kosong.

"Caranya masih sama kayak lo naik unta Arab."

"Hah?"

Raka terbahak melihat ekspresi bingung dan kesal yang Alanna tunjukkan. "Buruan naik, atau gue tinggal lo disini sama si Heln."

"Ah lo, ngancamnya gak seru banget!" seru Alanna yang akhirnya ia bisa naik ke dalam mobil mewah ini.

Raka mulai menjalankan kembali mesin mobilnya, tapi tepat saat di pintu gerbang utama, pekerja di rumah Papah nya tersebut tidak langsung memperbolehkan mobil Raka untuk keluar karena ada mobil lain yang akan masuk.

"Ck. Dia baru balik. Rupanya masih kayak dulu, pengecut yang gak bisa liat gue secara langsung," gumam Raka yang kembali menjalankan mobilnya untuk pulang ke rumah Alanna.

"Memangnya dia tau kalo lo pulang ke rumah?"

Raka mengangguk cepat. "Heln pasti langsung kasih tau anaknya dari saat kita baru datang ke rumah juga."

"Dia, saudara tiri lo itu?"

Raka mengangguk membenarkan.

Hans datang dengan hanya membawa mobil sedan biasa, 'Dia agak tau diri juga,' pikir Alanna dalam hati.

"Raka, lo bilang, lo punya Cafe? Itu bener?"

"Bohong."

"Hah?"

"Lagian buat apa gue jujur sama lo?" balas Raka, tapi cowok itu tergelak tawa saat melihat Alanna berwajah masam.

Alanna mencebikkan bibirnya. "Padahal Bokap lo udah nitip pesan buat jaga gue dengan baik, tapi lo justru kayak gini!"

"Iya, gue punya Cafe yang dirintis bareng anak tongkrongan gue di sekolah."

"Siapa aja sih?"

"Gue, Leon, Bian, Antoni, Ferdo, dan Rendy."

"Ternyata lo sangat kaya ya? Terkaya dari orang-orang yang datang ke acara pertemuan itu. Gue pikir lo cuman punya motor, jadi lo yang terlihat paling memprihatinkan diantara perkumpulan kemarin, taunya gue salah."

Raka diam mendengarkan cerocosan Alanna yang tampaknya membuat ia tertarik untuk diam.

"Lain kali jangan kayak gitu ya."

Diluar dugaan justru Alanna mengatakan hal yang membuat Raka bingung. "Maksud lo?"

"Kita kan masih dalam misi buat ngungkap siapa dua orang pembunuh yang membunuh kita. Jadi gue rasa, lo harus mulai terbuka sama gue untuk hal apapun."

"Oh ya?"

"Iya jelas. Terlebih lo bilang gue pacar lo jadi gue berhak tau hal yang orang gak tau tentang lo kan?"

~¤~

"Lo nginep lagi kan?"

"Iya. Karena ada anak manja yang ngomong sama gue kalo tinggal disini lebih baik daripada harus bolak-balik."

"Gue kan nggak maksa!" balas Alanna kesal.

"Oh ya? Ya udah gue pindah ke rumah Bokap gue ya."

"Jangan! Terus gimana sama kisi kita?"

"Kan lo gak maksa gue."

"Emang harus banget maksa lo?"

"Iya."

"Terserah lo deh," Alanna menghela nafas untuk memperbanyak kesabarannya.

"Udah nyampe. Buruan turun."

"Raka, kalo seandainya lo berhasil menangkap pembunuhnya, lo akan ambil langkah apa?"

Raka sudah membuka seatbelt mobilnya untuk bersiap keluar dari dalam mobil, mulai duduk bersandar kembali.

"Gue bunuh orang itu sebelum dia bunuh lo."

Mendengar jawaban Raka dan berbicara dengan jarak sedekat ini membuat Alanna tidak bisa menyembunyikan rona merah yang menjalar pada wajahnya.

Spontan kedua tangan Alanna ia gunakan untuk menutup wajahnya sendiri.

"Lo berharap gue apakan orang yang udah membunuh kita? Kasih dia hadiah? Kasih dia uang? Kan kita udah keburu mati jadi gak bisa ngasih apa-apa."

"Entahlah, gue pikir lo cuman akan jebloskan mereka ke penjara."

"Lawak lo? Jebloskan orang ke penjara tanpa perkara? Lalu setelah mereka bebas mereka punya dendam buat bunuh kita lagi? Seenggaknya gue harus punya alasan dan pembelaan yang kuat kenapa gue harus bunuh mereka. Karena faktanya waktu kita mati kayak yang lo bilang itu masih jauh di depan bahkan gue gak tau alasan kenapa mereka ngabisin gue."

"Lo gak mikirin gue juga! Kan gue mati di rumah lo, bareng sama lo tau gak?"

"Iya gue mikirin lo tapi gue juga udah tau alesannya kenapa."

"Apa alasan mereka bunuh gue?"

"Karena lo saksi mata gue mati."

"Tapi -"

"Dunia ini terlalu kejam untuk orang yang berpikiran dangkal kayak lo Lan."

"Sebutin lagi dong."

"Sebutin?" tanya Raka membeo.

"Sebutin lagi, panggil nama gue.. soalnya jarang banget gue bisa dengar lo panggil gue pake nama."

"Gak ada siaran ulang, lo kira sepak bola? Buruan turun atau mau gue kunci lagi?"

"Iya iya gue turun! Sekarang lo udah ngancam gue tiga kali."

"Yang keempat gue dapet gelas?"

"Nggak! Gak ada gelas-gelas an! Adanya gue!"

Raka terkekeh geli, ia senang saat Alanna berekspresi kesal seperti ini.

"Lagian emang lo beneran bakal jagain gue?"

"Lo pikir?"

"Siapa tau kan itu cuman omong kosong."

"Bener juga. Kayaknya cuman omong kosong gue deh."

Tatapan jengkel dilayangkan Alanna pada cowok yang hanya terkekeh-kekeh geli tanpa rasa bersalah.

"Oh iya!"

"Kenapa?"

"Kayaknya, gue belum tau yang mana itu sosok saudara tiri lo."

"Si Hans? Ngapain lo pengen tau soal dia? Ngefans lo sama dia?" tebak Raka.

Namun Alanna menganggukan kepalanya cepat. "Iya gue ngefans banget nyampe rasanya mau gila karena belum pernah liat idola gue!"

"Sakit jiwa lo."

"Ya lo pikir aja kenapa gue pengen tau sama Sodara tiri lo!"

"Lo curigain cowok lembek kayak dia?"

"Gue udah bilang loh kalo gue bahkan gak tau dia yang mana."

"Dia pengecut, gue masukin dia di opsi terakhir, tapi kalo emang lo perlu buat tau dia yang mana, next time saat balik ke rumah Bokap gue, kita tunggu orangnya."

"Oke."

Setelah obrolan ringan itu Alanna dan Raka masuk ke dalam rumah.

Mereka disambut Bi Ida seperti biasa. Ditawarkan untuk makan sore karena waktu masih menunjukkan pukul 4 (pm).

"Gak Bi, kita makan malem nanti aja. Masih ada hal yang harus kami bicarakan," tolak Raka halus.

"Kalo lapar panggil saja Bibi ya, biar Bibi yang masakin menu makanannya."

"Baik Bi, terimakasih."

Bi Ida kembali pamit entah kemana yang jelas masih berada di dalam rumah ini.

"Alanna."

"Iya, pacar gue?"

"Pacar lo?"

Alanna mengangguk meyakinkan jika Raka tidak salah dengar.

"Kenapa lo panggil gue gitu?"

"Lo udah ngenalin gue ke banyak orang kalo gue itu cewek lo. Jadi kenapa gue gak boleh manggil lo pacar gue?"

Raka menarik nafas panjang. "Itu kan cuman akting, gak enak kalo gue bilang lo tetangga gue yang punya ingatan masa depan. Atau lo emang pengen disebut si halu sama orang-orang yang tau sama gue?"

Alanna mendekat ke arah Raka dan mengalungkan kedua tangannya pada leher cowok tersebut. "Kalo gitu, kenapa kita gak pacaran beneran aja? Ya biar lo gak ngebohong terus kan. Anggap aja simbiosis mutualisme."

"..."

●●●