"Duh! Udah-udah! Jangan nangis, ah! Gue nggak suka!" tolaknya, membuang muka.
"Ca, mau nggak saya buatin cerita?" Yagi tak kehabisan ide, pikirannya berkelana tentang sesuatu yang bisa ditukar dengan membaiknya hubungan mereka.
Esya menghela napas, "Duh! Lo mendingan jelasin dulu, deh! Asal usul lo, kenapa bisa ada disini, dan kedetailan lain! Gue nggak nerima cerita bohong lo itu, ya! Cerita yang jujur!"
"Astaga, Ca …."
"Udah saya bilang, 'kan? Asal saya dari embun mata yang selama ini kamu kumpulkan, yang kamu simpan selama ini di dalam toples."
"Iya tapi ini aneh. Oke, gue mulai percaya pengakuan lo yang itu. Tapi gue ngerasa diri gue aneh. Kayak gue bukan manusia biasa."
"Ya emang. Siapa yang bilang kamu manusia biasa?" Lelaki itu mengerlingkan mata, berjalan mendekat. Esya yang seolah sudah paham dengan maksud gerak-geriknya dengan cepat melangkah mundur.
"Mau sampai kapan kayak gini?"
"Ya abisnya lo aneh. Gue juga aneh. Ah, shit gue baru nyadar kalau gue juga aneh!" Tangannya mengucek mata yang tidak gatal itu.
"Hihihi, ya, siapa suruh kamu anak dari seorang penyihir?" Tutur Yagi, sesaat matanya melotot seperti melupakan sesuatu. Segera dibekap mulutnya.
"Hah? Apa tadi kata lo?" Esya seakan tak percaya dengan kedua telinganya yang mendengar kalimat jelas itu.
"Penyi …, em–penyiar! Iya! Penyiar!" Yagi terkekeh getir, mengusap tengkuk yang tak gatal.
"Penyihir! lo jangan bohong! Tapi, apa iya? Di dunia yang udah serba modern ini?" Suaranya dipelankan. Wajahnya ditekuk.
"Duh, saya kelepasan …, tolong lupakan–ya?" Yagi memohon pada wanita yang rambutnya di cepol itu.
"Tunggu, yang lo ucapin ini, benar nggak, sih?! Kok gue jadi mumet sendiri!" Esya menatap tajam cowok itu.
"Ah, iya. Tapi–jangan–cerita ke siapapun, ya? Anu, bisa bahaya."
"Ah, tenang! Gue nggak ada teman dekat, jadi rahasia ini aman. Tunggu, tapi, maksud lo itu, ibu gue penyihir, gitu?!" Esya tersentak mengatakan dugaannya.
Yagi mengangguk lemah, "Iya, Sya."
"Terus, apa iya gue juga bakal jadi penyihir?" Esya mulai tertarik dengan topik pembicaraan ini. Apalagi wanita itu tak pernah menyangka hal fantasi di luar nalarnya bisa terjadi di dunia nyata. Itu sungguh mengejutkannya.
"Nggak tahu, semua keputusan ada di tangan kamu, 'kan."
"Duh, tapi apa sebaiknya kita lupain ini? Karena saya sudah janji sama mendiang Charly, nggak akan menceritakan dan menyangkut-pautkan kamu di dalam dunia sihir!" Yagi menghela napas, wajahnya ditekuk, dia diselimuti rasa bersalah.
'Maafin saya, madam Charly, saya ceroboh banget!'
'Duh, matilah aku! Pasti sekarang ratu Kidul akan menghukumku!'
Bibirnya cemberut, sepertinya Yagi benar-benar geram pada kecerobohannya sendiri.
"Sssttt, nggak apa-apa, lo bahkan boleh cerita lebih jauh lagi. Gue siap dengerin!" Berbeda dengan cowok itu, Esya malah antuasias sendiri.
'Gue nggak akan lepasin kesempatan ini.'
'Gue harus ngorek semua masa lalu Ibu!'
'Ayiolah, Yagi! Ceritain semuanya!'
"Ca, kamu lagi ngebatin, ya?"
"Hah? Lo juga, 'kan?" Esya hanya bicara ngelantur. Dia tak mau Yagi mengalihkan topik penting ini.
Dia mengangguk dengan wajah polosnya. "Ca, saya nggak bisa cerita lebih jauh sebelum tugas pertama saya selesai."
Esya menghela napas lega. Karena dia pikir, Yagi akan menolaknya tanpa sebab. Karena menurut wanita itu, penolakan tanpa alasan itu jauh lebih buruk dibanding apapun.
"Ca, jangan berdalih. Kekuatan kita terkoneksi tau, kamu nggak bisa bohong sama saya."
Mata Esya melotot seketika, dia bingung sekali, harus apakah dirinya sekarang? Sudah tertangkap basah begini, pasti sangat malu bila mengaku salah.
"Tuh, 'kan? Diam? Saya tahu isi hati kamu. Kamu pun sebaliknya." Yagi semakin menyudutkan wanita itu. Lawan bicaranya tak bisa berkutik lagi. Sebenarnya Esya ingin sekali berdalih hal lain. Tapi, dia tak siap kalau Yagi semakin mengatakan hal yang makin membuatnya malu.
"Kenapa malah bahas masalah hati? Ayo lanjut—"
"Ca, bohong itu nggak baik. Kalau kamu bohong, kemampuan kamu akan menurun. Padahal saya mau kasih tahu hal yang lebih misteri."
DEG!!!
"Apa? Yaudah! Ceritain sekarang juga! Ayo!" Esya masih berantusias. Berulang kali dia merengek pada cowok itu. Tapi hasilnya tetap nihil.
"Nggak, Ca. Kan udah saya bilang. Saya masih ada tugas yang harus dikumpul minggu ini," tolaknya dengan bahasa sehalus mungkin. Yagi pasti berharap banyak kalau Esya sama seperti klien-klien lainnya. Pengertian.
Dia sudah diam, namun bibinya jadi lebih maju. Wanita itu sepertinya berharap akan ada dispensasi atas permohonannya tadi.
"Gimana kalau kamu bantu saya untuk ngerjain tugas itu? Semakin cepat tugas saya selesai, semakin cepat kamu bisa mengobati rasa penasaranmu, 'kan? Apa kamu mau?"
Apa katanya? Membantu tugasnya? Jangan bercanda! Mana mungkin seorang Esya mau ringan tangan bermurah hati pada pria yang baru dijumpai?!
Tapi, demi mengobati rasa penasarannya, dia langsung mengiyakan tawaran Yagi. Prioritas utamanya adalah mengungkap sejuta misteri yang mendiang ibu tinggalkan. Biarpun wanita itu cuek setengah mati pada sekitarnya, tapi jika rasa penasaran sudah menyelimuti pikirannya, dia akan terus berupaya bisa memuaskan rasa penasarannya. Begitulah Esya.
=============
Sebenarnya tugas apa, sih? Lelaki ini lebih terlihat seperti pengangguran sampah masyarakat. Tapi Esya tak menyangka kalau semua omongannya benar. Yagi memang diberikan misi. Itu terlihat saat dia menampilkan layar digital di tembok rumah itu.
Esya melongo, sekilas ditatapnya Yagi penuh selidik. "Lo ini benar-benar nyata, 'kan? Hah?"
Dicubit pelan kedua pipi lelaki itu, yang dicubit mengaduh kesakitan sebab pipinya tidak tembam, jadi otot-otot tulang pipinya terasa ikut tercubit.
"Ah, sorry, Gi!" Esya menatap penuh khawatir. Sesaat dia fokus kembali pada penjelasan lelaki itu.
"Jadi, tugas saya yang pertama adalah menemani sisa-sisa keseharian Esya. Tapi disini sudah terjadwal kalau esok hari, kita akan mencoba masak Steak Balzeto!" Yagi menjelaskan dengan antuasias. Tangannya bergerilya mengutak-atik layar buatannya itu.
Esya tetap melongo. Dia belum hisa percaya kalau semua ini nyata. Kembali menggerakkan tangan untuk mencubit sesuatu agar terasa lebih real, kali ini pipinya sendiri. Sementara Yagi sedang sibuk membaca penjelasan
"Aaaahh!!!" pekiknya sembari mengaduh kesakitan, sekilas matanya bersitatap dengan Yagi. Lelaki itu tersenyum seraya menaikkan kedua alis. Ah, wajahnya jadi terlihat lebih menggemaskan!
'Lo lucu banget, Gi!!!'
'Argh!!! Rasanya gue belum pernah liat cowok selucu–lo!"
'Apa? Hihihi, saya memang tampan! Bahkan pasti lebih tampan dari pacarmu!
'Hah? Kata siapa gue punya pacar! Ah, nggak lucu bercandanya, deh! Bahkan ditembak cowok aja, gue belum pernah, tau!'
'Lo pasti tahu, 'kan! Ah iya, lah? Orang lo aja bisa ngilang kapanpun!'
'Apa? Eh-ehh! Asal nuduh, ya! Saya bahkan belum pernah keluar dari kamarmu, tau! Setiap saat, saya merhatiin kamu! Hihihi,'
Mata Esya melotot ke arah lelaki itu, "Apa?! Jadi selama ini lo merhatiin gue setiap waktu?!"
Yagi mengangguk polos, wajahnya itu seperti tidak ada dosa! Sungguh membuat Esya heram bukan main!