"Eh! Bagaimana say—"
"Sebaiknya urusi pertengkaran perutmu dulu," ucap Zidane mengenakan serebet ala chef profesional, ditaruhnya beberapa hidang di atas meja makan mewah. Dan benar saja, perut wanita itu langsung mual seketika.
Berlari ke arah kamar mandi, dia memuntahkan segala isi perutnya. Ini adalah pertama kalinya Esya muntah. Dia berjalan dengan tertatih-tatih memegang perutnya. Zidane tersenyum melihatnya.
"Makan dulu. Setelahnya kamu boleh pergi. Tapi setidaknya cicipi …."
Dia terhenyak dengan pandangan yang kini tersaji. Esya yang tiba-tiba rakus itu langsung menghabiskan hidangannya.
"Wah, ini enak sekali! Siapa yang buat?" tanya Esya melebarkan msta.
"Saya," jawab Zidane mengulas senyum manis.
Matanya melihat ada bekas makanan di sudut bibir ranumnya. Dengan respons naluri manusiawi, jempolnya membersihkan itu.
DEG!
Esya seolah-olah dibuat lupa dengan keinginannya sendiri. Perlakuan Zidane yang begitu manis saat menyambutnya membuat dia terpukau. Dilirik tajam bosnya.
"Kenapa saya bisa ada di sini?!" tanyanya lebih terdengar seperti sedang mengintrogasi, bahkan menyudutkan lelaki itu.
"Di rumahmu tidak ada orang. Jadi saya bawa ke sini."
Keningnya mengerut mendengar penuturan yang sangat membingungkan. Sebenarnya apa yang terjadi, semalam?
"Memangnya saya kenapa? Saya sehat-sehat di rumah, kok! Tidak ada yang mengganggu sama sekali!" katanya dengan nada tak suka.
"Semalam kamu mabuk, 'kan."
"Mabuk? Maksud Anda? Jelas sekali semalam saya tidak pergi ke mana-mana, kok!"
Sekarang giliran Zidane yang dibuat bingung. Dia menghentikan kegiatan makannya sesaat.
"Maksud Anda? Jadi Anda tidak keluar rumah, kemarin?" Dia hanya menebak saja.
"Iya! Makanya saya sangat heran kenapa saya bisa ada di rumah Anda!" Esya melongo ketika melihat penampakan di sudut ruang dapur itu. Terlihat dirinya yang lain juga bermunculan. Mereka punya wajah dan bentuk tubuh yang sangat identik dengannya.
"Kenapa? Ada masalah?" Zidane memalingkan wajah, melihat ke arah yang dia lihat. Tapi tak ada siapapun di sana. Kosong.
"Kenapa?" tanyanya lagi. Tapi Esya sudah berpangku tangan, tersenyum manis padanya.
Ini bukan sesuatu hal yang biasa. Esya aneh itu berjalan ke luar dari rumah dengan tatapan kosong. Zidane ingin mengejarnya. Namun sayangnya dia berjalan terlalu cepat.
Zidane memilih tidak mengikutinya dan bertanya di hari Senin mendatang. Dia masuk dan melanjutkan makanannya.
***
Jauh di perjalanan pulang, Esya bertemu dengan lelaki tampan yang kerap membawa payung. Dia berjalan ke arah Esya. Langsung memeluknya erat-erat.
Lelaki tampan itu berkata, "Pergilah dari raga bocah ini. Wahai kaum terkutuk, dia tidak salah apa-apa! Jika kalian membenci ibunya, tapi jangan siksa anaknya!" Kalimat terakhir membuat Esya kembali.
"Hah?" tanya Esya menautkan sebelah alisnya. Lalu dia melangkah mundur dengan tangan bergetar.
"Si-siapa kamu …." Matanya berair dan kakinya tak bisa berhenti gemetar.
Sosok itu melirik sangat tajam. Membuang napas kasar, lalu menghilang dalam sekejap. Bayang-bayangnya masih tersisa, menyisakan sebuah bulu hitam lebat.
Esya menangkap bulu hitam itu. Seketika menangis karena sepertinya dia sudah mengenali sosok itu. Sejak kecil, ada 'sesuatu' yang selalu menjaganya dari berbagai ketidakadilan hidup.
"Kau … ah, bagaimana cara aku mengingat … kenangan bersamamu …. Uhuhu …."
Hatinya perih. Bayangkan saja, dia sendiri merasa familiar terhadap sosok itu. Tapi, ketika memorinya mengulang kembali kenangan masa lalu, ada sesuatu yang menolak mengingatnya. Mendadak kepalanya berdenyut nyeri hebat.
Dia berteriak histeris tak kuat menahan rasa sakit menggerayangi otaknya. Esya tidak pernah bisa melihat sosok yang dikirim ayahnya. Rahasia-rahasia besar keluarga Mahjong. Nama Mahjong sendiri adalah marga yang dibawa ayahandanya.
"Ca! Oh, tuhan! Kucari kamu kemana, di sini rupanya!" Yagi yang tiba-tiba muncul langsung menggendongnya, membawanya pergi walaupun wanita itu terus berontak karena dia selalu berpikir Yagi adalah William yang menyamar.
"Aku Yagi! Yagi yang asli! Bisakah kamu memberi kepercayaan padaku sekali saja? Ca, kumohon … biarlah aku menjalankan 'misiku' dengan lancar! Ayolah …." Lelaki yang berurai air mata itu menyandarkan kepalanya pada bahu Esya. Lalu memeluknya penuh kelembutan.
"Tolong hati-hati. Lelaki baik belum tentu baik. Jagalah dirimu sendiri! Jangan membuatku repot!" Kata-kata terakhir dari sosok itu terngiang-ngiang dalam kalutnya Esya yang mulai pasrah dengan kehidupannya yang dikelilingi oleh orang-orang rumit.
"Gadis ini sama saja, masih seperti dia yang kecil …." Walaupun suara itu sangat kecil, indera Esya masih dapat mendengarnya dengan jelas. Beberapa clue membuatnya ingin memberontak dari 'sesuatu' yang menahan otaknya untuk mengingat kenangan bersama sosok itu. Dia sungguh pasrah terkalut sedih.
"Bisakah kamu mempercaya—"
"Yagi. Lo lupa ya? Gue udah bilang, 'kan. Pergi dari hadapan Gue! Sekarang!" Mujarabnya, dengan ucapan penuh keyakinan itu, Yagi benar-benar menghilang dengan sendirinya.
Esya menghela napas lega. Dirinya sudah bertekad tak mau percaya pada siapapun. Seolah wanita itu lupa kalau Yagi adalah seseorang yang amat penting dalam mengungkap misteri kematian ibunya.
"Kamu sungguh menyiksaku. Aku tidak ingin menyukai atau mencintai siapapun. Aku tidak ingin mengenal siapapun. Aku ingin kembali menjadi diriku sendiri tanpa memikirkan kepentingan pekerjaan." Isak sesengguknya masih terdengar di sela-sela perkataannya. Dia memeluk guling yang tidak biasa. Anehnya, dia sendiri tidak bisa mengingat siapa yang memberikan guling itu.
"Sekelebat bayang tentangmu. Itu menyusahkanku! Kuharap kamu tidak pernah muncul lagi!!! Pergilah!! Pergilah seperti semua lelaki yang pernah kutemui!!!!!" Dia memaki sosok yang sebenarnya tengah memperhatikan di luar jendela. Rumah ini telah dibentengi oleh tameng ayah Esya.
Sosok itu menatap sedih padanya. Dia nekat menyentuh kaca jendela membuat tangannya melepuh. Jauh di lubuk hatinya, dia ingin sekali melindungi wanita yang ketika terlahir sudah digariskan kemalangan. Rasa sayang yang lebih dari seorang pria pelindung yang ingin melindungi wanitanya.
"Ingin sekali terus bersamamu. Tapi kita ini berbeda. Itu terlalu sakit untuk saya. Saya akan terus menjagamu sampai tiba waktunya."
Menghela napas kasar, mengedipkan matanya yang basah. Tangannya menyeka air matanya. Ditatapnya sang gadis malang sekali lagi. Ada secarik perasaan tak terima karena hatinya ingin terus mendekat bersamanya. Sosok itu merasa terlalu jahat bila dia memberi harapan pada Esya.
"Baik-baiklah disini, Peri. Duniamu sangat rumit, tetaplah tegar dan jadi wanita baik yang kukenal."
"I love u."
***
Dia ketiduran setelah acara menangis-nangis beberapa jam yang lalu. Langit sudah menggelap pertanda matahari sudah terbenam sempurna. Bulan dan bintang menggantikan gelap gulitanya malam ini.
Ponselnya berdering, tertulis nama 'Bos Otoriter' beserta nomor tidak dikenalnya. Itu adalah panggilan grup. Esya mengangkat tanpa pikir panjang hanya karena Zidane. Sebenarnya dia sangat malas berinteraksi dengan siapapun. Mengingat sumpah serapahnya.
"Halo? Hai, guys!" terdengar suara lelaki yang tidak familiar oleh Esya. Namun, betapa kagetnya ketika dia tahu itu adalah panggilan video grup. Terpampang jelas wajahnya yang baru bangun tidur. Dia sangat malu, tapi di sisi kiri, Zidane seperti memperlihatkan raut wajah seram. Dia mengurungkan niatnya.
"Ah, em, ah–ada apa ya, Pak?" tanya Esya berusaha bertingkah sesopan mungkin.
"Kamu habis ngapain—"
"Ganti bajumu, cepat!" Sorot matanya sungguh tajam. Esya belum sadar dengan apa yang dikenakannya.
Lelaki di sebelahnya malah tertawa keras. Menunjuk-nunjuk ke layar ponsel yang mungkin itu adalah bagian kamera Esya.
Betapa kagetnya ketika dia tersadar kalau dirinya sedang menggunakan tank top hitam yang Zidane sangat tak rela jika lekuk tubuh itu harus dipandang lelaki selain dirinya.
"Maaf! Sebentar!" Esya langsung melempar sembarang ponselnya. Tangannya cekatan memakai apa saja pakaian yang sesopan mungkin. Dia tidak lupa menyisir rambutnya, dan mencuci wajah. Lalu mengancingkannya, dan kembali memperlihatkan diri di kamera ponselnya.
Tak ada yang berbicara. Dia sendiri juga bingung dengan perubahan suasana yang tadi sempat heboh karena dirinya.