Chereads / Tears Addict / Chapter 25 - Perencanaan Esok Hari

Chapter 25 - Perencanaan Esok Hari

"Jadi mau ke mana?" tanya orang dari nomor tak dikenal, ternyata itu Pak Gavin.

Zidane maupun Esya, keduanya masih teguh bungkam suara. Esya, wanita itu tidak tahu harus menyarankan tempat seperti apa kepada mereka. Sebab dirinya tidak pernah menghabiskan waktu di luar rumah, kecuali untuk bersekolah ataupun bekerja seperti saat ini.

"Monas. Itu lebih baik. Dekat dengan rumahmu, 'kan?" Akhirnya Zidane buka suara.

Matanya membesar dengan wajah lugu dan polos itu, Esya menunjuk dirinya di depan kamera ponsel.

"Aku? Eh, maksudnya, saya?"

Kedua lelaki itu mengangguk bersamaan. Zidane yang senantiasa datar, sedangkan karib dekatnya, Gavin, tersenyum manis. Esya menunduk malu. Dia tidak percaya diri saat di depan kamera. Dia masih seperti Esya kecil.

"Iya," jawabnya pelan sembari memainkan jarinya.

"Oke, besok kita bertemu di samping halte busway Monas, ya. Jam setengah tujuh harus sudah berkumpul. Jika telat, saya ada hadiah untuk kalian!" Pak Gavin tertawa keras, lesung pipi indah itu langsung muncul.

Ketampanan Gavin hanya berbanding 10 13 dengan Zidane. Namun, Esya belum pernah melihat tawa bahkan senyum seorang Zidane. Ekspresinya yang kaku saja sudah membuat seluruh wanita terpesona akan ketampanannya.

Dan sambung telepon dimatikan secara sepihak oleh Pak Gavin. Esya menghela napas panjang, lalu menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Tak lupa memeluk guling misterius itu.

***

"Halo, Zidane! Tadi itu apa kamu tidak bangun—"

"Diam, kau! Sebaiknya kita tidak membicarakannya diam-diam begini. Tolong bahas yang lain—"

"Apa punyamu tidak bangun?"

"Bodoh! Jangan samakan dia seperti jalang sewaanmu!"

"Kenapa kamu marah-marah dari tadi, sih?! Hey … ayolah, sesama pria, tidak apa membahas hal seperti ini—"

"Keparat! Sudah kubilang, jangan anggap dia murahan! Tadi itu—"

"Apa? Tadi apa? Kamu mau membela apa, hah? Jelas sekali, tadi itu dia sedang menggoda kita, 'kan? Wanita memang begitu, jadi, nikmatilah pemandangan indah yang di suguhkan! Kalau bisa meminta lebih—"

"Jangan bilang seperti itu! Kau sentuh dia, kumatikan kau!"

Gavin tertawa melihat ekspresi amarah Zidane. Urat-urat di wajahnya sampai terlihat, pasti lelaki itu sedang meredam gemuruh bara panas dalam dadanya.

"Kau ini bagaimana? Katanya dia itu hanya seorang karyawan—"

"A-aku sangat menyayangi seluruh karyawanku! Bodoh! Kamu pikir aku menyukainya?! Tidak mungkin!" Begitulah Zidane. Selalu tak mau mengakui perasaannya. Karena menyukai wanita duluan merupakan hal yang aneh. Dia tak bisa membayangkan bila seorang pria sempurna seperti dirinya harus mengejar hati gadis kecil yang baru lulus SMA.

"Jangan banyak berdalih, deh! Dia itu cantik! Kalau kamu tidak mau, aku bisa segera mendapatkannya!"

Perkataan itu seolah membuat tamparan keras untuk Zidane. Sangat tumben, lelaki itu terdiam sejenak. Dia terlihat serius memikirkan perkataan Gavin.

"Jadi, kapan kamu akan menembaknya?" tanya Gavin seolah ingin membuatnya semakin terdesak.

Gavin tahu persis watak Zidane. Jadi dia mencoba menggodanya agar Zidane punya kemajuan dalam hubungannya. Sebenarnya Esya cukup menggoda hatinya. Namun, dia lebih memilih mengalah pada sahabatnya, Zidane, yang belum pernah pacaran.

"Besok. Gimana?" Gavin buka suara lagi.

"Kau tahu? Wanita itu sangat bodoh! Dia tidak peka ketika aku—"

"Zidane, cobalah jangan berkata kasar padanya. Kau tahu? Aku ini pawang penakluk hati wanita. Jadi aku tahu jelas, awalan yang kamu lakukan itu salah besar." Gavin menghela napas mengingat kejadian di malam perayaan perekrutan karyawan baru. Baginya, Zidane sangat bodoh, karena bertingkah tidak natural. Lelaki itu memang sangat awam dalam masalah percintaan.

"Jadi aku harus bagaimana, bodoh?" Wajahnya yang kaku seperti ingin menerkam orang, ucapannya yang amat tajam, sukses membuat para wanita yang mendekatinya jadi tidak betah sampai akhir.

"Cobalah melakukan hal-hal manis padanya. Jika kau mau menaklukan wanita, begitu caranya. Jadilah pria baik-baik untuknya. Jadilah sosok yang selalu ada. Selalu melindunginya. Selalu mau mengerti berbagai keadaannya."

DEG!

Kalimat terakhirnya itu sukses membuat Zidane tertampar sekali lagi. Dia teringat beberapa waktu, dia terlalu berkata kasar dan menekan wanita itu pada posisi yang sulit. Sekarang hatinya sangat cemas memikirkan apa pandangan Esya terhadapnya.

"Kau tahu, bibirku sulit berkata manis."

"Cobalah. Belajarlah, Zidane. Aku yakin perlahan-lahan memori trauma dan dendammu pada wanita akan menghilang perlahan-lahan." Gavin mencoba memberi secercah harapan pada sahabatnya.

***

"Kira-kira besok—"

Tiba-tiba ponselnya berdering lagi. Tertera nama yang sama seperti awal. Esya berpikir bahwa masih ada perundingan yang mau mereka bicarakan dengannya. Dia langsung menjawab telepon itu.

"Halo …."

Esya belum terbiasa menggunakan telepon. Ini masih terasa sangat canggung baginya.

"Ekhem!" Terdengar suara Zidane tanpa tampilan wajah, artinya itu adalah telepon audio biasa. Esya menghela napas lega. Baginya, wajah kaku Zidane cukup menyeramkan untuk dilihat kedua kalinya.

"Iya, Pak. Ada yang bisa dibantu?"

"Lain kali jangan pakai pakaian seperti tadi. Pakailah pakaian yang tertutup rapat! Jika saya melihat kamu sekali lagi memakai pakaian terbuka yang bisa membangkitkan syahwat pria, saya bersumpah akan memecat kamu!"

Tut-

Hatinya sakit sekali mendengar penuturan dari bosnya. Siapapun tahu, saat itu Esya tak sadar sama sekali dan itu berarti dia tidak sengaja. Apa lagi, dia mengangkatnya saat di rumah. Dia bukan jalang murahan yang sedang sengaja memamerkan lekuk tubuhnya. Esya tidak habis pikir bagaimana pikiran negatif bosnya begitu menyudutkan dirinya. Seolah-olah dia sudah sangat hina sekarang.

Dia berurai air mata, memeluk erat-erat guling itu. Padahal, rasanya, baru saja ingin bangkit, tapi hatinya harus merasakan sakit yang luar biasa. Zidane, bos otoriternya itu, sangat mirip dengan cara sang ayah memperlakukannya.

Sementara itu …

BUGH!!!

Zidane berkali-kali melampiaskan emosinya pada samsak tinju gantung yang terletak di ruang olahraga rumah mewah itu.

Hatinya merasa sangat bersalah pada Esya. Dia merasa seperti sudah membuatnya menangis. Ini terasa aneh, ini merupakan pertama kalinya seorang Zidane memercayai insting hatinya. Biasanya lelaki itu menyangkalnya dengan percaya diri.

Zidane mengusap wajahnya kasar. Sesaat meneguk habis sebotol air mineral. Dia terduduk di sofa seorang diri. Entah mengapa, suasana hatinya berubah menjadi amat nyeri. Sampai-sampai kini tak sadar air matanya telah berurai.

"Saya nggak maksud … sungguh … hiks …" Sesaat dia menampar wajah dengan kencang. Zidane sangat geram dengan dirinya sendiri. Dia tak bisa membayangkan seberapa sedihnya Esya saat ini, jika wanita itu menyimpan semua perkataannya dalam hati.

Disaat dirinya dalam posisi sulit, teleponnya berdering. Entah siapa yang berani meneleponnya di tengah malam seperti ini. Zidane menoleh, dan langsung mengangkat teleponnya.

"Halo!" sapanya dengan napas memburu.

Terdengar tawaan kecil dari lawan bicaranya.

"Bagaimana? Kamu sudah persiapkan rencana esok? Jangan sampai gagal—"

Kebiasaan buruk Zidane, gemar menyangkal ucapan orang lain. Sifatnya yang sangat egois serta tak mau terkalahkan oleh siapapun membuat dia tak punya teman selain Gavin dan Hendrick.

"Belum … bagaimana mau memperbaiki suasananya kalau sudah rusak? Hah!" Zidane menyugar rambutnya yang basah oleh keringat. Dia terlihat frustasi.

"Kamu mengamuk lagi padanya?" tanya Gavin terkekeh mengejek.

"Ya … begitulah …," ucapnya pasrah "Jadi saya harus apa?" tanyanya dengan suasana hati yang mulai mereda.