Pagi harinya. Aku terbangun saat sinar matahari masuk dari celah gorden yang jatuh tepat di wajahku. Meregangkan tubuh yang terasa lesu, mengembalikan kesadaranku yang belum sepenuhnya kembali. Aku meliha tempat tidur di mana Bang Agus semalam tidur, ternyata sudah tidak ada. Sepertinya dia sudah bangun lebih dulu dan itu sudah hal bisa untukku. Aku bangkit dari tempat tidur dan kini dalam posisi duduk, menatap ke arah pintu berharap pintu itu terbuka dan aku melihat Bang Agus masuk. Lima menit sudah aku menunggu, tapi dia tak kunjung datang.
Aku turun dari ranjang, dan berjalan mendekati pintu, berniat untuk keluar kamar. Tapi niatku terhenti saat mendengar seseorang tengah berbincang di luar sana.
Kamar Bang Agus yang berada tepat di depan ruang TV membuatku mudah mendengar saat ada seseorang di sana. Aku membatalkan niatku dan kembali menunggu Bang Agus. Dan tidak lama dia datang, membuka pintu dan melihatku berdiri di depan pintu.
"Sudah bangun? Mau sarapan Bareng-bareng?"
"Bareng mereka?" tanyaku.
Bang Agus hanya menatapku.
"Yakin Bang, Gue keluar?" tanyaku lagi.
"Mau di kamar terus? Ya sudah Gue pergi dulu, ada kelas pagi hari ini."
"Yah ... Abang, tunggu," cegahku, mencekal lengannya.
"Tidak apa-apa, mereka baik, jangan takut."
Bang Agus sepertinya memahami perasaanku.
"Cemen, sama mereka saja takut. Di mana adik Abang yang pemberani itu? " Godanya, seraya mengacak-acak rambutku yang memang sudah acak-acakan, dari kemarin tidak aku sisir di tambah aku bangun tidur.
"Pakai ini."
Bang Agus memakaikan kupluknya padaku.
"Dah, sudah enggak kayak singa. Yuk keluar."
Bang Agus menggandengku ke luar kamar, dan aku berjalan dengan kepala tertunduk.
"Wihh, siapa ini yang datang," Godanya. Tapi entah siapa, aku tidak tahu, aku tidak mau melihatnya.
"Tina, kapan datang?" tanyanya lagi, Aku mengangkat kepala dan melihat siapa dia, lama-lama suaranya sangat familiar untukku.
"Bang Hobi!"
Aku bergegas menghampirinya dan memeluknya, sampai-sampai ia hampir kehilangan keseimbangan karena posisinya yang duduk di sandaran sofa bersama temannya. Sepertinya orang yang semalam aku tabrak.
"Wow wow wow ... Pelan-pelan, Abang juga tidak akan lari," godanya.
"Bang Hobi tinggal di sini juga? Ko semalam aku tidak lihat?"
"Abang semalam pulang larut, habis dari acara festival dens," jawabnya.
"Oh, terus hari ini mau pergi lagi?" tanyaku lagi, berharap ia menjawab Tidak.
"Jangan pergi, ya. Temani aku di sini. Bang Agus ada kelas pagi katanya." Aku tidak mau kecewa, aku memintanya langsung sebelum dia mengambil keputusan. Dan aku yakin Bang Hobi tidak akan menolak permintaanku.
"Iya. Bang Hobi perginya aga siangan sih."
"Ke mana?" tanyaku.
"Acara festival dens lagi. Abang jadi juri sekaligus panitia di sana."
"Ikut, Boleh." Aku memasang wajah memelas berharap Bang Hobi mengizinkan. Bang Hobi melihat ke arah Bang Agus, begitu juga denganku. Sedangkan yang dilihat diam tidak peduli.
Bang Hobi beralih melihatku dan tersenyum.
Aku memasang wajah cemberut.
"Bang Agus ..." rengekku.
"Hem," jawabnya.
"Bolehkan?"
"Kalau aku jawab tidak, bagai mana?" bicara tanpa melihat ke arahku.
"Bang Hobi, kita kawin lari, yuk."
Bang Hobi terbelalak mendengarnya, begitu juga dengan Bang Agus. Bukan hanya mereka berdua, orang yang semalam aku tabrak juga terkejut mendengar ucapanku, bahkan sampai terbatuk-batuk. Aku juga melihat ada satu lagi penghuni indekos lain yang terkejut mendengarnya.
"Pergi sana, tidak usah pulang sekalian. Dan lo Hob, kalau bosan sama itu anak, lempar aja ke laut, buat kasih makan ikan cupang."
"Cupang di kali, bukan di laut!" jawabku ketus, sebari berjalan mendekati Bang Agus yang lagi menyiapkan sarapan di meja makan. Aku duduk di kursi yang tepat di sampingnya dan berniat meraih tahu goreng di atas meja. Belum juga dapat Bang Agus menepis tanganku.
"Nanti, tunggu yang lain," pintanya.
"Katanya suruh sarapan, gimana sih," protesku.
"Iya. Tapi tunggu yang lain. Mending kamu mandi saja dulu sana, dari kemarin kamu belum mandi."
"Jangan bilang malas! Nanti tidur di luar jangan tidur dikamar kalau tidak mau mandi." Lanjut Bang Agus menyelaku, seakan tahu apa yang akan aku katakan.
"Tina belum mandi dari kemarin? Pantes tadi pas peluk aga-aga gimana gitu," Goda Bang Hobi. Seraya berjalan mendekatiku dan duduk di sampingku.
Bang Hobi Alendra. Atau biasa di panggil Hobi, sahabat Bang Agus. Kita masih satu daerah hanya berbeda kampung. Aku dan Bang Hobi sangat akrab. Bang Hobi sering ajak aku dan Bang Agus jalan-jalan dulu, saat kita masih tinggal di kampung dan mereka masih duduk di bangku SMA yang sama. Setelah mereka lulus aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Dan hari ini aku senang banget pas lihat dia di sini bahkan tinggal satu Kos dengan Bang Agus.
"Bang Siapa?" tanya seorang pemuda yang duduk di hadapanku.
Ya, sepertinya ini pemuda yang semalam aku lihat, aku yakin itu. Aku ingat dari tato di lengannya itu. Semalam pas aku lihat TV, dan muncul tiga pemuda secara tiba-tiba, kesan yang pertama aku lihat adalah tatonya itu. Aku berpikir itu preman, pasti jahat. Secara yang aku tahu orang yang punya tato itu preman, dan preman itu jahat, itulah yang aku tahu, aku tahu dari TV.
Di sebelah pemuda juga ada pria yang semalam aku tabrak, dia duduk berselang dua kursi darinya. Kenapa begitu, apa mereka lagi musuhan? Entahlah.
"Ini Agustina, adiknya Bang Agus."
Aku menunduk saat Bang Hobi memperkenalkanku kepada mereka berdua.
"Tina," panggil Bang Hobi, aku menoleh ke arahnya. "Kenalkan Ini Jey, Jey Pradita. Dia paling bungsu di sini, usianya juga sama kayak kamu, tahun ini dia baru masuk kuliah. Dan nanti kalau kamu jadi kuliah kamu akan satu kampus dengannya."
"Kuliah?" tanyaku heran. Aku melihat ke arah Bang Agus. "Bang ...." Belum juga aku sempat berbicara dia malah pergi, berjalan ke arah dapur.
"Apa Bang Agus belum cerita?" tanya Bang Hobi. Aku menggelengkan kepalakku, dan kembali menunduk.
'Kuliah, Bang Agus akan menguliahkanku? Uang dari mana? Apa selama ini dia pelit, perhitungan lebih tepatnya, demi aku?'
"Tina, sudah jangan dipikirkan, dia tahu yang terbaik untukmu."
"Tapi Bang—"
"Abangmu itu orang yang cerdas, dia selalu memikirkan apa-apa saja yang menjadi keputusannya, percayalah." Jelas Bang Hobi.
"Iya. Bang Agus itu bukan orang yang gegabah, keputusan apa pun yang dia ambil pasti sudah dia perhitungkan sejak awal," imbuh pemuda berbadan tinggi, tegap, badanya juga besar, wajahnya tampan, senyumnya Juga manis ada lesung pipitnya di pipi. Yup, dia pemuda yang aku tabrak semalam.
"Mungkin ini alasan Bang Agus selama ini perhitungan," sahut pemuda lain yang baru saja datang. Dan sepertinya dia juga baru bangun tidur. Di lihat dari rambutnya yang kayak singa dan wajahnya yang kucel.
Plak
Pemuda bertato Bernama Jey memukul tangannya yang ingin meraih tahu goreng yang tadinya mau aku ambil.
"Cuci gigi, sikat muka sana. Belek lo ke mana-mana."
Aku menoleh ke arah pemuda bernama Jey itu saat mendengar ucapan nya yang berasa aneh dan janggal. Tidak cuma aku, Bang Hobi dan pemuda yang semalam aku tabrak juga melihat ke arahnya.
"Kalau ngomong yang benar, jangan di balik-balik," protes pemuda yang baru datang itu, di ikuti tawa recehnya dan Bang Hobi yang has. Aku hanya tersenyum sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Manis," ucap Jey.
Aku terkejut mendengarnya dan melihat ke arah Jey.
"Senyum kamu manis," ucapnya lagi, seraya menatapku dan tersenyum ke arahku. Jujur aku jadi salah tingkah di gombali seperti itu. Apalagi wajah Jey itu tampan, imut, manis, putih, bersih, mulus, meski ada percing di bibir dan alisnya. Hal itu tidak membuatnya terlihat seram kayak preman tapi malah terkesan keren dan gagah.
"Manis, susunya manis."