Tidak lama pintu kamar Bang Agus di ketuk dari luar.
"Tina, jadi ikut tidak? Atau mau di rumah sama Bang Sojin, jaga in Vino?"
"Ikut!" teriaku dari dalam, bergegas berlari membuka pintu untuk Bang Hobi.
"Ya sudah, mandi gih, Gue tunggu di depan?" beranjak pergi.
"Jangan, Bang Hobi tunggu di meja makan jangan ke mana-mana?" cegahku.
Alasan aku meminta Bang Hobi menunggu di meja makan karena lokasi meja makan tidak jauh dari kamar mandi, jadi kalau ada yang macam-macam Bang Hobi tahu dan mencegahnya. Kalau soal Bang Hobi yang macan-macam... aku rasa tidak mungkin. Di lihat dari wajahnya dia baik. Tapi, tidak tahu juga sih, aku sudah lama tidak pernah ketemu sama dia, sifat orangkan bisa berubah, bisa tambah baik, bisa juga malah buruk.
"Ya sudah, Abang tunggu."
Aku kembali masuk dan keluar dengan handuk kimono dan handuk kecil di tanganku. Rencananya aku mau keramas, sudah tiga hari aku enggak keramas. Lagian rambutku pendek jadi tidak masalah akan cepat kering nanti.
"Eh, maungapain lo?" tanya pria yang di panggil mini sama pria bertato. Jey.
"Mandi," jawabku.
"Gue duluan," pintanya, berjalan mendahuluiku.
"Enggak mau! Gue dulu, Gue mau jalan sama Bang Hobi." Aku berlari mendahuluinya. Tapi dia mencekal tanganku
"Enggak! Gue duluan, Gue ada janji sama cewek Gue. Nanti lambat mengamuk dia."
"Bang Hobi juga nanti lambat kalau tunggu in Gue mandi habis lo," jawabku tak mau kalah.
"Masalah Gue jauh lebih penting. Pokonya Gue yang mandi duluan."
"Enggak mau! Ketepatan waktu Bang Hobi juga penting di festival, masak ia panitia lambat?"
Aku dan Pria yang di panggil mini terus beradu mulut di depan kamar mandi. Sedangkan Bang Hobi yang beberapa saat masuk ke kamarnya ke luar untuk melihat keributanku dan si pria Mini. Bukan hanya Abang Hobi saja, Abang ganteng yang bahunya lebar juga keluar dari dalam kamarnya, mungkin. Itu kamar dia atau bukan aku tidak tahu.
"Ada apa ini? Kenapa kalian selalu ribut perihal kamar mandi? Pusing kepala Gue kalau kalian ribut terus. Jemy, Adek lo lagi sakit jangan lah bikin gaduh, dia mau istirahat. Kalau kalian—"
"Gue duluan!"
Di saat pria mini yang di panggil Jemy itu lengah, aku berlari lebih dulu masuk ke dalam kamar mandi yang hanya satu. Ada dua, tapi katanya yang satu lagi rusak. Sebenarnya tidak sopan, aku pergi di saat orang yang lebih dewasa dari kita sedang bicara. Tapi, demi mandi lebih dulu aku terpaksa melakukannya. Maaf Abang yang berbahu lebar, Bang Sojin
"Ya, Bang, Dia masuk duluankan jadinya."
Aku mendengar nada protes dari pria mini itu dari dalam kamar mandi.
Sebenarnya tidak mini, tingginya dengan tinggiku masih tinggian dia. Tinggi Dia hampir sama dengan Bang Agus. Tapi kalau di bandingkan dengan yang lain dia memang lebih pendek. Kayaknya Dia sama Bang Agus Bisa di bilang dua mini di kosan.
Dari dalam kamar mandi, aku juga mendengar Bang Hobi tertawa, sepetinya dia menertawakannya. Aku juga mendengar suara tawa lain yang kayak suara kaca yang lagi di lap, mungkin suara tawa Abang bahu lebar.
Setelah beberapa menit aku keluar dari dalam kamar mandi. Melihat bang Hobi duduk di meja makan, la benar-benar menuruti apa yang aku katakan.
Belum juga aku masuk kamar, aku melihat pria mini itu sudah berpenampilan rapi. Memakai kaos hitam, celana hitam, topi hitam dan tas selempang hitam. Astaga, itu kenapa sepatunya juga hitam. Kayak mau melayat saja. Tapi kalau di lihat-lihat keren juga. Wihh paka kacamata segala lagi.
'Gila, cowok idola Gue banget nih' batinku.
"Apa lo lihat-lihat, naksir?"
"Pd amat lo, masih kerenan juga Abang bahu lebar," sahutku ketus. Masuk ke dalam kamar mengakhiri perdebatan yang belum juga di mulai.
Tidak lama aku kembali membuka pintu kamar, aku hanya memunculkan kepalaku. "Woy, lo mau ketemu gebetan enggak mandi? Jorok!" ucapku. Aku lekas kembali menutup pintu sebelum ia membalas akan ucapanku barusan.
"Resek lo," jawabnya dari luar.
Tidak butuh waktu lama, aku sudah keluar dari dalam kamar. Itulah aku, hanya butuh waktu singkat untuk bersiap saat ingin pergi. Cukup dengan celana panjang kulot dan kaos. Saat ini aku memakai warna hitam dan kemeja kotak-kotak, serta topi. Tidak lupa aku memakai sniker warna crem. Cukup simpel menurutku.
"Sudah siapa?" tanya Bang Hobi yang melihatku keluar dari dalam kamar.
"Sudah dong," jawabku antusias.
Dengan mengendarai motor pespa berwarna hitam. Aku dan Bang Hobi pergi menuju tempat di mana festival dens itu akan berlangsung. Di sebuah gedung yang tidak jauh dari sebuah kampus. Kata Bang Hobi itu kampus di mana aku akan berkuliah nanti. Bukan aku saja, tapi Bang Agus, Jey, pria mini, Jemy dan Vino, pria yang lagi sakit itu. Satu lagi Bang Namu, pria yang semalam aku tabarak, mereka juga kuliah disana, sedangkan pria bahu lebar, sojin, sudah bekerja.
Dan secara tidak langsung aku sekarang tahu siapa-siapa saja nama penghuni kamar kos itu. Dari pria mini, Jemy dan si bahu lebar, bang Sojin.
"Kamu tunggu di sini sebentar," pinta Bang Hobi. Memintaku untuk menunggu di bangku penonton yang berada tidak jauh dari bangku para panitia festival.
Tidak lama Bang Hobi kembali dengan membawa senek dan minuman dingin. "Ini buat nemeni lo, jaga-jaga kalau lo bosan," ucapnya.
"Tenang saja, Gua enggak bakal bosan," jawabku, seraya menerima pemberiannya.
"Baguslah. Ya sudah, Gue tinggal. Kalau ada apa-apa panggil saja."
"Sip, beres pokonya," aku mengacungkan jempol ke arah bang Hobi.
Benar juga kata Bang Hobi, belum juga ada 15 menit, aku sudah merasa bosan di buatnya. Bukan bosan karena capek menunggu acara yang tidak kunjung dimulai. Tapi bosan melihat Bang Hobi di kurabuni cewek-cewek yang laganya pura-pura minta di ajari dens.
"Dasar cewek ganjen. Pasti alasan saja itu. Bilang saja mau dekat-dekat sama Bang Hobi. carimuk banget mereka mah. Dasar cewek-cewek ganjen."
Tidak lama kegaduhan datang dari pintu masuk. Entah apa yang membuat para cewek-cewek itu gaduh mengerubungi seseorang yang baru saja datang itu. Entah siapa dia, aku tidak peduli. Aku hanya fokus dengan para cewek yang masih mengerubungi Bang Hobi.
"Dasar cewek ganjen lo pada," omelku lagi, kesal melihat para cewek yang semakin mendekati Bang Hobi.
Perhatianku kembali terkalihkan dengan kerumunan cewek-cewek yang datang dari arah pintu. Sedikit heran karena mereka malah mendekat ke arahku.
"Cih, ternya mereka yang datang," decehku, semakin kesal.
Yp. yang mereka kerubungi ternya si pria mini, Jemy. Dan si pria bertato, Jey. Macam lalat saja. Mereka berjalan menuju ke arahku dan duduk di samping kanan dan samping kiriku. Kini posisiku berada di tengah-tengah mereka.
"Apa lo?" tanyaku pada keduanya.
Jemy memasang wajah cemberut, sedangkan Jey malah meraih senekku.
"Engga ada yang menyuruh makan! ini punya Gue."
Aku merebut kembali senek yang hampir di buka sama Jey.
"Ini juga punyaku," beralih merebut botol minuman milikku yang akan di minum oleh Jemy.
"Pelit amat, bagi kenapa?" protes Jemy.
"Enggak mau. Beli sendiri sana," jawabku ketus.
"Astaga. Enggak abang enggak Adek sama pelitnya."
"Apa lo bilang? Berani ngatain Abang Gue pelit? Awas saja, Gue adu in lo," ancamku pada jey. " Badan boleh bertato itu muka dipasang tindik, udah mirip preman. Tapi sayang, sama Abang Agus aja takut." Cibirku.
"Memang lo berani?" tanya Jey.