Chereads / PENGHUNI KAMAR KOS / Chapter 3 - Terpesona Pandanga Pertama

Chapter 3 - Terpesona Pandanga Pertama

Aku sedikit bingung kenapa dia seperti mengalihkan pembicaraan. Ia meraih susu dalam gelas yang ada di hadapannya, dan meminumnya hingga tuntas dalam sekali teguk. Aku menoleh ke belakangku, ternyata ada Bang Agus yang menatapnya tajam dengan gelas susu di tangannya.

Yahhhh... Pria bertato ini ternyata takut sama Bang Agus yang badanya jauh lebih kecil darinya, Payah.

"Ini, minum."

Bang Agus memberikan gelas berisi susu hangat itu padaku.

"Sarpan sudah siap!"

Aku menoleh ke arah sumber suara yang datangnya berasal dari arah dapur. Seorang pria tampan, muncul dari arah dapur dengan membawa mangkuk besar yang sepertinya berisi nasi goreng.

Wah, sepertinya aku naksir sama peria satu ini, wajahnya manis, senyumnya juga manis. Eh tunggu, kenapa penghuni kosan ini cakep-cakep semua sih, yang baru muncul dari dapur ganteng banget, yang baru bangun juga cakep. Baru bangun aja cakep, gimana kalau sudah mandi pakai baju keren dan... Haisssss.. sudahlah, sepertinya aku betah tinggal di sini. Demi apa pun aku tidak mau pindah dari kosan Bang Agus, apa pun caranya aku harus tetap di sini.

"Sudah kumpul semua? Jemy! kamu cuci muka dulu sana, jangan lupa gosok gigi, jorok banget jadi orang. Jey! tarok ponselnya, di meja makan dilarang bermain ponsel. Namu, Namu Namu.... belajarnya nanti, sarapan dulu. Vino, di mana Vino? Hobi bangunkan dia, dia pasti tidur lagi. Agus, ambil lauk di belakang."

Aku yang awalnya terpana menikmati ketampanan pria tampan dihadapanku, berubah menjadi tatapan tidak percaya dengan apa yang aku lihat dan aku dengar. Pria itu bawelnya mengalahi emak-emak. Kecepatan bicaranya ngalahin salah satu reper favoritku yang berasal dari Korea, AgusD.

Aku meringsek pergi menyusul Bang Agus ke dapur tanpa ada yang tahu. Aku pergi karena merasa canggung dengan pria itu. Mungkin karena belum terbiasa. Kalau di sebelahku masih ada Bang Hobi mungkin aku masih duduk di sana dan meminta perlindungan dengannya. Tapi Bang Hobi pergi memanggil orang yang bernama Vino.

"Ya, di mana orang yang duduk di sini? Kenapa menghilang? Apa dia hantu?"

Dari arah dapur aku mendengar dia kebingungan mencariku.

"Kenapa?" tanya Bang Agus saat melihatku menyusulnya. Aku hanya menggelengkan kepala.

"Takut?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk lalu menggelengkan kepalaku.

"Jangan takut, dia cuma cerewet di mulut saja, dia tidak galak atau jahat, dia baik. Nanti kamu juga terbiasa," ucapnya seraya mengusap kepalaku. Aku mengikuti langkah Bang Agus yang kembali ke meja makan.

"Bang, aku mau pipis," aku bicara sepelan mungkin dan pergi ke arah toilet.

"Bang, Vino tidak ada di kamar."

Hobi kembali dan melapor.

"Dia di--"

"Aaaaaaaaa!!!!!

Aku berteriak bersamaan dengan pemuda yang berada di dalam toilet, tampaknya dia sedang buang air besar.

Aku berlari ke luar dan menabrak bang Agus yang sepertinya panik mendengar teriakanku. Aku memeluk Bang Agus dan menyembunyikan wajahku dalam pelukannya.

"Woy, siap itu? Main nyelonong saja!" teriak pemuda itu, keluar dari dalam toilet.

"Vino yang ada di dalam kamar mandi, Bang." Jelas Pria bernama Jemy itu.

"Vino?" tanya pria bawel berbahu lebar itu.

"Vino! Kamu ngapain di dalam? Dari tadi belum kelar juga? Tidur lagi kamu di dalam? Kebiasaan kalau di dalam toilet suka lama. Lupa apa kalau toiletnya cuma satu sedangkan yang tinggal tujuh orang."

Yup, aku mendengar suara pria itu mengoceh lagi.

"Perut Gue sakit, Bang. Ini gara-gara Bang Jemy sama Jey," jelas pria bernama Vino. Berjalan sembari memegangi perutnya. Wajahnya juga tampak pucat dan lemas.

"Sakit? Lo diare atau apa?" Pria cerewet itu tampak panik.

"Sepertinya dia juga dehidrasi, Bang," imbuh Hobi, panik.

"Dek, Lo ambilkan kotak obat di kamar Abang, di laci meja, " pinta Bang Agus.

Aku bergegas menuju kamar, ikut panik saat melihat kondisi pemuda bernama Vino itu yang sangat menghawatirka.

Saat kembali aku melihat mereka sudah Berada di ruang TV. Sedangkan pemuda yang sedang sakit itu tiduran di atas sofa. Setelah memberikan kotak obat, aku bergegas pergi ke dapur. Dan kembali lagi dengan membawa air hangat dalam gelas yang sudah aku campur dengan garam dan gula.

"Bang, ini," aku berikan air dalam gelas itu pada Bang Agus. "Udah Gue campur sama garam dan gula," jelasku

"Vino, minum ini. Supaya lo tidak dehidrasi." Bang Agus membatu meminum air yang aku berikan.

"Apa ini bang, ko rasanya kayak gini?"

"Ini oralit," jawab Bang Agus.

"Ko rasanya kayak gini, enggak salah buatnya, bang?" tanyanya lagi.

"Salah buat?" Bang Agus menoleh ke arahku, tidak lama dia mencicipinya.

Aku melihat Bang Agus menghela nafas panjang. Fiks... Aku membuat kesalahan kali ini. Tapi apa? Apa aku salah memasukkan bahan yang seharusnya?

"Dek, lo bisa bedain garam sama mecin tidak?"

Tuh kan! Aku pasti sala memasukkan dua bahan itu. Haisss... malunya aku, mereka tahu kalau aku sulit membedakan mana garam halus, mana mecin, dan mana gula halus. Ketiga bahan itu sangat sulit aku bedakan. Malah pernah aku masukkan beking soda yang aku kira garam dalam kemasan wada atum, ke dalam minuman Bang Agus.

"Engga tahu, Bang. Gue lihat ada tiga wadah, Gue tidak bisa bedakan mana garam, mana mecin mana gula, Semuanya terlihat sama menurutku," jelasku dengan jujur.

Bang Agus menghela nafas panjang kembali, dan pergi tanpa berkomentar apa-apa.

Aku memasang wajah cemberut, dan menundukkan kepalaku. Aku mendengar Bang Hobi tertawa, bukan cuma Bang Hobi, pria bahu lebar, pria bertato dan lainya juga terlihat menertawakan kebodohanku.

"Apes banget lo, Bang, bukanya sembuh yang ada makin parah."

Mendengar ucapan pria bertato bernama Jey itu, aku benar-benar merasa sangat bersalah. Baru saja datang sudah membuat masalah seperti ini.

"Maaf," ucapku, dengan kepala yang masih tertunduk.

Bang Hobi menghentikan tawanya, dan mendekatiku. "Sudah jangan sedih, ini bukan salahmu," ucapnya, seraya mengusap lembut pundangku.

"Tapi Bang...

"Sudah enggak apa-apa, ini salah mereka dan Vino sendiri. Sudah tahu enggak bisa makan pedas malah makan rujak semalam," ucap Pria bahu lebar yang entah siapa namanya, ikut menenangkanku. Meski sedikit lega, aku masih tetap merasa bersalah.

Tidak lama Bang Agus kembali dengan masih membawa segelas air.

"Vin, ini minum, habiskan, obatnya juga," pinta Bang Agus. "Setelah ini Lo istirahat," lanjutnya.

Aku memperhatikan Bang Agus. Ternyata dia tidak cuma perhatian denganku, dengan mereka juga ia sangat perhatian.

'Yah... Gue pikir gue spesial, ternyata tidak.'

Aku kecewa dengan pemikiran buruku sendiri, yang entah benar atau tidak. Intinya, aku cemburu Bang Agus perhatian juga dengan orang lain.

"Ya sudah yang lain sarapan, Vino biar Gue yang rawat," ucap Pria bahu lebar, sembari memapah pemuda bernama Vino masuk ke dalam kamar.

"Dek, Abang pergi dulu, Lo sama Hobi, ya," pamit Bang Agus.

"Lo enggak sarapan Bang?" tanya Bang Hobi.

"Engga, sudah telat." Beranja pergi. Tapi sebelumnya ia masuk ke dalam kamar mengambil tas ranselnya.

Setelah kepergian Bang Agus, aku dan lainya sarapan bersama. Aku merasa canggung dengan keadaan ini. Melihat mereka semua aku kembali memiliki perasan takut, meski sudah ada Bang Hobi yang aku kenal. Tapi tetap saja, secara aku perempuan sendiri di sini dan mereka bukan siapa-siapaku.

"Lo kenapa?" tanya pria berbahu lebar yang entah siapa namanya. Dia belum menyebut namanya, yang lain juga tidak memanggil namanya. Semua orang termasuk Bang Agus memanggihnya Bang. Sepertinya dia paling tua di sini?

"Apa Sarapannya tidak enak?" tanyanya lagi.

"Tidak, e—enak ko," jawabku gugup.

"Terus kenapa tidak dimakan?"

"Gue .... Itu...

"Takut?" tanya pria yang semalam aku tabrak.

Aku mengaguk pelan.

"Jangan takut, mereka baik," ucap Bang Hobi.

"Kecuali si Mini sebelah Gue, dia cowok PHP," sahut Pria bertato, Jey.

"Dia lebih parah, pacarnya dimana-mana, janda lagi," balas Pria yang di panggil mini oleh pria bertato itu.

"Yang ngajarin juga lo" sangkalnya.

"Bukan Gue, ini Bang Namu yang ngajari,"

Keduanya malah saling tunjuk membela diri masing-masing.

"Siapa yang ngajari? Gue kan cuma memberi tahu teorinya. Kenapa lo berdua praktekkan?"

Ternyata Namu nama pemuda yang aku tabrak semalam. Terus pemuda berbahu lebar sama pemuda yang di panggil Mini siapa?

"Sudah diam kalian berdua. Kalian sama saja, tidak ada bedanya. Dan Lo, Namu. Berhenti ajari mereka hal-hal seperti itu," lerai pria berbahu lebar itu.

'Namanya siapa sih dia? Heran Gue, dari tadi enggak ada yang menyebut namanya, Gue kan kepo. Bisa kaliyah Gue pepet jadikan pacar. Mungkin punya pacar pintar masak seru, kayak Bang Agus. Aku lihat-lihat dia juga baik dan perhatian. Kalau masalah umur itu enggak ada masalah, kalau jodoh tidak ke mana.'

"Tina, lo kenapa?" tanya Bang Hobi.

"Ti—tidak, tidak ada."

Aku sedikit terkejut dan salah tingkah di buatnya.

"Yah, kayanya ada yang terpesona dengan ketampanan wajah Abang kita ini. Tapi sayang, dia sudah ada yang punya."

"Ha?" Aku semakin salah tingkah saat mendengar ucapan peria bernama Jey itu. Aku sedikit malu kedapatan tengah menikmati ketampanan peria berbahu lebar yang juga duduk di sebelahku itu. Aku juga sedikit kecewa saat mendengar kalau dia sudah punyai pasangan.

"Baru pacaran, masih ada harapan sebelum janur kuning melengkung."

Aku terbelalak saat menyadari apa yang aku katakan. Astaga ini mulut enggak bisa gitu jangan asal ceplas ceplos, bikin malu saja. Aku memperhatikan ketiga peri yang duduk di hadapanku, Jey, pemuda mini, dan pemuda yang aku tabrak semalam, Namu, ketiganya menertawakanku. Sedangkan peria berbahu lebar tampak salah tingkah, pipi dan telinganya terlihat memerah.

"Gue sudah selesai," pamitku.