Chereads / Tiba-tiba cinta / Chapter 16 - Bab 16

Chapter 16 - Bab 16

"Temanmu menunggu berjam-jam untuk bertemu denganku kemarin," kata Julien lagi sambil membetulkan letak kacamatanya.

"Ketika memberikan rancangan-rancangan ini kepadaku, dia bilang dia ingin memberikan mimpi seseorang." Tangan Bara berhenti gemetaran benaknya dipenuhi wajah Dinda, lalu perlahan tersenyum lebar (Dinda ingin mewujudkan mimpiku, mengambil karyaku dari tempat sampah dan memberikannya pada orang yang aku kagumi, seandainya kau ada di sini Dinda, aku pasti akan lebih bahagia). Dengan tekad dan semangat baru Bara menatap Julien. "Aku tidak mau menerima pemberian seseorang secara cuma-cuma. Anda bisa membeli semua karya saya kecuali gambar rancangan cincin bintang saya," usulnya. "Tentang apartemen anda di New York, saya akan menempatinya, tapi dengan syarat saya akan bekerja pada anda selama dua tahun setelah kelulusan saya dari GIA."

Papa seakan tidak percaya, "Ada apa lagi ini Bara?bukankah kita sudah sepakat kau akan menjadi dokter?!"

"Maaf " kata Bara tulus.

"Aku tidak bisa melakukannya, aku tidak pernah ingin menjadi dokter itu mimpi papa, bukan mimpiku."

"Beraninya kau berkata seperti itu !" teriak papa. Mama langsung pindah dekat papa untuk menenangkannya.

"Tenanglah pa, Bara jangan buat papamu marah. Bukankah kau sudah diterima di fakultas kedokteran, kau mau belajar apa?"

"Aku akan belajar perhiasan di GIA" Bara menatap kedua orang tuanya tanpa perasaan takut.

"Maafkan aku, pa, ma. Aku tidak bisa mewujudkan impian kalian, ini hidupku dan kali ini aku ingin mengejar impianku"

Papa menatap putranya sambil tersenyum sinis.

"Kalau kau pergi kuliah disana, papa tidak akan mendukungmu ! papa tidak akan membantumu secara finansial. Apakah kau mengerti?" Bara mengangguk

"Aku mengerti, aku tidak akan meminta dukungan finansial pada papa selama aku kuliah disana." Papa terkejut mendengar perkataan putranya "Kalau kau ingin pergi, pergilah papa tidak akan menahannmu ! kita lihat saja nanti, sampai berapa lama kau bertahan disana." Bara menarik napas dalam-dalam

"Terima kasih, pa." Seminggu kemudian Bara pergi meninggalkan rumahnya untuk berangkat ke New York untuk mengejar mimpinya.

Dinda tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan kakinya pegal setengah mati, tangannya membawa nampan berisi piring bekas makan yang berat sekali sebentar lagi tangannya akan menyusul merasakan apa yang dirasakan, kakinya benar-benar kelelahan. Waktu menunjukan pukul dua belas malam Dinda mengistirahatkan kakinya sebentar di kursi dapur. Dilihatnya para pelayan lain sibuk membersihkan meja dan kursi, melihat rekan-rekannya bekerja keras, Dinda berdiri kembali dan bergabung dengan mereka. Sepindahnya ke kota baru, hidup Dinda tidak berjalan seperti yang diinginkannya. Ia tidak pernah memikirkan seberapa mahal biaya kuliah yang harus di keluarkan mama untuk membiayainya. Mama menyakinkan Dinda bahwa ia bisa kuliah tanpa harus memikirkan masalah keuangan.Tapi, Dinda tahu ia tidak bisa melakukannya. Jadi, ia memutuskan untuk mencari kerja.

"Tapi, bagaimana dengan kuliahmu?" tanya mama kecewa.

Dinda bersiteguh "Sampai kini aku belum tahu mau masuk jurusan apa, lebih baik kuliahnya di tunda dulu, ma." untuk pertama kalinya Dinda dan mama tidak bersepakat.

Akhirnya Dinda menemukan jalan tengah

"Bagaimana kalau begini saja, aku akan bekerja selama setahun ini, selama itu aku juga akan menabung untuk membiayai kuliahku nanti.

"Apa kau yakin itu yang kau inginkan ?" tanya mama lagi Dinda mengangguk

"Aku ingin membiayai kuliahku sendiri. Sekarang aku sudah dewasa, Ma. Kurasa aku berhak memutuskan sendiri apa yang ingin kulakukan"

setelah mendengar putrinya berkata demikian, mama akhirnya mengalah, beberapa hari kemudian dalam perjalanan pulang dari supermarket, Dinda melewati sebuah restoran italia yang memampang. Tawaran kerja sebagai pelayan disana tanpa pikir panjang dia langsung mengambil tawaran itu dan diterima hari itu juga, ada dua alasan mengapa Dinda memutuskan bekerja direstoran itu. Yang pertama adalah karena letaknya yang dekat dengan rumah hanya sepuluh menit berjalan kaki dan yang kedua adalah karena bekerja di restoran artinya setiap hari ia harus berurusan dengan makanan dan Dinda memang sudah menyukai hal itu sejak SMA.

Tetapi kedua alasan itu terutama yang kedua membuatnya memikirkan kembali apakah ia sudah membuat pilihan yang tepat? terutama saat-saat punggungnya serasa mau patah, kakinya kesemutan dan tangannya teramat sangat pegal.

Bulan pertama bekerja di restoran ia dapat melihat bahwa bosnya adalah seseorang yang cepat naik darah. Setiap tiga bulan sekali, selalu ada asisten chef baru Arena Menoewa kopi namanya dijadikan nama restorannya, selalu punya alasan untuk memecat mereka sebagai seorang chef. Pemilik restoran adalah seorang genius yang bisa membuat makanan italia yang sangat lezat. Dinda mengagumi aspek tersebut, tapi tidak tempramennya.

"kau di pecat ! " teriak bosnya tiba-tiba dari dapur restoran.

Dinda merasa lelah sambil mengelap meja. Bosnya memecat asistennya lagi, kali ini bahkan belum sampai tiga bulan. "Dia melakukannya lagi," keluh Maya seorang pelayan senior yang sudah bekerja hampir lima tahun, sama seperti umur restoran mereka. Seorang pria paruh baya keluar dari dapur dengan kesal dia berjalan melewati ruang makan membuka pintu keluar dan melenggang pergi tanpa sepatah katapun. Dinda merasa kasihan pada si asisten itu. Tak berapa lama kemudian pintu dapur terbuka.

Seorang pria italia berumur lima puluh tahunan berteriak. "Riska, cepat carikan asisten baru ! Aku tidak mau orang idiot seperti tadi, mengerti?!"

Riska hanya bisa menelan ludah dan mengangguk.

"Oke, Farel" katanya membalas, setelah Farel keluar dari restoran para pelayan menarik napas lega

"Aku tidak tahu harus mencari asisten chef dimana lagi," keluh Riska di dekat Dinda.

Dinda mendekati Riska "jangan menyerah mbak,mbak pasti menemukannya."

Riska memandang wajah Dinda yang menyemangatinnya. Walaupun Dinda karyawan baru Riska sudah menyukainya sejak awal karena Dinda tipe pekerja keras yang tidak pernah menyerah. "Thanks, Dinda aku harap begitu".

Pukul setengah satu malam, restoran Antonio ditutup Dinda berhenti sejenak di depan restoran, terdapat sebuah papan tulis disana. dinda merasa letih jam sebelas siang nanti ia akan mengulang kembali semua yang di kerjakannya tadi membersihkan meja, membereskan bangku, melayani pelanggan, membawa makanan, mengambil piring bekas makanan untuk dicuci, lalu mengulang dari awal. Satu-satunya yang membuatnya bertahan bekerja direstoran Antonio adalah kesempatannya untuk melihat bagaimana seorang juru masak hebat membuat makanan mentah sebagai santapan lezat.

Seperti karya seni Dinda memasukkan tangan ke saku jaket nya, sehelai kertas kecil berada disana ia mengeluarkannya dan membukanya, jangan menyerah tulisan tangan Bara.

Ia tahu, tidak seharusnya menyimpan kertas tersebut kalau ingin benar-benar melupakan Bara, tapi entah mengapa ia tidak sampai hati membuang kertas tersebut. Setelah membacanya, Dinda merasa semangat baru menyelimutinya. Ia meletakkan kertas tersebut hati-hati ke dalam dompet dan berjalan pulang. Setibanya dirumah sekitar pukul satu dini hari, Dinda duduk di sofa sebentar lalu mandi dan tidur. Jam kerjanya direstoran membuatnya jarang bertemu dengan mama di sore hari. Ketika mama pulang, Dinda masih direstoran dan saat Dinda pulang, mama sudah tidur. Tapi Dinda masih terbiasa untuk bangun pagi, sehingga masih sempat bertemu mama sebelum berangkat ke kantor.

Minggu-minggu pertama bekerja di restoran Antonio, Dinda tidak terbiasa jadwal makan dan tidurnya berubah.