"Aku rasa sebagai seorang dokter papa bisa mendiagnosis sendiri." Bara duduk dikursi ruang tamu berhadapan dengan Papa.
"Aku lelah, aku kurang tidur apakah diagnosisku benar?" berpuluh-puluh rancangannya.
"Kau masih marah pada Papa?" Papa memberi pertanyaan atas pertanyaan putranya.
"Ya Papa tidak pernah menerima teleponku selama dua, lalu aku tidak berhak marah?" Bara mendesah kesal.
"Papa masih berpikir kau melakukan kesalahan lihatlah kau sekarang".
Papa sebenarnya ingin berbaikan dengan anaknya, tapi yang keluar malah kemarahan.
"Kau bilang kau bahagia dengan pilihanmu, tapi justru saat ini kau sama sekali tidak terlihat bahagia."
Bara menarik napas panjang, berusaha menahan diri
"Ternyata Papa masih belum menyerah juga selama dua tahun ini? Aku tidak bisa bertengkar lagi soal ini.Terutama tidak saat ini lebih baik Papa pergi sebelum kita berdua menyesali perkataan kita selanjutnya."
"Baiklah" Papa berdiri dan keluar dari pintu apartemen Bara dengan emosi. Begitu ayahnya pergi Bara berbaring dikamar tidurnya. Matanya memandang cincin bintang yang berada ditelapak tangannya tiba-tiba hujan datang membasahi jendela kamar tidurnya.
Butiran-butiran air mengalir secara bergantian dikaca jendela kamarnya. Bara langsung bangkit dari tempat tidur, sebuah ide mulai muncul dikepalanya. Dia langsung mengambil buku sketsanya dan mulai menggambar seuntai kalung dengan satu garis horizontal, dan garis horizontal tersebut tergantung puluhan garis vertikal yang panjangnya tak beraturan dan ujungnya berbentuk tetesan air Bara tersenyum tipis dua jam kemudian rancangan kalung tersebut sudah berbentuk sempurna bara menamainya dengan "The Waterdrops"
Bara mengambil payung lalu bergegas keluar dari apartemenya menuju lab Gia dia mengerjakan karya barunya sampai lab itu ditutup. Keesokan paginya, ketika lab dibuka, Bara meneruskan pekerjaanya sampai sore.
Dia berhasil mendaftarkan karyannya untuk kontes Tiffany pada menit-menit terakhir. Kini dia tinggal menunggu pengumuman tiga hari lagi. Bara kembali ke apartemenya dengan perasaan lega. Dia menguap kelelahan dan malam itu tertidur pulas selama sepuluh jam.
Tiga hari kemudian, Bara menanti pengumuman pemenang kontes dilayar komputernya pihak penyelenggara akan mengumumkan pemenangnya secara online di internet. Jam menujukkan pukul 09.59 satu menit lagi Bara merasa enam puluh detik berikutnya merupakan detik-detik terlama dalam hidupnya.
Tepat pukul sepuluh, Bara mengetikkan alamat Tiffany dan Co dia memilih menu pengumuman pemenang kontes sebuah halaman biru terbuka dengan cepat Bara tidak melihat namanya diurutan pertama. Dia melihat nama George Finley disitu. Nama Bara berada diurutan kedua Bara merasa sedikit kecewa, tapi ia masih senang karyannya mendapat urutan kedua.
Satu jam kemudian, bel pintu apartemennya berbunyi Bara membuka pintu apartemennya dan melihat George Finley berdiri didepannya
"Aku menang," kata George pada Bara
"Aku tahu, selamat atas kemenanganmu."
Bara hendak menutup pintu apartemennya, tapi ditahan oleh George
"Hanya itu yang ingin kau katakan ?" Tanya George heran.
"Ya sekarang pergilah" usir Bara bersikeras mengabaikan kehadiran George.
George malah masuk apartemen Bara.
"Aku tidak mengerti, kau tidak marah?"
Bara duduk dipunggung kursi dan melipat tangannya di depan dada.
"Kenapa aku harus marah?"
"Aku menang dan kau kalah. Aku mengalahkanmu, Akhirnya setelah sekian lama aku berhasil mengalahkanmu," kata George cepat.
Bara tertawa pendek "Selamat kau sudah berhasil mengalahkanku" kata Bara tertawa pendek.
"Selamat kau sudah berhasil mengalahkanku." sindirnya George makin kesal.
"Aku mencuri karyamu." dia berusaha membangkitkan amarah Bara.
"Aku tahu" Bara memandang George dengan santai .
"Itulah sebabnya aku tidak marah karyaku tetap menang."
"Mengapa?" George melangkah mundur
"Mengapa aku tetap tidak bisa mengalahkanmu?" Bara balik bertanya "Kenapa kau selalu ingin mengalahkanku?"
George menatap Bara dengan sedih "Kau tidak mengerti ketika ayahku ditunjuk menjadi dewan fakultas untuk memberikan beasiswa pertamamu di GIA, dia bertanya padaku kenapa aku tidak bisa sepertimu? Kenapa bukan aku yang menerima beasiswa itu dari tangannya. Semakin dia memujimu, semakin aku membencimu. Itulah sebabnya aku ingin mengalahkanmu. Aku ingin membuat ayahku memujiku sekali saja."
Bara mengerti sekarang mengapa George membencinya.
"Kau salah."
George merasa bingung "Apa maksudmu?"
Aku mengerti semuanya, Bara tersenyum pada George.
"Aku mengerti bahwa ayahmu ingin kau menjadi seperti dirinya, seorang ahli perhiasan terkenal. Ayahku juga ingin aku mengikuti jejaknya menjadi Dokter, tapi aku memilih untuk meraih impianku sendiri. Kau tidak menyukai bidang perhiasan, bukan?"
"Sampai kapan kau bisa berpura-pura untuk bertahan? Cepat atau lambat kau akan kelelahan aku rasa kau tidak bisa mencuri karya orang lain seumur hidupmu untuk mendapat pengakuan dari ayahmu, dan berhentilah mengejar mimpi ayahmu. Kejarlah mimpimu sendiri."
"Ayahku tidak akan memaafkan kalau aku mengejar mimpiku menjadi pemain teater." George menelan ludah Bara menggeleng sambil tertawa perlahan.
"Ayahku belum memaafkanku sampai sekarang. Tapi aku tidak bisa berpura-pura menyukai sesuatu yang tidak aku sukai selamanya. Selama delapan belas tahun ayahku menyiapkanku untuk menjadi Dokter lama kelamaan aku kesulitan bernapas. Aku takut membuka mataku pada pagi hari karena harus melakukan hal yang tidak kusukai berulang-ulang jangan biarkan hal itu terjadi padamu, Finley."
George tertegun saat mendengar perkataan Bara, dia tidak menyangka Bara memilik masalah yang sama dengannya.
"Tapi bagaimana aku bisa berhenti? bukankankah sudah terlambat untuk mengejar mimpiku?"
"Yang kau butuhkan hanya keberanian, percayalah pada dirimu sendiri, maka kau pasti bisa melakukannya. Kalau boleh aku berterus terang, sejak pertama aku sudah bilang, kau tidak berbakat di bidang perhiasan bagaimana mungkin seseorang yang tidak menyukai perhiasan bisa merancang perhiasan yang indah?" Bara berjalan mendekati George dan menatapnya.
"Jangan mensia-siakan hidupmu. Tidak pernah ada kata terlambat untuk mengejar mimpimu."
George tersenyum dan mengulurkan tangannya pada Bara.
"Maaf, aku telah membencimu selama ini aku tidak menyangka justru kau yang menyadarkanku akan impianku. Hey. Fareli apakah kita bisa berteman?"
Bara menjabat tangan George.
"Tentu Finley dan... semua temanku memangilkuu Bara."
George tersenyum. "Kau bisa memanggilku dengan George."
"Aku senang kau menjadi temanku, George ," kata Bara sungguh-sungguh.
"Aku juga Bara." George menjabat tangan Bara dengan erat kemudian melepaskannya.
"Aku akan mengejar mimpiku mulai saat ini," tekad George.
Bara tersenyum. "Semoga berhasil, George aku akan menanti tiket undangan pertunjukkan perdana mu nanti." George tertawa "Pasti, selamat tinggal Bara aku pergi dulu."
Ketika Bara hendak menutup pintu apartemennya setelah kepergian George tiba-tiba seseorang berkata padanya dari luar pintu.
"Apakah hidup dengan Papa benar-benar membuatmu tidak bisa bernapas?" tanyanya. Bara menyimpulkan Papa mendengar semua perkataannya dengan George.
"Masuklah, Pa."
Papa memasuki ruangan apartemen Bara untuk yang kedua kalinya.
"Papa tidak pernah menyangka Papa sudah membuatmu menderita"
Bara mengambil dua kaleng minuman dari kulkasnya dan memberikan satu pada Papa.
"Tidak semua hari-hari bersama Papa membuatku tidak bisa bernapas. Aku ingin ketika kita berdua pergi memancing sewaktu aku mau masuk SMA aku benar-benar bahagia saat itu." Papa tersenyum sebentar.
"Maaf karena Papa sudah memaksakan keinginan Papa padamu"