Kebetulan, Lynch pria berusia separuh abad itu sedang bersantai di sofa ruang depan. Itu sebabnya kedatangan putri dan anak asuhnya langsung tertangkap oleh mata.
"Papa pikir, kamu saja yang pulang, Nak. Duduklah!" sorot mata Lynch menyiratkan kebahagiaan. Dia selalu merindukan putrinya yang keras kepala. Berharap jika Sherin kembali ke rumah dan tinggal lagi bersama mereka.
"Aku ikut pulang karena ada yang ingin kami bicarakan dengan Papa," sahut Edzhar. Sama sekali tidak ada keraguan. Tangan Ed menarik pergelangan Sherin agar mereka juga ikut duduk di sofa.
Lynch melihat pegangan anak asuhnya di tangan Sherin. Hanya sekilas saja, tetapi membuat hatinya bertanya-tanya.
"Apa yang ingin kalian bicarakan? Sepertinya serius sekali," tanya Lynch. Tetap tenang meski hatinya bergejolak. Ingin segera mendengar kejujuran dari mereka. Pasalnya, tidak pernah Edzhar memegang tangan putrinya tanpa penolakan.
"Pa," lirih Sherin. Begitu takut untuk melihat sang Papa. Sherin hanya bisa menundukkan kepala. Menatap paha sendiri seraya meremas jemari yang mulai basah.
"Iya. Apa yang ingin kalian sampaikan pada Papa? Apa kamu sudah bersedia menjadi CEO?" tebak Lynch, namun putrinya itu menjawab dengan gelengan kepala.
"Lalu?" Lynch melihat jemari Sherin yang diremas sejak tadi. Menunggu jawaban dari putrinya yang tak kunjung dia dapatkan.
"Kami ingin menikah, Pa." Suara tegas dan jelas dari Edzhar membuat Lynch melihat ke arahnya. Penuh dengan tanda tanya. Sementara Sherin yang duduk di sampingnya hanya melihat ke wajah Edzhar. Ingin menolak, namun lidah tak sanggub untuk berbicara.
"Menikah?" Lynch begitu terkejut. Bagaimana bisa dua orang yang selalu berselisih paham tiba-tiba menikah. Selama ini Sherin selalu melemparkan senjata permusuhan kepada anak asuhnya.
"Iya Pa. Aku akan menikahi Sherin. Dengan begitu, dia akan menjadi CEO di Lynch Company."
Sherin membulatkan kedua matanya. Tidak percaya aka napa yang diucapkan oleh Edzhar. Mereka tidak menyepakati hal itu. Membahas saja tidak.
"Apa benar seperti itu, She?" Lynch mencari kebenaran dari putri kandungnya. Dua hal yang tidak masuk akal. Sherin menikah dengan Edzhar dan setuju untuk menjadi CEO. Dua hal yang paling Sherin benci.
Sherin ingin berteriak membela diri. Lidahnya ingin memaki Edzhar saat itu juga. "Bagaimana bisa dia memanfaatkan keadaan hanya untuk menjadikanku CEO?" batin Sherin protes.
"She," panggil Lynch lagi.
"I-iya Pa," jawab Sherin reflek. Bukan itu jawaban yang ingin dia berikan.
"Huft!" Lynch mengembuskan napas. Ada kelegaan di hatinya. Sherin akan menjadi CEO, Ed akan berubah status dari anak asuh menjadi menantu. Tentu saja Lynch curiga. Tidak bertanya, adalah pilihan terbaik untuk saat ini
Lynch berdiri dan langsung menghampiri putri bungsunya itu. "Terima kasih, Nak. Akhirnya kamu memenuhi permintaan Papa." Lynch terharu sampai meneteskan air mata. Putri keras kepalanya sudah kembali.
"Papa menangis?" tanya Sherin. Dia melonggarkan pelukan dan melihat cairan benih membasahi wajah Lynch.
"Papa sangat bahagia sayang. Lalu, kapan kalian akan menikah? Apa kalian sudah memilih tempatnya?" Lynch melihat wajah Sherin dan Ed secara bergantian.
"Secepatnya Pa," sahut Ed.
"Di mana?" Lynch ingin tahu. Dia sangat mengenal putrinya. Pasti Sherin menginginkan pernikahan mewah bak putri raja.
"Tempatnya, biar She saja yang mengatur." Edzhar tahu ini pernikahan dadakan. Untuk itu dia mengizinkan Sherin melakukan apa pun yang calon istrinya itu ingin lakukan.
Edzhar memiliki penilaian yang sama. Pastilah Sherin memilih tempat mewah. Jika perlu disiarkan di televisi dan media sosial.
"Aku ingin menikah di Bali saja. Tidak perlu mengundag banyak orang. Aku tidak ingin pernikahan mewah. Sederhana saja sudah cukup," terang Sherin.
Jawaban Sherin membuat dua pria dewasa di depannya melongo. Masih tidak percaya jika keinginan itu keluar dari seorang Sherin Naomi Lynch. Seorang wanita yang hobi menghabiskan uang orangtua.
"Kamu tidak menginnginkan pesta yang mewah? Papa lebih dari sanggub untuk melakukannya," tanya Lynch. Ini seperti mimpi di siang bolong saja.
"Tidak Pa. Acaranya pun hanya boleh dihadiri oleh keluarga dan teman dekat saja. Aku ingin pernikahanku lebih private. Bukan kah sudah menjadi trend di zaman sekarang?"
Bagi Sherin, ini adalah bencana. Lupakan pernikahan bak tuan putri. Selain menikah, dia juga harus menjadi CEO. Itu artinya, Sherin harus melupakan impiannya menjadi pelukis seperti mendiang mama.
***
Edzhar kembali ke kemarnya. Merebahkan diri untuk menghilangkan kepenatan di kepala. Pernikahan apa ini? dia tidak pernah mencintai Sherin. Baginya, Sherin hanyalah gadis kecil yang dulu dia temani bermain saat masih kanak-kanak. Di dalam hati Edzhar, sudah terukir sebuah nama.
Ed mendengar suara pintu terbuka. Dilihatnya Sherin masuk, lalu mengunci kamarnya dari dalam. Wanita itu mendekat. Siap untuk menerkam dirinya.
"Kenapa kamu mengatakan itu semua? Aku tidak pernah mau menjadi CEO. Jangan pikir karena aku setuju untuk menikah, kamu bisa bertindak seenaknya. Siapa yang mengizinkan kamu untuk menentukan jalan hidupku? Aku semakin membecimu, Ed."
Sherin mengeluarkan kekesalannya. Tidak cukup dengan kata-kata. Dia memukul tubuh Ed yang sedang berbaring. Belum puas, akhirnya dia menangis. Meluapkan kemarahannya dengan air mata.
"Aku sangat membencimu, Ed." Pukulan Sherin di dada Ed semakin melemah. Dia terisak. Hidupnya benar-benar kacau hari ini. kesalahan satu malam sudah merusak dua impian besarnya. Menikah bak tuan putri dan menjadi pelukis terkenal. Hanya itu yang dia inginkan selama ini.
Ed meraih tangan Zerine. "Aku minta maaf. Kamu boleh memukulku, memakiku, atau apa pun yang ingin kamu lakukan. Terserah kamu. Luapkan semua kekesalan kamu padaku." Edzhar berusaha menenangkan hati Sherin yang kacau.
"Satu hal yang aku inginkan saat ini," sahut Sherin di tengah-tengah isak tangis yang masih tersisa.
"Apa?" tanya Edzhar polos.
"Aku ingin membunuhmu sekarang."
Edzhar tidak takut sama sekali. Justru dia merasa lucu. "Kalau kamu membunuhku, maka Sherin Naomi akan menjadi janda sebelum menikah," ucap Ed membuat dirinya tertawa membayangkan hal itu. "Pasti itu sangat lucu. Kira-kira apa kata teman kamu ya," goda Edzhar.
Sherin semakin kesal. Di saat dirinya serius, Edzhar justru bercanda. Ed bangun dari posisinya. Dilihatnya wajah Sherin. "Aku tidak akan bertindak tanpa memikirkan kamu. Dengan kamu menjadi CEO, akan lebih mudah untuk kamu membuka galeri lukisan. Papa pasti mengizinkannya." Edzhar pun menceritakan maksud perkataannya saat berbicara dengan calon mertua.
"Apa bisa begitu?" kening Sherin berkerut dalam. Sejak kapan CEO dan gallery bisa disambungkan.
"Bisa. Aku pasti akan membantu kamu untuk melakukannya. Jadi, keinginan Papa untuk menjadikan kamu CEO tercapai, impian kamu memiliki galeri lukisan pun mendapatkan izin dari Papa."
Mendapat penjelasan seperti itu, kemarahan Sherin hilang begitu saja. Dipeluknya tubuh Edzhar. "Terima kasih, Ed." Untuk pertama kalinya Sherin mengucapkan terima kasih pada calon suaminya.
Edzhar tersenyum tipis. Ini sudah keputusannya. Segala resiko akan diterima. Termasuk melepaskan nama wanita yang terpatri dalam hatinya.