"Aku tidak percaya wanita sepertimu yang akan memberikan keturunan untukku."
Satu yang ada di pikiran Areva saat ini bahwa pria yang baru saja berbicara di depannya itu sudah kehilangan akalnya.
Kenapa dia pikir Areva akan memberikan keturunan untuknya?
Areva benar-benar tidak tahu harus memberikan komentar macam apa. Ia bahkan tidak tahu apakah ia boleh membuka suaranya.
Semuanya terjadi begitu cepat untuknya. Ia tengah menyajikan teh untuk sang kepala pengawal kerajaan ketika tiba-tiba saja pria itu berteriak histeris ketika melihatnya.
Atau lebih tepatnya ke arah tangannya yang memiliki sebuah tanda lahir.
Ia akui kalau tanda lahirnya cukup menarik perhatian, tapi harusnya tidaklah begitu hebatnya hingga membuat orang sampai berteriak ke arahnya.
Sempat Areva berpikir bahwa ia ketakutan karena mengira bahwa tandar lahirnya itu adalah penyakit kulit mematikan atau menular yang mungkin saja bisa berbahaya untuk siapa saja yang berada di dekatnya. Namun, Areva sadar bahwa bukan itu alasannya ketika dirinya ditarik begitu saja untuk mengikuti kepala pengawal itu dan di sinilah dia sekarang.
Ia tengah berada di ruangan asing yang bahkan tidak pernah ia tahu akan keberadaannya. Di ruangan itu, ada seorang pria yang jika ia lihat-lihat, memilliki usia tidak berbeda jauh dengan sang kepala pengawal yang mungkin saja merupakan temannya. Bukan hanya karena ia merupakan orang baru di istana itu, tapi juga karena ia hanyalah pelayan rendahan yang tidak boleh berkeliaran sembarangan semaunya.
Areva duduk bersimpuh di tengah-tengah lantai. 2 pria itu berdiri di depannya. Tangannya memegang baki yang dibawanya tanpa sengaja dengan erat. Ia benar-benar bingung dengan apa yang tengah terjadi.
Ia tidak ingat pernah berbuat kesalahan fatal sampai membuatnya harus dibawa dan seperti akan diadili.
"Baginda, percayalah padaku. Dia memang wanita dalam ramalan itu." Si kepala pengawal itu berbisik, tapi sayangnya Areva bahkan masih bisa mendengar apa yang dikatakannya.
Baiklah, ada beberapa hal yang perlu diluruskan di sini. Pertama, ramalan apa yang dimaksud dan yang kedua, apa tadi katanya? Baginda?
Baginda Raja?
Areva membelalakkan matanya. Pria yang berada di sebelah kepala pengawal itu merupakan sang Raja?
Benar-benar gila.
Areva yang begitu berani untuk menatap langsung mata pria yang ternyata raja itu seketika langsung menunduk dalam-dalam. Tidak lagi ia berani untuk menatap pria itu, tiba-tiba merasa sangat kecil dan tidak berdaya.
Gila karena pertama, Areva tidak menyangka jika ia memiliki kesempatan untuk bertatap muka langsung dengan orang nomor 1 yang ada di Atveria. Dan kedua, kenapa Raja Atveria bisa tidak setua bayangannya?
Tidak ada yang salah dengan menjadi seorang raja di usia muda, hanya saja ini benar-benar di luar imajinasinya selama ini.
Kalau ia tahu bahwa Areva telah diam-diam mengatainya tidak waras dalam hati, mungkinkah Areva akan kehilangan kepalanya saat itu juga?
"Kemarikan tanganmu."
Begitu sibuk akan pikirannya sendiri dari tadi, membuatnya sedikit tersentak ketika mendengar suara sang Raja yang mampir ke pendengarannya.
Areva angkat kepalanya dengan perlahan, melihat ke arah sang Raja yang telah berdiri dengan begitu dekat dengannya entah sejak kapan.
Areva tahu ia tidak punya hak untuk menolak perintah sang Raja, maka ia ulurkan kedua tangannya yang dengan cepat segera dicengkeram dengan kuat, membuatnya menggigit bibir guna menahan sakit.
Tidak ada yang spesial dari tangan miliknya, menurutnya. Hanya ada sebuah tanda lahir berbentuk mirip bulan sabit berwarna biru yang begitu kecil di bagian pergelangan tangannya. Selebihnya, tidak ada yang menarik sama sekali.
Sedari tadi, Areva menunduk. Sama sekali tidak berani ia untuk mengangkat kepalanya lagi.
"Buka bajumu."
Kini Areva tidak bisa mencegahnya lagi. Kepalanya terangkat dengan bgeitu cepat, lebih cepat dari petir yang menyambar, ketika mendengar ucapan itu.
Seolah tahu bahwa ia akan menolak, dengan cepat sang Raja mendahuluinya. "Aku sama sekali tidak tertarik padamu dan aku tidak akan menyentuhmu. Aku hanya ingin memastikan sesuatu."
Menurut Areva, kemampuan sang Raja dalam membujuknya sangatlah payah karena kenapa ia berpikir bahwa Areva akan percaya begitu saja pada ucapannya yang sejatinya merupakan seorang pria, makhluk Tuhan yang paling tidak bisa dia percayai.
Melihat Areva yang tidak kunjung melaksanakan perintahnya, sang Raja kembali membuka suara. "Percayalah, aku bisa melakukannya sendiri, tapi aku jamin kau tidak akan mau jika sampai aku yang melakukannya."
Ia harus akui bahwa walau bujukan sang Raja itu tidak mempan, tapi ancamannya itu jelas memiliki efek yang berbeda dan seketika membuatnya menyerah pada pertahanannya.
Areva menurunkan sedikit bajunya, memperlihatkan lehernya, lalu turun hingga memperlihatkan bahunya. Ia sudah akan menurunkannya lebih jauh lagi, sebelum sang Raja menghentikannya dengan mengangkat tangannya ke udara.
"Aku hanya ingin melihat bahu kirimu."
Benar, bukan hanya tangan kanannya, tapi bahu kirinya juga memiliki sebuah tanda lahir yang anehnya juga memilliki bentuk dan warna yang sama. Kenapa sang Raja ini bisa tahu bahwa ada sesuatu di sana?
Sang Raja dan kepala pengawal itu memperhatikan tanda lahir miliknya. Areva tidak bisa untuk tidak merasa malu karena diperhatikan sampai sebegitunya.
"Tanda lahir berbentuk bulan dan berwarna biru di pergelangan tangan kanan dan di bahu kiri. Semuanya sesuai bukan, Baginda?"
Areva mendengar semua itu sambil menaikkan kembali pakaiannya secepat yang dia bisa setelah 2 pria itu pergi sedikit menjauh darinya.
"Kau tahu kenapa kau ada di sini?"
Areva menggeleng.
"Kau tahu kenapa kami begitu tertarik pada tanda lahir milikmu?"
Kembali Areva menggeleng.
"Kau mungkin mengira ini semua konyol, tapi percayalah bahwa aku pun menyangka hal yang sama, sampai akhirnya aku bertemu denganmu." Areva diam, ia tahu bahwa sang Raja masih belum menyelesaikan ucapannya.
"Kau adalah si wanita dalam ramalan. Yang akan memberikanku keturunan demi kelangsungan kerajaan ini."
Areva berusaha mencerna ucapannya, tapi ia tidak bisa.
Sang Raja mendekat ke arahnya. Terlalu dekat hingga dahi mereka bahkan hampir saling bersentuhan karenanya. "Berikan keturunan untukku dan akan kuberikan apa pun yang kau inginkan sebagai imbalannya."
Areva berharap akan ada yang menampar pipinya dan berkata bahwa semua ini hanyalah mimpi buruknya semata.