Bayi adalah akar dari segala masalah yang kini menimpa Fielle, setidaknya menurutnya seperti itu.
"Menurutmu, apa aku harus benar-benar menidurinya?"
Fielle membuka suaranya, meminta saran dari sang kepala pengawal kepercayaannya yang masih setia berdiri di depannya, menatapnya dengan raut wajah penuh keseriusan.
"Ini adalah satu-satunya cara, Baginda."
Klise.
Benar-benar jawaban klise yang sudah sering diberikan padanya selama beberapa waktu belakangan sampai membuatnya sendiri kebosanan mendengarnya.
Fielle tidak tahu bahwa bayi, anak, atau keturunan, bisa membawa masalah yang begitu serius dalam hidupnya.
Semua hal gila ini mau tidak mau membuatnya kembali jadi teringat pada bagaimana hidupnya dulu.
Ia menjalani hidupnya dengan baik, terlalu baik malah menurutnya sampai membuat orang lain di belahan bumi mana pun yang melihatnya pasti merasa iri.
Fielle lahir sebagai pangeran mahkota Atveria yang ditakdirkan untuk menggantikan posisi sang ayah dan hal itu sudah terjadi padanya. Ia memang sudah menikmati semua kenikmatan yang bisa hidup berikan padanya dengan murah hati, tapi menjadi raja adalah sesuatu yang besar dan begitu berbeda dari apa yang pernah terjadi dalam hidupnya sebelumnya.
Naik tahkta menjadi raja membuat Fielle merasa ia tengah berada di puncak kejayaannya selama ia hidup di dunia ini.
Ia menjadi orang nomor 1 di Atveria. Ia dielu-elukan, semua orang menunduk hormat dan tidak berani meragukannya. Fielle juga memiliki seorang ratu cantik yang setia berada di sisinya.
Sampai suatu hari, ia tahu bahwa memang kehidupan tanpa rintangan dan masalah itu tidak ada.
Untuk ukurang seorang raja sepertinya pun, masalah tidak akan pilih-pilih sasaran dan akan dengan senang hati mampir dalam hidupnya.
Ini dimulai ketika setelah bertahun-tahun menikah dengan sang Ratu, tidak ada tanda-tanda bahwa akan ada keturunan yang hadir di antara mereka berdua. Hal ini sedikit banyak membuat harga diri Fielle, tidak hanya sebagai seorang raja, tapi juga sebagai seorang pria sejati, terluka dibuatnya.
Ia dan ratunya memeriksakan diri dan sang tabib istana yang merupakan tabib terbaik di Atveria pun angkat tangan, tidak bisa menemukan masalah berarti. Sang tabib hanya membuatkan berbagai ramuan herbal yang rajin mereka konsumsi walau pada akhirnya tetap tidak membuahkan hasil berarti.
Puncaknya adalah ketika sang Ratu memutuskan untuk pergi dari Atveria, pergi dari pelukan suaminya sendiri. Ia tidak sanggup kalau harus menjalani pernikahan dengan seorang pria yang dianggapnya mandul, meninggalkan Fielle dalam jurang keterpurukan.
Sayangnya, menurut Fielle, itu bukanlah bagian terburuknya.
Bagian terburuknya adalah ketika sang peramal kerajaan berkata bahwa dirinya hanya bisa mendapat keturunan dari wanita terpilih yang sayangnya wanita itu bukanlah ratunya sendiri.
"Ini gila," gumam Fielle yang kemudian berdiri mendekat ke arah jendela besar yang ada di ruangannya.
Hujan deras tiba-tiba turun mengguyur Atveria. Fielle bisa melihat bagaimana langit yang terlihat begitu gelap dengan setiap tetes airnya yang turun dengan setia dan tampaknya tidak akan berhenti untuk sementara waktu.
Fielle ingat dengan jelas bagaimana marahnya ia kala mendengar apa yang dikatakan sang peramal waktu itu. Ia hampir menjatuhkan hukuman mati jika saja para menterinya tidak berhasil menenangkan dirinya.
Fielle merasa kepalanya akan pecah jika hanya dirinya yang harus memikirkan tentang semua solusi dari masalah ini. Jadi, sambil memijit keningnya, dia berucap, "Draven, kumpulkan semua menteri di Aula Utama."
"Baik, Baginda." Draven, si kepala pengawal, menundukkan sedikit kepalanya lalu segera pergi dari sana, melaksanakan perintah rajanya.
**
"Draven telah berhasil menemukan si wanita dalam ramalan itu."
Kasak-kusuk langsung terdengar begitu ia selesai mengucapkan kalimatnya. Telinganya semacam dipenuhi oleh dengung lebah karena bisik-bisik para menterinya.
Ia tidak suka berbasa-basi dan langsung mengatakan berita yang ia punya kepada para menterinya yang harusnya merasa senang, mengingat betapa mereka terus mendesaknya untuk bisa segera menemukan wanita yang akan memberikan keturunan untuk kelangsungan kerajaannya itu.
Ia perhatikan raut wajah setiap menterinya yang menjadi lebih cerah dari yang belakangan ini dilihatnya.
Ia sadar bahwa selain dirinya, para menterinya juga sibuk memikirkan tentang masalah keturunan ini.
"Selamat, Baginda! Itu berarti Atveria tidak lagi berada dalam bahaya. Garis keturunan raja akan terus berlanjut!" Salah satu menteri berkata padanya sambil tersenyum lebar.
Namun, dengan cepat senyumnya itu luntur ketika tidak mendapati hal yang sama dari raut wajah sang Raja.
Walau tidak ada cermin, tapi Fielle tahu bahwa ekspresinya terlampau masam. Membuat siapa saja yang melihatnya pasti akan mengerutkan kening, bertanya-tanya beban hidup macam apa yang harus dipikulnya.
"Siapakah wanita itu, Baginda?"
Fielle tidak yakin rasa senang yang mereka rasakan akan bertahan lama jika tahu siapa wanita dalam ramalan itu. Dia mengangkat tangan, menginstruksikan Draven agar dia yang menjelaskan semuanya.
"Wanita itu adalah salah satu pelayan di sini."
Raut wajah terkejut terlihat jelas. Fielle sudah menduga ini. Menurutnya, para menterinya begitu naif jika mengira bahwa wanita yang bisa memberikannya keturunan pastilah berasal dari kalangan atas.
Hidup sudah mempermainkannya sejauh ini. Jadi, kenapa tidak mempermainkannya lebih lanjut lagi dengan membuatnya harus meniduri seorang wanita yang memiliki status begitu rendah?
"Apa Baginda yakin wanita itu orangnya?" Pertanyaan tersebut ditanyakan dengan begitu hati-hati, tidak ingin menyinggung sang Raja.
"Ia memiliki tanda lahir seperti yang sudah Si Peramal sebutkan. Kau ingin bilang aku memilki penglihatan yang buruk sampai-sampai bisa salah mengenali?"
Menteri yang bertanya padanya tadi seketike menunduk. "Hamba tidak berani, Yang Mulia."
Ia sudah memberi tahu para menterinya, kini tinggal dirinya. Tindakan macam apa yang akan diambilnya.
Fielle tidak bisa egois. Ini bukan lagi hanya tentang dirinya atau cinta yang dimilikinya untuk sang ratu. Ini tentang kerajaannya, rakyatnya. Jadi, walaupun hatinya merasa kepahitan karena sadar ia harus berhubungan dengan wanita yang sama sekali tidak dicintainya, inilah yang harus ia lakukan sebagai satu dari banyak kewajibannya.
Ia sudah bersedia melakukannya, tapi bagaimana dengan wanita itu?
Yang perlu dipikirkannya sekarang adalah bagaimana agar wanita itu bersedia untuk tidur dengannya.