"Raja Fielle itu mandul atau bagaimana? Kenapa belum memiliki keturunan juga?"
"Raja itu tidak mandul, tapi sepertinya dikutuk."
"Ia hanya bisa mendapat keturunan dari seorang wanita terpilih. Peramal kerajaan sendiri yang berkata seperti itu!"
"Pantas saja ia ditinggal pergi oleh ratunya. Kasihan sekali."
Areva berusaha untuk bisa fokus pada pekerjaannya walau sebenarnya menggosok pot bunga yang ada di halaman istana bukan merupakan sesuatu hal yang membutuhkan konsentrasi berlebih untuk dikerjakan.
Ia hanya tengah mencari-cari alasan agar tidak perlu mendengar bagaimana pelayan lain yang tengah bergosip tentang sang Raja dan si wanita yang konon merupakan satu-satunya di dunia ini yang bisa memberikannya keturunan.
Karena wanita itu adalah dirinya.
Benar-benar tidak menyenangkan rasanya saat tahu bahwa dirinya dibicarakan di belakangnya seperti itu.
Ini semua memang seperti mimpi untuknya. Setiap kali ia memiliki kesempatan, ia akan memukul pipinya sendiri dengan sedikit kuat, berharap apa yang dilakukannya akan menyadarkannya dari segala mimpi buruk ini.
Ia tidak punya pilihan lain selain melakukannya sendiri karena tidak akan ada yang mau melakukannya untuknya. Dan ia juga akan dianggap hilang akal nantinya.
Yang benar saja, pikir Areva. Ia bahkan tidak sengaja bisa masuk ke istana sampai menjadi pelayan, tapi kini ia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa ia harus memberikan keturunan demi garis keturunan raja agar tidak punah?
"Hei, Areva!" Areva berjengit di tempatnya ketika mendengar namanya diteriakkan dengan begitu keras.
Ia lihat Mora, si kepala pelayan, yang berteriak. Matanya menatap nyalang ke arahnya seolah ia baru saja melakukan dosa besar. Padahal yang sedari tadi ia lakukan adalah membersihkan setiap pot bunga hingga bersih dan cantik dipandang mata.
"Jangan melamun dan cepat lakukan pekerjaanmu! Masih banyak pot yang harus kau bersihkan!"
Ia tidak menjawab, tapi ia langsung melaksanakan apa yang baru saja Mora katakan padanya. Wanita tua itu pernah beberapa kali memukul kakinya dengan tongkat hingga lebam dan ia tidak ingin hal yang sama kembali terulang.
Pikirnya juga, tak ada gunanya untuk melamun dan memikirkan tentang masalahnya dan raja.
Tunggu.
Itu mungkin masalah raja, tapi bukan masalahnya.
Sial sekali bagi Areva karena di saat ia sudah tidak lagi memikirkan apa-apa, tapi hanya pada tugas yang tengah dikerjakannya, konsentrasinya buyar kala mendapati sosok sang kepala pengawal.
Ia ingat dengan jelas bahwa pria itulah yang tempo hari tidak hanya menyeretnya tiba-tiba ke ruang baca milik sang Raja, tapi juga ke dalam lembah masalah.
Antara takut atau percaya diri berlebih, Areva buru-buru memutar tubuhnya, tidak ingin jika sampai wajahnya terlihat karena bisa saja ia datang kemari untuk menemuinya lagi.
Beberapa kali Areva sempatkan untuk melirik, ingin melihat apa yang si kepala pengawal lakukan. Keningnya mengerut ketika mendapatinya mendekati Mora lalu membisikkan sesuatu di telinganya yang membuat wanita tua itu terkikik sendiri.
Apa si kepala pengawal itu menyukai wanita yang lebih tua darinya?
Sepertinya tidak. Sepertinya ia menyukai wanita yang luar biasa lebih tua darinya.
"Semua! Tinggalkan pekerjaan kalian dan berkumpul di dapur!"
Tidak hanya Areva, tapi yang lain pun tampak heran mendengar perintah Mora. Walau begitu, mereka tetap menurut dan segera ke dapur sebelum Mora kembali berteriak dan memulai polusi udara di Atveria.
Mereka berdiri berbaris dan saling berbisik satu sama lain tentang alasan mengapa mereka dikumpulkan seperti ini, kecuali Areva.
Ia tidak memiliki teman di sana walau sudah beberapa lama bekerja, tapi itu tidak masalah. Ia sudah biasa sendirian.
Mora berjalan masuk kemudian bersama dengan si kepala pengawal di sampingnya. Areva yang berdiri paling ujung buru-buru menundukkan kepalanya, berharap ia akan jadi tampak tidak terlihat dengan melakukannya.
"Silahkan, Tuan Muda Draven." Mora berucap dan Areva bisa mendenganya dari tempatnya berdiri.
Harusnya Areva tidak perlu merasakan perasaan mencekam macam ini. Namun, entah mengapa ia tidak tenang setiap kali melihat si kepala pengawal yang baru dia ketahui bernama Draven itu berada dalam jarak yang begitu dekat dengannya.
Katakan saja bahwa firasatnya tidak pernah salah, tapi ia mengira bahwa Draven kemari untuk mencarinya.
"HA! KETEMU!"
Areva sontak mengangkat kepalanya dan melihat si kepala pengawal itu telah berdiri tepat di hadapannya dengan senyum di bibirnya yang tampak sedikit mengerikan di matanya.
"Aku mencari dia." Draven menarik tangan kanannya. "Siapa namanya?"
"Areva."
"Terima kasih, Mora! Kau yang terbaik!"
Itu adalah kalimat terakhir yang dilontarkannya sebelum membawanya pergi.
Lagi-lagi ke ruangan yang sama dan bertemu orang yang sama.
Harusnya Areva gigit saja tangan Draven agar melepaskannya dan ia bisa kabur, tidak perlu mengikutinya.
"Kau harusnya sudah tahu kenapa aku memanggilmu ke sini." Sang Raja membuka suaranya.
"Jadi, bagaimana dengan penawaranku tempo hari—"
Sang Raja menghentikan ucapannya begitu saja. Ia seolah tidak yakin dengan apa yang akan ia katakan selanjutnya.
Melihat itu, Draven yang ada di sebelahnya, mendekat lalu berbisik, "Namanya Areva."
"Jadi, bagaimana dengan penawaranku tempo hari, Areva?" Kini ia bisa menyelesaikan ucapannya.
Tahu namanya saja tidak, tapi malah ingin berani meminta anak darinya.
"Apa pun permintaanmu pasti akan kukabulkan sebagai imbalan asal kau mau mengandung anakku."
Areva harusnya tahu akan memberikan jawaban apa, tapi kini ia malah kesulitan untuk tidak merasa bimbang dan mulai terbujuk oleh iming-iming yang raja itu berikan padanya.
Ia beranikan diri menatap mata sang Raja.
Pikirnya, mungkinkah ia juga bisa mendapatkan bantuan darinya?