Chereads / Unrequited Love (Saka-Citra) / Chapter 10 - Tawaran Pernikahan

Chapter 10 - Tawaran Pernikahan

Melihat keterdiaman Citra, sang Nenek bisa menyimpulkan bahwa Citra kembali merasa rendah diri. Semenjak musibah itu datang, Citra memang kembali menjadi orang yang tidak memiliki kepercayaan diri penuh. Pengalaman pribadi kedua orang tua dan sejak pembuangan dirinya yang tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya membuat dirinya menjadi orang minder. Susah payah Nenek Sena membangun confidence dalam diri Citra. Bertahun-tahun berlalu dan berhasil membuat Citra tumbuh menjadi pribadi ceria. Tapi semua kembali hancur akibat kelumpuhan dirinya.

"Nek, jangan pernah bicara seperti tadi. Citra sungguh tidak apa-apa kok, Nek. Lagi pula, masalah jodoh… untuk saat ini jangan bahas itu dulu, Nek. Citra sadar diri kok sama kondisi Citra, jadi Citra tidak mau berharap banyak. Citra bisa mengurus diri sendiri. Percayalah, Nek!"

"Dengan kamu bekerja dan kembali mengalami kecelakaan lagi seperti sekarang ini? Nduk… Cuma kamu satu-satunya yang Nenek punya. Baiklah, Nenek tidak akan pernah bicara seperti tadi lagi. Tapi kamu juga harus menurut apa kata Nenekya! Jangan bekerja lagi, apa pun itu. Kita akan hidup berdua saja selamanya, ya!" Seakan tahu perasaan sang cucu, Nenek Sena pun mengalah dan berjanji tidak membahas tentang jodoh dihadapan gadis malang itu.

"Terima kasih, Nek." Taksa juga Adel ikut pilu menatap gadis yang berusaha menghapus air mata sang Nenek. Adel dan Taksa pun berjanji bahwa mereka berdua akan membantu Citra meraih kebahagiaannya. Taksa akan berusaha menyatukan cintanya bersama Saka.

Dalam keadaan haru biru, sebuah suara seseorang mengalihkan keempat orang yang ada di dalam. "Aku akan menikahinya," Semua orang menoleh ke sumber suara, ternyata orang yang beberapa menit menguasai isi kepalanya.

"Saka!" seru Taksa. Sedangkan Citra hanya bergeming dengan ekspresi terkejut bukan main. Bagaimana tidak? Dia yang dulu pernah menolak cintanya, tiba-tiba datang menawarkan pernikahan. Jelas ini tidak murni dari hatinya.

"Siapa kamu?" Tanya Nenek Sena.

"Saya laki-laki yang harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada cucu Nenek." Lugas, Saka bicara tanpa ragu sedikit pun.

"Jadi…?" Nenek pun melihat kearah cucunya meminta penjelasan. Citra yang merasa diperhatikan oleh perempuan renta di sampingnya hanya mengangguk. Meskipun Cuma anggukan, Nenek Sena sudah memahami bahwa pria itulah yang membuat sang cucu rela menjadi orang cacat selama ini. Nenek Sena kembali melempar pandangan ke Saka yang tidak berhenti menatap lekat Citra.

Adel bermain sebagai penonton di ruangan itu. Dia akan menjadi saksi atas ucapan Saka kali ini. Dengan mantap, Saka menapakkan kakinya memasuki ruangan dimana semua orang tengah berkumpul. Tanpa dipersilahkan duduk, dia sudah mendaratkan punggungnya di kursi yang berada di sisi lain Citra.

"Maafkan saya yang baru datang, kemarin-kemarin saya tidak memiliki keberanian untuk menemui Nenek. Saya juga tidak tahu jika Citra menjadi seperti ini karena sudah menyelamatkan saya. Tapi apa yang baru saja saya sampaikan itu serius, Nek. Saya ingin menjaga dan menemani Citra, saya ingin membantu Citra agar bisa berjalan kembali. Saya tidak akan membiarkan Citra melalui semua ini sendiri."

Kata-kata Saka membuat Citra speechlees seketika. Tidak ada kebahagiaan sama sekali dalam hatinya kala mendengar kalimat yang terlontar dari bibir tipis milik lelaki di sampingnya ini. Dia tahu, sangat tahu apa yang ada dalam isi hati Saka. Penolakan yang pernah dilakukan Saka setahun lalu belum terurai dari ingatannya. Bagaimana pria itu mengatakan jika dia benci terhadap dirinya, sedang saat dia minta penjelasan, Saka bungkam dan menutup mulutnya rapat. Sampai sekarang pun Citra tidak tahu apa yang menjadi penyebab dia dibenci oleh Saka.

Lalu hari ini, tiba-tiba datang membawa sebuah pernyataan yang pasti membuat semua orang tercengang. Tidak, Citra tidak ingin terluka lagi. Semua yang dilakukan Saka pasti atas dasar rasa kasihan, bukan tulus karena dia mencintai Citra. Gadis itu menunjukkan wajah datarnya, semua orang bisa melihat itu.

Saka yang melihat perubahan di raut muka Citra, segera meminta ijin pada orang yang berada di sana untuk bicara empat mata saja dengan Citra. Dia akan berusaha membujuk Citra agar mau menikah dengannya. Entah pernikahan macam apa yang terjadi nanti, Saka akan pikirkan belakangan. Yang terpenting sekarang, dia harus bertanggung jawab pada Citra dan membantunya untuk sembuh kembali seperti sedia kala. Dengan begitu, dia tidak akan dihantui oleh rasa bersalah dan hutang nyawa dari gadis tersebut.

"Maaf Nek, bolehkah saya bicara secara pribadi berdua saja dengan Citra?"

Taksa dan Adel saling pandang, lalu terlempar ke depan tertuju pada Citra dan Nenek Sena. Sedangkan Nenek Sena memandang sang cucu sendu. "Bagaimana, Nduk? Kamu mau bicara empat mata dengan dia?" sejenak, Citra tidak memberikan respon apa pun. Tapi di menit berikutnya Citra menghembuskan nafas kasar sebelum mengangguk.

Dengan senyum yang dibuat seramah mungkin, Saka mendorong Citra keluar menuju halaman yang ada di samping rumah. Pemandangan di taman buatan rumah Citra tak kalah dengan yang ada di depan dekat gerbang. Berbagai tanaman berbunga cantik terpampang menghiasi pemandangan mata. Ada mawar, Babybreath, juga Lili. Tak ketinggalan juga berbagai tanaman hias seperti bongsai cemara di beberapa sisi menambah keindahan taman. Jangan lupakan rumput Jepang sebagai alas taman tersebut. Meski tidak sebesar di rumah Saka, namun tempat dimana Citra tinggal benar-benar asri dan nyaman.

"Kita menikah. Aku akan menjagamu dan selalu di sampingmu. Tak akan kubiarkan kamu menjalani semuanya sendiri," ujar Saka membuka percakapan setelah beberapa menit hanya keheningan yang mereka ciptakan.

"Aku rasa tidak perlu, Kak. Aku bisa mengatasi masalah hidupku sendiri. Terima kasih atas tawarannya." Saka sontak menoleh pada gadis di sebelahnya.

"Apa yang kamu pikirkan? Kamu tidak bisa hidup sendiri, kamu hanya akan menjadi beban buat Nenekmu. Apa kamu tidak merasa kasihan pada Nenek? Dia yang seharusnya dirawat karena usianya, tapi ini malah sebaliknya. Apa kamu tidak merasa kasihan padanya?"

"Sebenarnya apa tujuan, Kakak? Bukankah Kakak membenciku? Lalu kenapa tiba-tiba datang mengucapkan kata-kata yang membuatku heran dan tidak percaya? Jika Kakak hanya ingin menikahiku untuk rasa bersalah dan bertanggung jawab saja, sebaiknya jangan. Aku tidak meminta pertanggung jawaban darimu. Jika kamu merasa aku merepotkan Nenek, menurutku itu jauh lebih baik dari pada aku merepotkan Kakak yang hanya orang asing dan mungkin tidak ada kasih sayang yang tulus darimu untukku. Setidaknya, tanpa syarat apa pun, Nenek sudi merawatku dengan cinta dan kasih sayangnya. Dan itu cukup bagiku. Aku tidak masalah dengan keadaanku yang seperti ini, ku anggap semua adalah ujian hidup yang harus aku lalui. Terima kasih sekali lagi karena Kakak sudah sudi menawarkan kebaikan untukku."

Tidak mau menunggu balasan dari lawan bicara yang tengah mengaduk emosinya, Citra segera berlalu dengan mendorong roda hendak meninggalkan Saka sendirian. Sebelum benar-benar berlalu, Saka lebih dahulu mencekal tangan Citra. Menghentikan pergerakan gadis itu untuk tetap tinggal. Citra pun melihat tangan kekar yang masih setia mencengkram lengannya dengan alis terangkat.

"Ada apa lagi?" Tanya Citra tanpa mengalihkan tatapannya.

"Beri aku kesempatan untuk menebus kesalahanku padamu."