Suara deretan pintu kamar Citra terbuka. Saka tertegun mendengar merdunya intonasi Citra kala melantunkan surah-surah dari kitab suci Al-Qur'an. Lelaki itu kira, Suci tidak begitu mengenal agama, namun hari ini dia dibuat tidak percaya dengan apa yang ia lihat di depan matanya.
Ternyata memang benar, penampilan luar tidak mencerminkan pribadi orang itu sendiri. Jangankan gamis syar'i, kerudung modern pun tidak. Tapi siapa sangka, gadis itu begitu merdu nan indah ketika membaca tulisan-tulisan Arab yang berada di kitab kebanggaan umat muslim sedunia.
Meskipun sadar ada orang memasuki kamarnya, tak lantas membuat Citra menghentikan kegiatannya. Dia masih khusuk dengan buku di tangannya hingga selesai satu surah. Usai menutup buku kecil, Citra menengadah ke samping melihat seseorang yang sudah duduk manis menanti dirinya.
"Ada apa lagi? Ini sudah malam, tidakkah kamu akan kembali ke rumahmu?" Tanya Citra datar.
"Aku kembali setiap jam sepuluh malam dan memastikan kamu sudah istirahat," jawab Saka santai.
"Aku bukan anak kecil yang harus ditimang dulu atau dibacakan buku cerita lebih dahulu sebelum memejamkan mata. Aku rasa niatanmu terlalu berlebihan."
"Aku sudah mendapat ijin dari Nenek juga Rt setempat. Aku pun sudah mendapatkan kesepakatan hari untuk menikah. Besok aku dibantu Taksa untuk mengurus segala urusan dan melengkapi berkas-berkas pernikahan kita. Jadi bersiaplah, beberapa hari kedepan hingga menjelang hari H, sudah pasti kita disibukkan sama semua persiapan wedding kita." Citra mengernyit heran, bagaimana bisa mereka memutuskan tanpa mau berdiskusi terlebih dahulu dengan dirinya sampai keputusan benar-benar diambil atas dasar kesepakatan bersama.
"Apa kalian tidak menganggap diriku ada? Pernikahan bukanlah permainan, semua harus dimusyawarahkan bersama dengan orang yang bersangkutan yaitu aku. Lalu bagaimana bisa kalian mengambil keputusan sepihak begini? Kalian anggap apa aku sebenarnya? Kakak menolakku waktu itu, bahkan baru kemarin pun kamu masih menunjukkan bagaimana besarnya rasa bencimu padaku. Dan sekarang…?" Citra tidak sanggup lagi menahan laju air mata. Dadanya sesak karena dipermainkan oleh semua orang. Mereka tidak memikirkan perasaan Citra, dan yang paling tidak bisa dimengerti adalah sang Nenek. Begitu menggebunya beliau menginginkan Citra memiliki pendamping.
"Ini semua demi kebaikanmu dan Nenek. Terima saja apa pun yang sudah digariskan untukmu dan…."
"Dan tentu bukan bagimu. Ini bukan demi kebaikanmu, Kak. Aku sangat tahu kamu akan tertekan bila sampai aku menikah denganmu. Rasa bencimu pasti membuatmu tak nyaman berada di dekatku. Apa lagi jika kita menikah? Apa yang terjadi di masa depan? Bisakah kita tetap terjaga dalam satu ikatan bernama pernikahan, atau bahkan mungkin…." Citra tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Suaranya seakan tercekat di kerongkongan tanpa mampu dikeluarkan lagi. Jangankan mengucap kata-kata laknat yang memang dibenci oleh Allah, membayangkan masa depan yang sepertinya akan suram sudah membuatnya takut. Citra tahu bila pernikahan tanpa cinta hanya berakhir dengan kesakitan semata. Sama seperti halnya kedua orang tua Citra.
"Bercerai," jawab Saka. Namun hanya dia ucapkan dalam hati. Memang dia sudah memprediksi, bila selama pernikahan dia tidak juga jatuh cinta atau di restui oleh sang Mama, maka perceraianlah sebagai jalan terbaik. Yang terpenting sekarang adalah, mereka menikah lalu Saka bertanggung jawab sepenuhnya atas diri Citra untuk dirawat baik fisik maupun materi.
Sang Nenek tadi siang bercerita bahwa, sering kali Citra terjatuh dari kamar mandi karena kesulitan untuk melakukan aktifitas di dalam. Tentu saja hal itu meningkatkan tekad mengurus Citra luar dalam. Jika hubungan mereka halal, maka tidak akan berdosa apabila Saka menyentuh dalam keadaan apapun.
"Jangan berpikir terlalu jauh. Apa kamu tidak berharap selama pernikahan nanti aku bisa jatuh cinta padamu dan pernikahan kita langgeng? Bagiku yang terpenting sekarang adalah kamu mencintaiku. Itu sudah lebih dari cukup sebagai pondasi berumah tangga. Dengan saling percaya, aku yakin kita bisa menjalani pernikahan kita sampai tua nanti," dusta Saka namun terlihat begitu meyakinkan. Tidak mungkin dia akan mengatakan tujuan sebenarnya. Saka bahkan tidak memberi kabar tentang rencana ini kepada sang Mama. Jika dia jujur dan mengutarakan niatannya menikahi seorang gadis yang tidak pernah dia perkenankan hadir dalam hidup putranya, sudah pasti akan menolak mentah-mentah niat Saka.
Dia mencintai ibunya, lebih dari apa pun. Apa lagi mengingat bagaimana dulu perjuangan Saka bersama sang Mama. Tidak akan pernah ada yang bisa menyembuhkan luka tersebut. Luka seorang anak laki-laki bersama wanita lemah, pontang panting mencari makan serta tempat berlindung dari panasnya terik dan hujan. Menahan lapar juga dahaga karena keterbatasan ekonomi yang membuatnya harus menjalani kehidupan teramat berat di dunia ini.
"Ck, aku tidak yakin sama apa yang baru saja aku dengar," ujar Citra meremehkan.
Saka menghela nafas, dia harus bersabar menghadapi perempuan di depannya ini. "Terserah, paling penting sekarang kita menikah. Intinya disitu, mau tidak mau, suka tidak suka pernikahan tetap akan berlangsung. Mau kamu menolak seperti apapun, hubungan baru akan terjalin diantara kita." Satu tarikan nafas lagi, Saka melanjutkan, "Kamu ingin tetap memakai kain itu atau ganti baju? Kita sudah ditunggu oleh Nenek untuk makan malam bersama."
Kesal, jengkel, ingin sekali mematahkan rahang pria tegap penuh pesona itu, namun apa daya dia tak mampu melakukannya. Akhirnya, pasrah. Itulah jalan satu-satunya, lagi pula dia seperti tidak punya kewenangan untuk menentukan pilihan hidup sendiri. Penawaran dengan segala janji manis dari Saka membuatnya menyerah. Berulang kali menegaskan atas penolakan pun seolah tiada guna.
"Begini saja. Kakak keluarlah dulu, aku akan menyusul." Citra meletakkan Al Qur'an berukuran kecil di atas nakas. Belum sempat tangannya sampai ke roda, kursi itu sudah berjalan akibat dorongan dari Saka. Citra hanya menghela nafas lelah, beradu argumen pada lelaki itu ternyata bisa menguras tenaga juga.
"Nduk, sini makan. Nenek sudah menyiapkan makanan kesukaan kamu." Nenek Sena menyambut kedatangan Citra dan Saka. Mengambil alih kursi tersebut dari tangan pemuda yang tersenyum lembut padanya.
"Terima kasih banyak Nak Saka, seharian ini kamu mau membantu Nenek menjaga Citra."
"Itu sudah kewajibanku sebagai calon suaminya, Nek. Mulai malam ini, Saka tinggal di rumah depan. Jika Nenek butuh bantuan Saka, Nenek bisa mendatangi Saka di rumah itu. Baik siang atau malam, Saka pasti akan segera datang."
Nenek Sena tersenyum bahagia. Akhirnya sang cucu kesayangan bisa mendapatkan jodoh terbaiknya. Di mata Nenek Sena, Saka memang tidak memiliki celah sama sekali. Perkara bagaimana dulu pria itu menyakiti hati gadis kecilnya, Citra. Tapi sekarang—Nenek Sena tidak melihat adanya kejanggalan maupun keburukan di dalam diri Saka. Nenek yakin kalau hubungan mereka pasti akan langgeng dan membawa dampak positif bagi Citra terutama kesehatannya.
Cinta bisa dipupuk perlahan, seperti tarik ulur saja, ia berharap Citra mampu meluluhkan hati pria itu. Mungkin dengan bantuan doa yang akan dia panjatkan setiap hari, Citra dan Saka bisa melewati masa-masa sulit dan berbahagia selamanya. Tidak ada perceraian, tidak ada perpisahan. Nenek Sena perlu lebih giat lagi merayu Allah agar semua doanya bisa terkabul.