"Berikan saya buahnya," perintah Mawar
Nayla menatap tajam Mawar ia tak pernah menyukai gadis itu bagi Nayla siapapun wanita yang menganggu Tuan Muda ia juga tak akan menyukainya kaerna perintah Adinata agar tak menyakiti Mawar ia lakukan.
Elis menguping pembicaraan Nayla dan Mawar lalu ia sedikit membungkuk agar tubuhnya tak terlihat
"Baguslah Mawar datang."
Saat pulang tadi bersama Nayla. Elis getir akankah bisa bertemu lagi dengan Mawar, ternyata doanya terkabulkan tanpa diminta Mawar datang sendiri
Mawar menaikan sebelah kakinya di atas paha lalu mengambil sepotong buah dimasukkan ke dalam mulut.
"Apa ada perlu dengan Tuan?" Nayla akhirnya buka suara setelah beberapa menit kedatangan Mawar membuatnya menjadi dingin
"Emang salah kalau aku berkunjung?" tanya Mawar balik wajahnya judes
Andai bukan perkataan Adinata dipastikan mulut gadis manja itu akan terkubur menimbulkan bukan padshal. Nayla hanya bertanya malah balik bertanya. Akhirnya Nayla membiarkan gadis manja itu menikmati makannya. Nayla kadang bingung mengapa juga Tuan Muda masih mengizinkan Mawar untuk berbuat seenaknya terkadang.
Saat Nayla sudah beranjak keluar karena tiba-tiba saja ponsel wanita itu berbunyi
Elis bergegas turun dari tangga kesempatan yang luar biasa. Elis mengambil kursi di samping Mawar
"Hay ...," sapa Elis berusaha menjadi tuan rumah yang ramah.
"Apa maksudmu emmanggilku? Katakan cepat." Mawar melirik jam tangan yang melilit indah di tangannya
Elis memimcingkan matanya andai kalau bukan ada maksud tujuan yang sama. Mana mau Elis bertegur sapa dengan gadis ini.
"Jadi begini aku tahu Nona sangat mencintai Tuan Adinata, saya ingin berniat untuj menyatukan cinta anda," tutur Elis serius.
"Jadi kau sudah menyerah?" Senyum sinis merekah. Sejak pernikahan Adinata dilaksanakan Mawar merasa ada yang janggal tiba-tiba saja selera Adinata berubah gadis yang berasal dari keluarga sederhana
Elis mengepalkan tangannya ternyata berbicara dengan orang kaya sama saja selalu merasa jauh lebih tinggi padahal
di atas langit masih ada langit.
Satu tarikan napas kasarnya, "Kita sama-sama.bisa saling untung Tuan Adinata tak mencintai saya. Dan saya juga sebaliknya saya merasa di sini sebagai penghalang kalian berdua." Kali ini menambahkan pemanis kata-kata. Elis juga tak sudi jika dicintai oleh pria modelan Adinata Ghardian
"Jadi ...." Mawar melepaskan garpu di tangannya, kedua bola matanya menatap intesn elis bukan saingannya juga tidak setara.
"Sejak awal aku sih yakin, Dian tak akan mencintai gadis kampungan sepertimu."
"Apaan sih aku memang kampungan tak perlud diperjelas juga, " batin Elis
"Apa anda mau bekerjasama kali ini agar saya biaa terbas dan anda bisa kembali dengan cinta lama anda Nona."
Mawar memutar bola matanya gadis kampungan dihadapannya mengulurkan tangan yang dekil itu sebagai bentuk kerjasama.
"Okey ..." sambut Mawar hanya eujung jari saja tak sudi harus berjabat tangan dengan wanita kumuh. Meski secara penampilan sedikit berubah namun statusnya tetap saja sama.
"Bisa aja sih aku lakuin sendiri tapi yah kasihan melihat dirimu."
Elis menarik kembali uluran tangannya padahal sudah berniat baik tetap saja Mawar bersikap judes
"Ini nomorku tenang saja semuanya aman tempat di mana kita bertemu nanti, tak usah pikirkan."
Mawar tak bodoh mengenal Adinata ia sudah mengenalnya selama bertahun-tahun
***
Di rumah Reza membuat sebuah bentuk protes karena orang tuanya tega menjual Kakaknya Elis
Seharian bocah itu tak mau keluar dari dalam kamar.
"Reza buka pintunya!" ketukan keras dari luar pintu berkali-kali Selina mengetuk
"Reza! Mau jadi anaj durhaka kamu, buka pintunya!" Selina memgsmbil kunci cadangan yang di babab Bibi
"Biarian saja dulu." Harzan tahu apa konsekuensi jika melakukan ini. Di awal Reza lah yang paling dekat dengan Elis apalagi ketika kakaknya mendapatkan perlakuan tidak adil. Harzan menerima semuanya ia tak marah pada anak bungsunya
"Tapi Yah ... Reza harus diberi pelajaran jangan sampai anak itu terus keras kepala lagian ini kan yang dimau, anak keras kepala itu."
Harzan memijat pangkal hidungnya lalu kemudian menepuk pundak putri keduanya, "Biarkan saja sampai dia tenang."
Suara gendoran pintu tak membuat Reza untuk keluar. Kedua mata lelaki itu sembam sudah berjam-jam ia mengurung diri dalam kamar
Saat tadi tak sengaja mendengarkan percakapan ibu dan kakaknya Selina mengatakan hal terburuk tentang Elis apakah itu definisi dsri bahagia di atas penderitaan?
Teringat kembali kenangaan saat Reza baru menginjak bangku SMP ia takut tak akan memiliki teman
"Jangan bilang nggak punya teman kalau belum dicoba, mereka juga sama halnya seperti Reza yang malu duluan untuk berkenalan setidaknya satu langkah awal."
Saat itu Reza tak mengerti ap maksud kakaknya. Reza kecil hanya mengangguk
Reza menghapus air mata yang sudah berapa jam ia menangis
"Maafin Reza kak, sampai sekarang Reza belum bisa membalas semua hal yang Ka Elis kasih." Reza mengusap sebiah bingkai foto di mana diambil tepat saat Reza menginjakkan kaki ke bangku SMP
***
"Gimana Pah?" Retta bertanya penuh khawatir. Sejak sepulang dsri tempat les Reza masih belum mau berkata apapun
"Biarin aja Mah."
"Udahlah Mah nggak usah Reza sama keras kepalanya pasti gara-gara dia bawa dampak pengaruh buruk pada Reza, otaknya udah dicuci tuh."
"Selin!" tegur Retta
Selina terdiam lalu kemudian ia mengambil piring gadis itu khitmat makan
"Pah ...." pinta Retta sangat takut anak bungsunya tak mau berbicara apapun.
Harzan mengehal napas lalu kemudian ia pergi meninggalkan ruangan makan hanya tersisa Selina dan Retta
"Selin kah udah bilang, Mah, pasti otak Reza udah dicuci sama Dia."
"Harusnya Mamah dari dulu sekalian buang aja sih." Selina tak menyukai tentang Elis bahkan menyebut namanya saja enggan.
"Kamu bikin pusing Mamah aja." Retta beranjak dari ruang makan.
"Awas aja kamu! Kalau sampai mereka seperti itu lagi." Mata Selina menyorot kebencian, makanan ini terasa hambar tak ada satupun yang mau menyicipi. Selina melongos pergi meninggalkan sisa makanannya di meja
Gadis itu menyambar kunci yang ada di meja bersiap untuk menemui seseorang.
Selina menginjak pedal gas dengan kecepatan tinggi membelai jalan ibu kota
"Selalu aaja Dia!" Selina menekan stir mobil dengan kuat tepat di perbelokan gadis itu masih tetap mengemudii kecepatan tinggi
Selina mengira keluarnya Elis dari rumah semua perhatian akan tertuju padanya bodoh sekali ternyata kenangan gadis itu begitu kuat sampai-sampai Mamahnya Retta selama ini tak pernah menaikan suara menegurnya, Reza yang harusnya mendukung kakaknya malah turut membenci
"Dimana-mana juga aku yang lebih baik! Cerdas iya, cantik iya penyayang iya!"
Selina harusnya bisa menemui seseorang yang bisa membantu, mobil sport merah memasuki area jalan yan di pinggiran hanya ditumbuhi beberapa tanaman