VIAN: Malam Pertama (Part 1)
"Belum... Tapi kamu tidak perlu khawatir. Karena cinta bisa hadir seiring berjalannya waktu. Dan aku yakin waktu yang akan membuat ku jatuh cinta pada mu. Demikian pula dengan dirimu" Jawab ku.
Tak lagi Niar banyak bertanya. Masuklah ia ke dalam mobil ku. Dan ini adalah kali pertama bagi kami bersama dalam satu keadaan.
Tiada kata selain canggung yang menggambarkan keadaan kami saat ini. Jujur saja, sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Dan sesekali pula aku sadar bahwa ia mencoba melihat ku di antara celah helaian rambutnya. Juga, sesekali ia mencoba melihat ku dari kaca spion mobil. Namun tentu saja, dengan segera ia mengalihkan pandangannya tepat ketika aku memergokinya.
"Apa kita langsung ke rumah sakit saja ya? Sudah hampir jam dua siang" Kataku.
"Saya harus tetap pulang dulu, Dokter. Saya tidak memakai baju dinas perawat saya"
Iya juga sih. Kalau aku tinggal pakai jas saja.
"Apa mau aku tunggu? Aku tinggal pakai jas saja sih" Lagi aku memberikan tawaran.
"Maksudnya?"
"Yaaa... Aku mengantar kamu pulang, setelah itu aku tunggu kamu bersiap, lalu kita berangkat ke rumah sakit bersama"
Hanya Niar menatap ku. Dan dari tatapannya itu aku tahu jawabannya adalah... Tidak!
Selang beberapa waktu, usai aku mengantar Niar. Lekas aku pulang. Namun sekejap kemudian aku lantas meninggalkan rumah lagi.
Tiba aku di rumah sakit dan baru ku injakkan kaki ku di IGD. Ku lihat telah ada Niar yang baru saja tiba pula. Ia meletakkan tas kecilnya di atas meja. Lalu dengan napas tersengalnya iaendengarkan penjelasan perawat seniornya. Atas pasien sedari pagi tadi.
"Tinggal di balut saja lukanya" Ucap Dwi pada Niar.
"Iya... Terima kasih, Kak"
Belum ia menyadari kedatangan ku. Oleh karena nampaknya ia berniat hendak menangani pasien yang tadi Dwi sampaikan padanya. Setelah ia mengambil sejumlah kasa dan beberapa keperluan lainnya. Berlalu lagi calon istri ku ini menuju tirai paling selatan.
Sementara aku.
"Vian! Yeee... Melamun saja baru datang. Ini data pasien! Aku mau pulang" Tegur Arthur.
"Oh iya... Maaf, maaf... Ada yang gawat?"
"Mana ada pasien yang tidak gawat di IGD! Haish! Pertanyaan mu ada-ada saja. Cuma itu tadi ada satu pasien jatuh. Terserempet sepeda motor"
"Oh... Yang baru Niar atasi itu?"
"Ya... Oh! Itu ada satu datang lagi. Hahaha. Ku serahkan pada mu" Katanya sembari menepuk bahu kiri ku. Lalu pergi meninggalkan IGD.
Saat itu lah Niar juga baru selesai dengan pasien tadi. Lekas diletakkan wadah kecil yang tadi ia bawa. Lalu menyusul ku untuk mengatasi pasien yang baru datang ini.
"Oh selebar ini! Harus di jahit!" Bisik Niar lirih.
Ya. Seperti yang Niar katakan. Pasien yang baru datang ini adalah pasien dengan luka lebar di pelipis kanannya. Cukup lebar dan sangat dalam sehingga harus di jahit.
"Aduh... Sakit..." Keluh pasien ini.
"Tahan! Tahan dulu sakitnya ya! Bagaimana dokter? Tidak harus di jahitkan?" Tanya sang wali.
"Maaf, Bu. Harus di jahit!" Jawab ku. "Ambilkan jarum dan benang!" Pinta ku pada Niar.
"Baik, Dokter"
Lihat lah lagi untuk kali ini. Bahkan aku hanya berkata ambilkan jarum dan benang. Tapi aku yakin Niar akan kembali dengan jenis benang yang tepat untuk luka pasien kami ini. Juga pasti ia akan membawa alat lainnya.
Dan benar saja! Seperti yang ku katakan. Dia memberikan semua yang ku butuhkan dalam satu wadah. Tepat dan benar, seperti seharusnya.
"Ada yang dokter Vian butuh kan lagi?"
"Ada" Jawab ku.
"Apa, Dokter?" Katanya.
"Kamu! Tetap di sini!" Jawab ku lagi yang tanpa sadar sedang menggodanya.
Niar menurut. Jadilah kami merawat pasien ini bersamaan. Bukan yang pertama memang. Namun oleh karena dalam hitungan jam kami akan segera menikah. Merawat pasien kali ini seketika menjadi sangat berbeda.
"Potong!" Kataku. "Kamu selesaikan sisanya ya! Bisa kan?"
"Bisa... Eeee maksud saya... Iya... Baik, Dokter" jawab Niar salah tingkah.
Ku percayakan pasien itu padanya. Tak perlu aku mengawasinya. Atau memberinya perintah lagi. Karena setelah ia selesai dengan pasien tadi. Ia pun tahu apa yang di lakukan.
Kembali aku ke tempatku. Ku lihat beberapa perawat lain pun nampak sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Masuk aku ke ruang istirahat. Seperti biasa, tempat ini selalu jarang di gunakan. Oleh karena hanya kami gunakan untuk sekedar istirahat, sembahyang, atau meluruskan kaki.
Selang beberapa menit. Masuk pula Niar ke ruangan ini. Dan terkejut lah ia melihat aku berada di sini.
Oh sudah selesai rupanya dia.
"Permisi, Dokter" Katanya yang merasa canggung.
Aku mengangguk.
Sementara ia mendekati lemari brankasnya. Hendak mengambil sesuatu. Lalu barulah aku teringat satu hal.
"Besok masuk apa?" Tanyaku.
"Besok? Eeee... Besok... Eee... Ma, malam... Malam pertama, Dokter. HOH! Bodoh!" Katanya yang ternyata salah menjawab.
Dipukulnya wajahnya itu dengan tangannya sendiri.
Tapi jujur saja, aku juga terkejut dengan jawabannya. Karena ya, memang besok malam pertama ya. Malam pertama kami menjadi suami istri. Tapi besok juga malam pertama harus berjaga di rumah sakit. Dan kini, dua kata yang biasa terucap untuk tenaga media macam kami ini menjadi berubah makna sebab situasi kami berdua.
"Sudah dapat pengganti?" Tanya ku lagi.
"Belum... Dokter Vian sudah dapat pengganti? Besok dokter Vian juga jaga malam pertama kan?"
"Iya... Aku pun belum dapat pengganti. Kalau tidak dapat pengganti, kita kena denda ya. Satu orang lima ratus ribu, berdua jadi satu juta" Tambah ku.
Sejenak kami terdiam.
"Kalau besok tetap masuk saja bagaimana? Acaranya tidak sampai larut malam kan?" Kataku menawarkan hal yang konyol.
"Eee iya sih. Saya tidak apa. Tapi apa dokter Vian tidak akan lelah. Karena malam pertama biasanya sangat berat dan melelahkan. Apalagi acara esok akan berlangsung sepanjang hari. Lalu malamnya kita harus tetap terjaga sepanjang malam" Jawab Niar.
Tepat di situ. Tiba-tiba terpikirkan oleh ku untuk menggoda calon istri ku ini.
Berjalan aku mendekatinya. Benar-benar ku buat begitu dekat dengannya seperti hendak mencium atau melakukan sesuatu padanya. Ku layangkan satu tangan kiri ku. Hendak menyingkap sehelai rambutnya. Gemetar sudah calon istri ku ini. Kedua bola matanya bahkan melebar tanda ia sangat gugup. Yakin aku jantungnya pasti akan berdebar sangat kencang. Kemudian aku berbisik lirih di telinganya.
"Ya... Biasanya... Jika malam pertama itu memang sangat melelahkan karena kita harus tetap terjaga sepanjang malam"
Niar menghela napas panjang. Menelan ludahnya. Dan paham ia bahwa aku mengatakan makna yang berbeda dengan yang ia katakan tadi.
Lalu aku pun berisik lagi di telinganya. Menawarkan satu hal yang gila.
"Bagaimana... Kalau malam pertamanya di rumah sakit saja"