VIAN: Mengenal Daniar
Baru aku terjaga setelah beberapa jam beristirahat. Bangkit aku dan ku lihat keluar jendela. Lalu berganti ku lihat jam di handphone ku.
Astaga! Sudah sore! Lama sekali aku dan Niar tertidur.
Lantas ku lihat istri ku.
"Lha! Kamu sudah bangun, Niar?" Tegur ku.
"Hem... Iya" Jawabnya seraya membangkitkan sebagian tubuh ku.
"Sejak kapan? Kenapa tidak membangunkan aku?"
"Sejak tadi. Tidur dokter Vian pulas sekali. Saya tidak tega" Jawabnya.
"Agh! Seharusnya kau bangun kan saja aku. Tidak apa"
Niar mengangguk sembari menundukkan kepalanya.
Hemp... Jangan-jangan dia tidak membangunkan aku karena dia masih merasa malu.
Sepertinya iya ya!
"Mau makan sesuatu tidak? Sepertinya sedari tadi kita belum makan apapun" Tawar ku.
"Boleh... Mau saya masakkan?" Katanya.
"Kamu bisa masak?" Tanya ku meragukannya.
"Bisa... Hanya untuk bertahan hidup" Jawabnya sembari menggerakkan kedua tangannya ke depan.
Entah apa maksudnya. Aku hanya tertawa saja melihatnya karena sangat lucu ia di mata ku.
Turun kami dari ranjang. Bersama kami menuju dapur dan membuka pintu kulkas. Lalu masih bersama pula, kami terkejut melihat isi kulkas yang penuh dengan banyak kebutuhan kami selama sebulan.
"Astaga! Ibu.... Sampai menyiapkan sejauh ini. Ya Tuhan! Di rumah saja tidak pernah seperti ini" Gumam ku sendiri.
Sementara aku mengomel. Niar justru tertawa geli mendengarkan omelan ku.
"Kenapa kamu tertawa seperti itu?"
"Hihihi... Dokter Vian lucu jika mengomel. Hihihi" Jawabnya.
"Haish! Ya sudah... Itu.. Ada ikan, ada daging, dan banyak sayur... Terserah diri mu lah ingin membuat apa. Aku pasrah saja" Tambah ku sembari berlalu meninggalkannya.
Duduklah aku di ruang tengah. Ku ambil handphone ku dan tentu saja sesekali aku mencuri pandang ke arah istri ku yang tengah berusaha hendak melayani ku untuk pertama kalinya.
Tiga puluh menit berlalu. Niar lantas memanggil ku. Di katakan nya bahwa ia telah selesai dengan masakan pertamanya. Lalu meminta ku untuk menghampirinya.
Hemp! Baiklah! Ingat, Vian! Kau harus memuji masakannya! Jangan sampai kalian bertengkar untuk pertama kalinya hanya karena makan malam ini.
"Bagaimana, Dokter?"
Nah! Kan! Hem!
"Hambar ya?" Katanya.
"Hah? Kalau urusan makanan hambar aku sudah biasa. Makanan di rumah sakit jauh lebih hambar" Jawab ku.
"Berarti masakan saya hambar donk" Tambahnya.
Yaaa... Aku salah bicara! Aduh!
"Eeee ma, maksud ku... Tidak kok tidak hambar. Enak, enak! Sungguh! Hem!" Jawab ku berusaha memujinya.
Namun. Niar justru lagi menundukkan kepalanya dan berkata.
"Mohon maaf ya, dokter Vian. Saya belum tahu makanan apa yang menjadi selera dokter Vian"
Aku tertegun mendengar ke rendahan hatinya.
"Tidak apa... Wajar jika kamu belum tahu. Tapi pada akhirnya nanti, kamu yang akan mengetahui segalanya. Bahkan melebihi diriku sendiri" Jawab ku berusaha membesarkan hatinya.
Banyak yang belum aku tahu tentang Daniar. Juga sifat rendah hatinya saat ini. Yang jujur saja, perlahan membuat ku semakin luluh.
"Mau saya ambilkan air, Dokter?" Tawarnya.
"Egh? Iya..." Jawab ku mengangguk kecil.
Hemp...
"Ini, Dokter" Katanya sembari menyodorkan segelas air putih.
Lagi aku mengangguk.
Seketika saat ini aku menjadi malu untuk melihat istri ku ini. Tiba-tiba saja ku rasakan ada hal yang berbeda yang tengah ku rasakan. Berkecamuk memenuhi seluruh hati dan jiwaku. Membuat ku merasa sesak dan nyaris tak bisa bernapas. Namun, aku senang.
"Dokter Vian tidak apa? Kenapa tiba-tiba sesak napas?" Tanya Niar yang mulai khawatir.
"Egh, tidak... Tidak apa..."
"Tersedak?" Tanya ia lagi sembari berjalan mendekat.
Lalu dengan berani ia menepuk punggung ku perlahan. Sungguh dekat sekali ia dengan ku saat ini. Hingga ku rasakan hembusan napasnya yang mengenai helaian rambut juga pelipis mata ku.
"Mau saya ambilkan minum lagi, Dokter?" Tawarnya lagi.
Belum aku menjawab namun dengan sigap ia lekas meraih gelas kosong yang tadi ia berikan padaku. Lalu segera ia memenuhi lagi gelas itu dengan air. Diberikannya lagi padaku dan meminta ku lekas menghabiskannya.
"Sudah lebih baik?" Katanya.
"Iya..." Jawab ku lirih.
Lagi ku lihat istri ku ini. Namun kali ini dengan hati ku yang lebih tenang memandangnya. Lalu muncul dalam diri ku. Keinginan untuk mengenalnya lebih jauh. Lebih banyak lagi.
"Kenapa kamu dulu ingin menjadi perawat?" Tanya ku tiba-tiba.
"Hemp? Kenapa ya? Tidak ada alasan sih... Ingin saja" Jawabnya sembari meneguk segelas air.
Lalu benar-benar aku menanyakan banyak hal tentangnya. Satu persatu dia menjawab dan lantas ia berbalik menanyakan hal yang sama pula. Jadilah malam ini kami habiskan untuk mengenal satu sama lain.
"Dokter Vian pernah tinggal di Jogja ya?"
"Ya... Dulu... Waktu kuliah. Hahaha"
"Oh.... Saya pikir. Kenapa tidak langsung ambil spesialis?" Lagi Niar bertanya.
"Ingin ku sih begitu. Tapi waktu itu bebrengan dengan Vina yang juga akan masuk kuliah. Jadi aku mengalah dan berniat kuliah lagi dengan biaya sendiri. Egh, malah menikah. Bukan sekolah lagi. Hahahaha" Jawab mengajaknya bercanda. "Kamu sendiri dulu diploma dimana?"
Lalu tepat di situ, jawaban Niar sungguh membuat ku makin kagum padanya. Namun juga membuat ku menjadi sangat malu menjadi suaminya. Oleh karena.
"Saya tidak pernah menempuh diploma. Saya langsung menempuh sarjana. Waktu itu saya ambil program studi perawat. Karena di Universitas Jember belum ada profesi perawat. Jadi saya harus mengambil profesi dulu jika ingin bekerja. Karena merasa tanggung, langsung saja ambil magister dalam satu waktu. Beruntung saya mampu. Tepat satu bulan setelah saya ujian profesi, saya ujian magister. Selesai sudah dalam satu waktu"
Aku ternganga.
"Hagh? Bisa kamu menempuh keduanya sekaligus?" Tanyaku.
"Iya... " Jawabnya sembari mengangguk.
Jujur aku sangat terkejut. Lalu terlintas dalam pikiran ku. Jangan-jangan, gelar doktor pun juga sudah ia dapat.
Dan saat ku tanyakan hal itu. Jawaban Niar adalah.
"Iya... Sudah"
"Hah? Yang benar? Jangan bilang semua itu kamu lulus dengan pujian"
"Hehehe...."
Niar mengangguk.
Entah seberapa besar kagum ku saat ini padanya. Tentu semakin besar ku rasa. Ternyata benar firasatku selama ini. Bahwa rupanya Niar lebih dari pintar dan lebih dari yang ku tahu.
"Aku jadi malu pada mu" Kataku merendah.
"Kenapa harus malu?"
Jawabannya sudah jelas ya, mengapa aku merasa malu padanya. Apalah lagi jika bukan karena istri ku ini adalah seorang doktor. Dan aku dokter biasa.
"Saya tidak berniat membuat dokter Vian merasa rendah diri. Bagi saya itu hanya gelar. Tidak akan merubah status dan derajat saya sebagai istri dokter Vian. Saya akan tetap berada di bawah. Dokter Vian yang di atas" Tambahnya.
Waduh! Itu kenapa kalimat terakhirnya artinya kemana-mana ya? Hemp!
Ya tapi aku tetap bangga padanya. Dan seperti yang ia katakan, Kelak aku yang akan berada di atasnya.