NIAR: Kenapa Dokter Vian?
Benar saja. Satu minggu berlalu setelah ucapan tanpa pikir panjang ku saat itu. Benar-benar orang tua ku menjodohkan aku dengan seorang laki-laki. Laki-laki yang sangat aku kenal baik oleh karena kami berada di satu ruang yang sama. Juga di rumah sakit yang sama. Laki-laki yang kemarin menegur ku atas drama yang ku buat di IGD. Laki-laki yang orang tua ku pilih untuk menutupi aib keluarga kami. Dokter Vian!
"Ternyata kalian sudah saling kenal ya? Tak ibu sangka ternyata kalian bekerja di rumah yang sama. Bahkan kalian juga satu ruangan" Ucap ibu ku.
Adapun saat ini aku dan dokter Vian saling beradu pandang. Tanpa sedikitpun kedua bola mata kami ini berkedip. Namun tentu dua sorot bola mata kami ini memiliki yang berbeda. Aku yang begitu panik dan menahan malu. Sedang dokter Vian dengan tenangnya memandangi ku.
HAAAAAAAAAAA! Kenapa harus dokter Vian? Dari jutaan laki-laki di dunia ini. Kenapa harus dokter Vian? Kenapa harus dia? Kenapa harus dia sih? Kenapa harus dokter Vian? Astaga!
HAAAAAAA!
Boleh tidak sih aku mencabut ucapan ku tempo hari? Astaga! Ya Tuhan! Ya tidak dengan dokter Vian juga donk.
Haduh...
Bagaimana bisa aku akan menikah dengan dokter ini? Astaga! Mau ku letakkan di mana wajah ku? Sedang ia tahu benar bagaimana aku putus dengan Tomi minggu lalu. Bahkan dia yang menegur ku karena telah membuat onar di IGD.
Haish!
"Kami tinggal dulu ya. Kalian coba mengobrol lebih dekat. Kami akan selesaikan beberapa urusan yang menyangkut pernikahan kalian esok hari" Ujar ibu ku tiba-tiba.
"Jika perlu, nanti kamu antar Niar pulang ya, Vian. Lalu jika masih sempat dan ada sedikit waktu sebelum kalian berangkat ke rumah sakit, kamu juga bisa bawa Niar ke rumah kita dulu. Agar bisa lebih saling mengenal. Ya... Vian?" Tambah ibu dokter Vian.
Dokter Vian pun mengangguk.
Berlalu sudah kedua ibu kami itu. Sejenak aku memperhatikan ibu ku yang terus saja melangkah bersama ibu dokter Vian. Seolah sebagian diri ku ini ingin lari dan mengejar ibu. Juga untuk menghindari perjodohan ini. Namun, kedua kaki ku ini justru tetap diam dan tak mau bergeming.
Haish! Sial! Sial! Sial! Sial! SIAL!
"Jadi... Kemarin kamu putus dengan tunangan mu?" Tanya dokter Vian memulai obrolan.
"I, iya, Dokter..." Jawab ku.
"Hemp? Tidak perlu memanggil ku dokter lah. Kita tidak sedang di IGD sekarang. Lagi pula, dalam beberapa jam kamu juga sudah menjadi istri ku. Masa iya pada suami mu sendiri kamu masih memanggil ku dokter begitu?"
"Eeee... Sudah terbiasa saya memanggil dokter Vian dengan gelar dokter Anda" Jawab ku.
"Waduh! Pakai Anda lagi. Hemp... Astaga. Lalu aku harus memanggil mu perawat begitu? Biar serasi sekalian" Katanya yang nampak hendak bercanda.
Iya tentu saja itu hanya bercanda kan? Mana mungkin dia memanggil ku perawat seperti itu? Kan tidak lucu.
"Lalu... Berapa mahar yang kamu minta?" Tanya dokter Vian mengejutkan ku.
"Mahar?"
"Iya mahar... Kita akan menikah kan? Kan harus ada maharnya" Tambahnya.
Makin aku merasa canggung mendengar pertanyaan itu. Andai Tomi yang menanyakannya. Aku pasti akan langsung menjawab dengan ringannya. Namun ini dokter Vian. Yang sudah seperti atasan ku sendiri walau ia bukan kepala IGD.
"Katakan saja! Tidak perlu malu. Agar bisa aku persiapkan pula!" Tambahnya.
"Emp... Apa saja. Akan saya terima"
"Hemp? Nanti hanya ku beri lima ratus rupiah bagaimana?" Katanya lagi.
Hah? Ya tidak lima ratus rupiah juga donk!
"Hem...." Aku tersenyum.
"Tidak mau kan? Sudah sebutkan saja! Tidak apa. Jika aku mampu aku akan memenuhinya" Tambahnya.
Ku hela napas panjang. Ku telan ludah ku. Lalu ku jawab pertanyaannya.
"Lima ratus rupiah. Itu mahar yang saya minta" Jawab ku.
Dokter Vian terkejut.
"Ha! Eee ta, tadi aku hanya bercanda. Tidak apa kok lebih dari itu. Sungguh!" Jawabnya membela diri.
"Saya sudah menjawab... Terserah dokter Vian. Jika memang hanya lima ratus rupiah mahar yang dokter Vian berikan pada saya. Saya akan terima. Tapi, jika dokter Vian ingin melebihkan, itu terserah dokter Vian. Saya tidak menuntut" Pungkas ku.
Lagi dokter Vian mengangguk.
"Lalu... Tidak perlu cincin kan? Apa kamu masih butuh benda itu? Jika memang iya tidak apa... Setelah dari sini kita bisa beli" Tanya dokter Vian lagi.
"Tidak perlu! Tidak akan pernah saya pakai. Terlebih untuk dokter Vian" Jawab ku menolak tawarannya.
"Tapi jika memang kamu mau tidak apa, bisa disimpankan" Tambahnya.
"Tidak perlu, Dokter. Tidak apa!" Lagi aku menolak.
Ya! Benda itu tidak penting bagi ku. Sebab aku dan dokter Vian adalah tenaga medis yang tidak di izinkan untuk menggunakan perhiasan. Lagi pula, tidak mungkin aku membeli cincin dengan dokter Vian.
HAAAAA!
Jujur, belum bisa ku percaya bahwA dalam hitungan jam adalah hari dimana aku dan dokter Vian akan resmi menjadi sumi istri. Masih saja ku pikirkan tentang malu luar biasa yang harus ku tekan mulai saat ini.
"Setelah menikah, kita tinggal di rumah ku ya. Kamu mau kan?" Tawar dokter Vian
"Dengan orang tua dokter Vian maksudnya?" Balik aku bertanya.
"Oh tidak. Maksud ku di rumah lama ku yang sudah lama tidak di tinggali. Tidak jauh dari rumah mu sebenarnya"
Oh! Ku pikir! Tinggal dengan mertua. Hemp!
Aku mengangguk. Seraya aku menuruti tawaran dokter Vian. Bak seorang istri yang mulai menuruti perintah suaminya.
Banyak sekali pertanyaan dalam benak ku ini. Tepat ketika aku melihat kedua bola mata dokter Vian yang tampak sangat tenang sekali. Juga pergerakannya sedari tadi yang begitu santai. Seolah tiada beban sedikit pun dalam dirinya yang akan segera menikahi ku. Padahal ia tahu benar bagaimana drama putusnya aku dengan Tomi.
"Kenapa melihat ku seperti itu?" Katanya yang sadar bahwa aku tengah memperhatikannya.
"Ada yang ingin saya tanyakan!" Jawab ku.
"Ya... Tentu.. Silakan" Katanya yang benar-benar terlihat tenang.
Namun, semua pertanyaan ku ini tak lantas keluar begitu saja. Oleh karena banyaknya keheranan dalam diri ku. Hingga aku bingung harus memulai pertanyaan ku sendiri.
"Kenapa diam? Aku menunggu pertanyaan mu" Tegurnya.
Ku ambil napas panjang. Ku tata hati dan pikiran ku. Lalu mencoba memikirkan hal yang benar-benar ingin aku tanyakan.
"Bagaimana orang tua kita bisa saling mengenal? Hingga mereka bisa menjodohkan saya dan dokter Vian"
"Emp... Untuk itu. Sepertinya kamu menanyakan pada orang yang salah. Karena aku juga tidak tahu jawabannya. Mungkin kamu bisa menanyakan sendiri pada ayah dan ibu mu" Jawab dokter Vian.
Tidak! Tepat di situ aku menangkap ada hal yang seolah dokter Vian sembunyikan dan ia tidak ingin memberitahu ku secara langsung. Terbukti dari kedua bola matanya yang kemudian berkedip dan mengalihkan pandangannya. Seolah ingin menghindar.
Lalu dari jawaban dokter Vian itu lah aku menemukan pertanyaan yang memang seharusnya aku ajukan. Saat ini juga.
"Ada yang ingin kamu tanyakan lagi?"
"Ada..." Jawab ku singkat.
Ku busungkan dada ku. Ku ambil banyak napas panjang. Lalu ku beranikan diri ini untuk menanyakan hal penting lainnya.
"Kenapa? Kenapa dokter Vian mau di jodohkan dengan saya?"