Chereads / Surga Mimpi / Chapter 16 - Lawan Sesungguhnya

Chapter 16 - Lawan Sesungguhnya

"Sepertinya kami dapat tamu yang menyebalkan."

Ada suara asing tak diundang di sini.

Tempat ini lumayan remang-remang. Aku masih bisa melihat dalam jarak tertentu. Jadi, aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa itu. Bahkan meskipun aku bisa melihat dengan jelas, pasti aku juga tidak kenal.

Belum tahu apa yang harus kulakukan. Aku menjaga Nata sambil seolah menunggu kehadiran orang itu.

Perlahan, aku bisa melihat sesuatu yang gelap membentang di punggungnya. Peri? Apakah ada peri yang menunggu tempat ini? Mereka tidak memberi tahuku.

Kupikir hanya ada satu orang. Seseorang muncul seperti bersembunyi di belakangnya. Yang ini juga punya sayap.

Entah teman atau musuh, dari kalimat yang dia keluarkan, sepertinya kedatangan kami mengganggunya.

"Anu ... maaf, kalian peri penjaga tempat ini, yah? Cla ... bukan, maksudku Ratu Peri. Itu, aku ... eh, kami sudah diberi izin ke sini." Aku berjuang keras meskipun pengucapanku masih terbata-bata.

"Peri penjaga? Oh, betapa tidak sopannya. Jadi kamu dikirim peri baru sialan itu untuk mengalahkan kami?"

Hah? Dia malah marah. Apakah aku tidak sengaja membuat kesalahan?

Dia menyebut peri sialan. Bukankah itu kasar? Kalau dia dari ras sama, harusnya dia menghormati ratunya. Tapi aku lebih tak paham dengan maksudnya yang bilang kami dikirim untuk mengalahkannya.

"Eh, enggak. Kami ... kami cuma latihan." Aku menjawab sejujur mungkin.

"Cuih, omong kosong!"

BRAK!

Dia orang berkepala panas!

Apa salahku? Aku hanya jujur, tapi tanggapan yang kuterima dia meludah dan melayangkan serangan.

Bukannya aku tidak bereaksi dengan cepat. Dia mengeluarkan sihir angin lebih cepat dan memukul kami hingga terhempas ke dinding.

Aku memeriksa Nata sebentar. Tidak ada luka, tapi aku yakin kalau dia bangun, dia juga merasakan sakit yang sepertiku.

Apa-apaan orang ini?

"Tunggu! Kami bukan mu–"

Suaraku tercekat. Hantu-hantu yang seharusnya tak ada di sini tiba-tiba muncul, menggeliat keluar dari dinding dan lantai.

Seram.

Si buruk rupa mulai muncul satu persatu. Hanya dalam waktu singkat mereka memenuhi tempat ini.

Sial!

Tubuhku membeku.

Aku tidak bisa lari bahkan bergerak sedikit pun.

Yang pemberani itu Nata bukan aku!

Jadi mengapa aku yang harus dikepung hantu-hantu ini? Lebih penting lagi, bagaimana mereka bisa tiba-tiba muncul begitu saja?!

Kringgg!

Sial!

Alarm tanda bahayaku berdering keras lagi.

Kali ini apa lagi?

Eh?

Aku terjatuh? Kenapa? Perasaan aku belum diserang ....

Tunggu!

Ada yang aneh di kakiku ....

"ARGH!"

Aku mengerang kesakitan.

Persetan dengan rasa takut yang sempat menguasai tubuhku! Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak setelah menyadari ... kakiku terpotong.

Rasa sakit yang amat menusuk ... bahkan teriakkanku tak bisa mengalihkan rasa sakitnya.

Dengan kedua belah kaki yang terpotong, bagaimana bisa aku masih berdiri?

Aku tersungkur di tanah, jatuh ke genangan darah yang terus merembes ke luar dari kakiku.

Sakit ....

"Hmph! Ternyata cuma pemula. Ah, mereka memang membosankan, yah. Kupikir aku bisa dapat hiburan yang bagus daripada terus bermain dengan hantu-hantu ini."

Tutup mulutmu!

Bagaimana kamu bisa mengatakan hal sekejam itu di depan orang yang sedang sekarat?

Pria yang di sampingnya juga sama-sama memasang wajah bosan.

"Benar! Membosankan. Hei, kalian semua. Kalian sudah boleh makan mereka."

Makan? Kau bilang ... makan?

Hantu itu ... tidak makan manusia? Eh, apakah benar? Aku belum pernah sama sekali bertemu hantu secara langsung, tapi mereka hanya meneror sampai mati ... bukan makan, 'kan?

Hantu-hantu itu benar-benar patuh. Mereka pasti yang mengendalikan semua hantu di sini, 'kan?

Rasa sakit yang teramat sakit masih bisa kurasa. Aku tak bisa menghentikan pendarahannya. Kalau terus seperti ini, bahkan jika aku tak benar-benar dimakan hantu-hantu ini, aku bisa mati kehabisan darah.

Matikah? Apa memang sampai di sini saja?

Mati ....

Ya, seharusnya aku tak perlu menyandang gelar ini. Sangat merusak reputasi pahlawan!

Sekali lagi aku melihat mereka semua. Mereka jelek dan siap akan menerkam kami ....

DUAR!

Eh? Ada apa? Aku seperti mendengar suara ledakan yang keras entah dari mana asalnya.

"Hihihi ... sa-sakittt .... AAA!"

Hantu-hantu ini tiba-tiba bertingkah aneh. Apa yang terjadi dengan mereka?

Namun, saat aku melihat ke bagian bawah tubuhnya yang tak menapak, aku baru menyadari perlahan-lahan tubuhnya menguap.

Tidak hanya itu, tanah tiba-tiba bergetar. Gempa bumi?

"Ck! Rendy ... Cla! Kalian benar-benar berengsek. Aku ... pastikan melenyapkan kalian kali ini."

"Sel, ayo kita pergi dulu!"

Mereka sepertinya marah. Jadi, apakah ini ulah keduanya?

Mereka melakukan teleportasi dengan cepat dan dalam sekejab keduanya menghilang dari pandangan.

Hantu-hantu terus menjerit kesakitan. Jeritan yang lebih putus asa bahkan membungkam teriakkan kesakitanku.

Mereka terus menguap tanpa bisa dicegah. Tak butuh waktu lama mereka pasti menghilang.

Itu bagus, tapi ....

Tanah masih bergetar, dinding-dinding perlahan retak dan hancur. Kalau terus seperti ini, bahkan kami pun bisa mati.

Bukannya ini tak ada bedanya?

Kalau ini benar-benar perbuatan keduanya ... aku dikhianati?

Ah, pandanganku mulai mengabur. Sepertinya aku akan pingsan atau ... bukan sekadar pingsan lagi.

Namun, sebelum aku benar-benar hilang kesadaran, sepertinya aku mendengar suara.

"Tuan Arga, Nata! Bertahanlah. Ayo minum ini." Aku tak bisa melihat dengan baik, tapi dari suaranya aku bisa menebak kalau itu Lola.

Aku merasakan sesuatu dimasukkan ke dalam mulutku. Aku tak tahu apa itu, tapi karena itu Lola, aku menerimanya begitu saja.

Rasanya pahit, tapi aku bahkan punya tenaga untuk sekadar mengeluh.

"Kak Arga! Kak Arga, hey! Bisa dengar Nata? Jangan mati dulu!" Ah, itu Nata. Dia sudah sadar, yah.

Aku ingin berusaha menjawab, tapi ....

"ARGH!"

Apa itu?

Sakitnya ... sakitnya ...

SAKITNYA KETERLALUAN!

Bukan hanya di kaki, tapi sekujur tubuhku.

Panas juga ...

PANAS!

Aku menggeliat kepanasan, ingin menghilangkan rasa sakit ini sesegara mungkin, tapi ...

"ARGHHH ...!!!"

"Kak Arga!"

***

Apa yang terjadi?

Uh, kepalaku pusing. Mereka terlalu berisik. Apa yang mereka lakukan?

Aku mencoba bangun dan melihat sekeliling, mencari asal dari mana keributan yang mengganggu ketenanganku.

"HYAAAH! Sial! Dia terlalu cepat. Pedang Nata enggak kena-kena dari tadi."

Ting!

"Walaupun kena, dia terlalu kuat njir."

"Hey, kalian berdua berhenti mengeluh!"

"Tapi dia benar-benar kuat!"

"Cla, terus beri efek kekebalan! Aku akan menahannya selama mungkin. Lola, kau bisa sihir, 'kan? Sihir lebih berefek buat melawan mereka."

"Aku sudah berusaha, tapi mereka  juga terus menghindar serangan sihirku."

Mereka bertarung dengan ... hm? Dua peri lainnya? Kayaknya tak asing, tapi siapa yah ....

Di saat aku sedang berpikir, kepalaku tiba-tiba dipukul.

"Oi, Arga! Sampai kapan kamu diam di sana? Sudah sembuh, 'kan? Kalau sudah, cepat ke sini. Kami enggak bisa terus-terusan bertahan tanpa melawan!" Salah satu peri berdiri di hadapanku seperti sedang kesal.

Eh? Siapa dia?

"Woi! Jangan melamun astaga! Bantu yang lain juga. Aku juga punya batas kasih buat nahanin kekebalan kalian."

Kekebalan? Apa yang dia ....

"Cla?"

"Jangan bilang kamu lupa namaku? Oh, tidak! Ingatanmu benar-benar buruk. Sekarang tidak ada waktu. Peri yang kalian hadapi tadi masih menyerang kita. Ayo bantu yang lain!"

Peri ... ah, aku ingat!

Kakiku!

Aku buru-buru memeriksa. Melihat kakiku kembali utuh, aku bernapas lega. Entah bagaimana ceritanya kakiku kembali utuh, tapi aku menduga ini ulah Lola atau bahkan Cla sendiri.

Orang yang membuatku sempat buntung itu masih ada di depan kami dan sedang bertarung melawan mereka.

Tidak ada waktunya untuk terus bersantai!

Aku tidak ingin mereka merasakan kesakitan yang sama dengan apa yang kurasakan tadi.

"HAAA!!!" Nata siap melayangkan tebasan penuh.

Aku tahu itu tak cukup.

Menahan pedang Nata dalam posisi bersilangan, wajahnya terlihat kesal.

Dia mendorong pedangnya dengan santai, tapi kuat sampai Nata mundur beberapa langkah. Namun, Nata masih bisa berdiri dan tak menunjukkan tanda-tanda menyerah.

Aku menembak beberapa kali sambil menghampiri Nata dan lainnya. Namun, semua peluruku ditangkis sempurna.

Aku bisa menduga.

"Kalian enggak pa-pa?"

"Enggak, enggak, enggak. Lawannya kuat banget cuy. Woi, bukannya ini beda dari yang kalian bilang?"

"Maaf! Kami tidak tahu kalau mereka akan ke luar."

menghadapi pria bercapung hitam. Itu pertarungan yang sengit, tapi Rendy masih bisa membalas perkataan Gio.

Itu sengit, tapi tak adil rasanya untuk Rendy. Dia menggunakan perisai yang sepertinya terbuat dari akar yang dirangkai, tapi terus menerus ditebas oleh peri pria yang bersayap hitam dengan kasar.

Rendy mencoba melilitkannya dengan akar hanya untuk terus ditebas.

Itu benar-benar kasar sampai aku tak sanggap membayangkan pedang itu menyentuh yang lain.

Mungkin Rendy sengaja menahannya agar yang lain tidak menghadapinya dan fokus terhadap peri wanita yang mirip dengan Cla. Kubilang mirip sebenarnya cuma karena ukuran tubuhnya sama-sama tidak seukuran peri normal.

Jadi, yang lain fokus mencoba menyerang peri wanita ini.

"Dasar serangga! Aku akan membuat kalian menyesal karena menghalang jalanku." Dia mengeram marah. Wajahnya telah memerah.

"Nata yang harusnya ngomong gitu! Lola, tolong bantuannya."

"Ambil ini, Nat!" Lola melempar sebuah botol dari mulutnya yang tentu saja aku tidak tahu apa isinya. Tapi pasti ada hubungannya dengan sihir.

Sepertinya dugaanku benar. Ketika Nata membaluri pedangnya dengan cairan itu, tiba-tiba pedangnya diselimuti api.

"HAAA ...!" Mendorong kakinya ke tanah, Nata meloncat tinggi untuk mencapai peri yang terbang. Dia mencoba menebas, tapi tetap bisa ditahan dengan pedang wanita itu yang sama-sama dibaluti api.

Kemudian mereka terus bentrok.

Jadi, apa yang harus kulakukan?

Aku tahu aku harus membantu, tapi perasaan aneh apa ini ....

Seolah-olah ada perasaan meluap yang tak bisa kutahan.

"Nata!" Tapi aku bisa bertindak cepat saat Nata jatuh didorong peri wanita itu dengan pedangnya. "Kamu enggak pa-pa?"

Nata menggeleng berusaha tersenyum. "Nata enggak pa-pa."

Tidak!

Aku tahu dia bohong.

Dia jatuh cukup keras sampai pedangnya terlepas. Aku khawatir tulangnya ada yang patah.

"Michael! Apa yang kamu lakukan dengan pahlawan itu? Kalau terus begini, kami bisa mati."

Eh?

Michael?

Ah, aku tahu.

*

TBC