Chapter 16 - Pulang

Sebenarnya, Lu Zhichen tidak memiliki sesuatu yang spesial, selain ingin memberi dirinya satu hari libur. Lalu, dia memutuskan pergi ke tempat balap mobil. Lomba balap mobil ini mengumpulkan banyak pembalap hebat, namun tidak banyak yang menerima undangan untuk menonton. Kabarnya, ada seseorang yang memegang kendali. Namun jika Lu Zhichen membutuhkan surat undangan, tentu saja dia bisa mendapatkannya.

Beberapa hari lalu, Lu Zhichen meminta surat undangan tersebut. Dia pun bersiap pergi ke sana untuk melihat-lihat sebelum acara itu berlangsung. Hidupnya tidak akan berubah karena sebab apa pun, jadi dia juga bisa melepaskan pekerjaannya sedikit. Dalam hidupnya, tidak hanya ada pekerjaan saja.

Lu Zhichen menyentuh pergelangan tangan kirinya. Sorot matanya memancarkan kelembutan. Dia sudah lama tak bertemu gadis itu. Entah apa gadis kecil itu masih mengingatnya atau tidak. Gadis itu pasti sudah melupakannya. Bagaimanapun juga, gadis itu masih kecil ketika mereka bertemu. Sudah beberapa tahun berlalu dan mereka tidak pernah bertemu lagi. Ingatan anak-anak tidak akan bertahan lama.

Lu Zhichen mendengar tentang lomba balapan ini. Keberadaan gadis kecil yang dirindukannya sejak lama itu membuatnya memilih untuk melepaskan segalanya dan pergi ke sirkuit balapan. Sementara itu, asistennya belum pernah melihat ekspresi lembut dari atasannya yang biasa berwajah dingin ini. Lu Zhichen terlihat seolah menghargai sesuatu yang berharga.

***

Xing Jiu'an naik pesawat dan pulang ke tempat di mana dia dibesarkan. Setelah keluar dari bandara, dia menaiki sebuah mobil untuk menuju ke tempat gurunya. Pada saat ini, hari sudah mulai gelap.

Setelah sampai di tempat tujuan, Xing Jiu'an mengaktifkan ponselnya. Mu Qing meneleponnya tak lama kemudian, dia pun segera mengangkatnya.

"Kakak seperguruan … "

"Jiu'an, kamu di mana?" Suara Mu Qing terdengar agak bingung. Dia tidak mengerti kenapa saat dia baru saja keluar, adik seperguruannya ini mendadak sudah tidak kelihatan lagi. Dia mengira telah kehilangan gadis kecil ini, namun orang yang menyebabkannya khawatir malah tidak panik seperti dirinya.

Xing Jiu'an melihat ponselnya. Ternyata Mu Qing sudah mengirimkan banyak sekali pesan pribadi dan panggilan masuk darinya yang tidak terhitung jumlahnya. Mendadak dia pun merasa bersalah. Di kehidupan sebelumnya, tidak ada seorang pun yang peduli padanya hingga akhir, jadi ke mana pun dia pergi, dia tak perlu memberi tahu orang lain. Dia sendiri sudah terbiasa seperti ini. Dia lupa di kehidupannya yang sekarang ada orang yang sangat menyayangi dan memanjakannya.

Mendengar suara Mu Qing yang cemas bercampur khawatir, Xing Jiu'an dengan sopan dan patuh meminta maaf, "Maaf, aku hanya ingin pulang untuk bertemu dengan Guru. Aku kembali besok."

"Aku tak bermaksud membuat kakak seperguruan khawatir… Aku lupa."

Hanya lupa saja, itu sudah cukup membuat Mu Qing sangat khawatir. Namun, kini dia akhirnya merasa lega. Sebenarnya, dia tidak sabar ingin mengobrol dengan Xing Jiu'an, namun dia hanya bertanya, "Kamu sekarang sudah sampai? Apa perjalanannya lancar? Apa kamu sudah makan?"

Dari serentetan pertanyaan itu, Xing Jiu'an tidak tahu harus menjawab yang mana lebih dulu. Dia menjawab setiap pertanyaan Mu Qing dengan serius. Setiap pertanyaan pria itu dijawab olehnya dengan sikap yang sopan dan baik, "Aku sudah turun gunung. Perjalanannya sangat lancar. Aku akan makan ketika sampai di rumah."

Mu Qing lega mendengarnya. Dia lalu menyahut, "Kalau begitu, cepatlah pergi… Hari sudah hampir malam. Di gunung akan sangat dingin pada malam hari, jadi jangan lupa memakai pakaian lebih tebal."

"Baiklah."

Setelah menutup telepon, Xing Jiu'an mengemudikan mobil pelan-pelan. Dia tidak ingin buru-buru. Dia telah melihat setiap rumput dan pohon di tempat ini sejak dia masih kecil. Ini jelas-jelas tempatnya dibesarkan, tapi saat dia menatapnya sekarang, dia merasa tempat ini sangat asing. Saat ini, hari sudah mulai gelap di gunung dan udara menjadi semakin dingin. Baju lengan pendek dan mantel tipis yang dikenakan Xing Jiu'an membuatnya masih merasa kedinginan.

Xing Jiu'an merasa ada seseorang yang datang. Dia segera mengambil senter dan menyorotkan lampunya, lalu bertanya, "Siapa?"

Rupanya, orang itu adalah kakak seperguruannya yang tertua. Kakak seperguruannya yang tertua berusia 30 atau 40 tahun. Dengan usianya, kakak seperguruannya satu ini hampir bisa menjadi ayah baginya. Kenyataannya, jika bukan karena guru dan semua orang yang menghentikan tindakannya, dia pasti akan benar-benar mengadopsi Xing Jiu'an sebagai anaknya.