Chereads / The Rifter (Bahasa Indonesia) / Chapter 4 - Chapter 3 : White Raven Academy

Chapter 4 - Chapter 3 : White Raven Academy

Keesokan harinya, dengan badan yang masih sangat letih, dia terburu-buru menuju bandara. Puluhan pesawat jet yang mampu terbang antar planet, berlalu lalang di bandara. Ratusan mahluk dari berbagai sistem tata surya tumpah ruah di lobi. Ketika masuk ke bandara, Ryo langsung dipandu oleh duabpria kulit putih berbadan tegap dengan setelan hitam.

"Tuan Ryo?" tanya salah satu pria.

"Ya?" Ryo langsung paham untuk siapa mereka bekerja setelah mendengar cara bicaranya.

"Silahkan ikut kami, Nona Elena sudah menunggu di pesawat."

Dengan dua pengawal di sampingnya, dia dipandu menuju hangar pesawat pribadi, dia tidak bisa menutup mulutnya ketika melihat pesawat jet pribadi berwarna putih cemerlang, dengan logo kepala burung gagak di ekornya. Tapi bukan hanya itu yang membuat Ryo terpukau. Di kedua sisi sayap pesawat, lusinan Missile dan senapan serbu tertata rapih. Lebih seperti pesawat tempur pribadi. Dua pramugari cantik menyambut kedatangan mereka dengan senyum menawan di bawah tangga, mengantar mereka bertiga masuk ke pesawat.

"Kerja bagus Zoan, Robert," kata Elena sembari mengutak atik layar hologram di depannya. Mereka berdua menggangguk dan duduk di kursi belakang Elena.

"Liu, persiapan take off."

"Baik," ucap seorang dari kabin pilot melalui pengeras suara.

Ryo mengambil tempat duduk di depan Elena dan memasang sabuk pengamannya.

"Pesawat yang bagus, milikmu?" tanya Ryo sembari memperhatikan interiornya.

"Secara teknis, ya. Aku memodifikasi pesawat ini, dari ujung moncong hingga ujung ekornya. Tapi pesawat ini juga termasuk aset kekuatan tempur White Raven."

"Oh. Pesawat AFO hanyalah lelucon jika di bandingkan dengan pesawat ini, lusinan missile hulu ledak tinggi, senapan serbu .50 Cal, dan mungkin senjata rahasia lainnya di perut pesawat."

"Oh? Pengamatan yang bagus, aku kira kau hanya murid sekolahan biasa," balas Elena.

Ryo hanya mengangkat bahunya dan tersenyum, "hanya murid culun yang senang membaca," pungkasnya.

"Pesawat akan take off, harap kencangkan sabuk pengaman," suara pria terdengar melalui pengeras suara.

Pesawat kian membumbung tinggi ke langit, pemandangan luas kota Tokyo yang di kelilingi oleh tembok benteng, mulai semakin mengecil. Puing-puing reruntuhan bangunan dapat terlihat di luar lingkaran tembok.

Perumahan yang rata dengan tanah, kawah seluas ratusan meter persegi terbentuk di sana-sini akibat ledakan. Daratan baru bermunculan di lepas pantai samudera pasifik, begitu pula daratan yang hilang karena runtuhnya struktur bawah tanah akibat eksploitasi lahan semasa perang.

Prajurit manusia, bergerilya di bawah tanah dan membangun jaringan terowongan seperti labirin bawah tanah sepanjang ribuan kilometer, di sepanjang garis pantai. Walaupun efektif, tapi penggalian labirin terowongan yang asal ini justru menjadi kuburan masal ketika pasukan musuh dari luar tata surya memborbardir posisi mereka. Wilayah yang mereka gali runtuh dan menjadi lebih rendah dari laut, dan akhirnya akan tenggelam.

Dengan kecepatan terbang hingga hingga 3 mach, di ketinggian dua puluh ribu meter. Hanya butuh tujuh jam untuk sampai di wilayah Washington DC. Tembok tinggi berwarna hitam legam menjulang setinggi lima puluh meter mengelilingi kota Washington.

Peninggalan era Kiamat Kecil, ketika Amerika berjuang mati-matian menghadapi mahluk yang disebut "Sound Eater" mahluk tanpa mata, tanpa hidung. Mulut mereka bisa melebar seakan tak memiliki tulang rahang. Mereka menyerang apapun siapapun yang menghasilkan suara.

Setelah beberapa saat, pesawat melambat dan terbang berputar. Area luas dikelilingi tembok berwarna putih bersih setinggi belasan meter, melindungi komplek bangunan dengan gaya campuran arsitektur yunani dan victoria seluas ratusan hektar. Pemandangan komplek bangunan itu sangat kontras dengan gedung-gedung lainnya di luar tembok putih.

Itulah Akademi White Raven, akademi dimana para Rifter dari berbagai dunia mengenyam pendidikan dan mendapat sertifikat serta legalitasnya. Di berbagai negara, banyak Akademi serupa yang dibangun oleh berbagai pihak untuk memfasilitasi pendidikan manusia dengan bakat khusus ini.

Pada akhirnya, profesi Rifter bukan hanya untuk bertarung di medan tempur, tapi juga untuk bertempur di medan Diplomasi dengan berbagai ras dari luar tata surya.

"Kita sudah sampai," ucap si pilot pesawat sambil memanuver pendorong jet berputar tegak lurus. Pesawat perlahan melayang turun dilapangan luas.

Seorang pria paruh baya mengenakan, Buttler Tuxedo berdiri tegap menyambut kedatangan pesawat. "Selamat datang kembali, Nona Elena," ucap pria paruh baya itu membungkuk hormat.

Elena menghampiri pria paruh baya itu dan menepuk pundaknya, "Kerja bagus, Sebastian, bagaimana kondisi di sini?"

"Semuanya berjalan dengan baik, Nyonya Katya sudah menunggu untuk makan malam."

Elena menghela nafas, menunjukan kekesalannya, "Baiklah, terserah, aku akan makan malam, kau antar Ryo ke mansion, aku akan datang setelah membereskan beberapa masalah," kata Elena dengan menunjuk pesawat jet dengan ibu jarinya.

"Dimengerti," Sebastian mengangguk, "Mari ikut saya, Tuan Muda Ryo."

Ia menurut saja ketika mendengarnya "Tuan Muda?" Ryo kebingungan dengan honorifik yang mereka pakai. Seumur hidupnya ia selalu berusaha untuk hidup Down to Earth dan dalam dua bulan hidupnya benar-benar tak tahu lagi mengarah kemana.

"Maafkan sebelumnya, harus berkenalan seperti ini, saya Sebastian Kepala Pelayan Mansion White Raven," ujarnya sambil terus memandu melewati jalan paving blok yang diapit lebatnya tumbuhan semak di kanan-kiri.

Ryo hanya terdiam, pikirannya masih memproses apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi. Tak lama kemudian, sebuah Mansion megah terlihat di depannya. Bangunan tiga lantai berwarna putih dengan pilar-pilar tinggi berdiri kokoh. Penjaga berseragam putih, membukakan pintu begitu melihat Sebastian datang.

Mata dan lehernya tak bisa berhenti memperhatikan keindahan interior Mansion itu, karpet merah membentang di setiap koridor. Hiasan-hiasan ditata dengan rapih sedemikian rupa sehingga mata tidak bosan untuk memandangnya, lukisan-lukisan besar dan kecil tergantung untuk mengisi dinding yang kosong.

"Mari saya antar ke kamar anda," ucap Sebastian.

Ryo menurut saja, setelah sampai di kamar, Kepala pelayan itu menunjukan tur kecil di dalam kamar, dan menyerahkan sebuah setelan jas makan malam untuk Ryo. Ia pun pamit untuk undur diri dengan sopan dan menutup pintu kamar.

"Keluarga kaya memang serba merepotkan," ucapnya dalam hati. Mau tak mau dia mengikuti kemauan tuan rumah dan memakai setelan yang diberikan. Ia berkaca di depan cermin, setelan itu benar-benar seperti dijahit khusus untuknya.

Sebastian sudah menunggunya di depan pintu lalu mengantarnya ke ruang makan.

Sebastian membukakan pintu ruang makan, Ryo terkagum melihat ornamen klasik yang menghiasi interior ruang makan, tidak begitu mencolok tapi terlihat mewah. Baru pertama kali ia melihat dekorasi ruangan yang antic, ketika seluruh penghuni bumi di abad ke dua puluh enam yang mengedepankan tampilan yang simpel dan futuristik.

Tetapi itu tak seberapa di bandingkan ketika ia melihat seorang wanita yang melihat keluar jendela mengenakan gaun malam berwarna hitam, dengan potongan berpola 'V' di punggung wanita itu, menambah elok lekuk tubuhnya yang terbalut kulit seputih salju.

"Selamat datang Ryo." sapa wanita itu dengan nada suara yang halus. Tatapannya teduh tapi berwibawa ketika dia berbalik dan menatap Ryo.

"Tunggu dulu, Elena?" Ryo semakin terkejut ketika melihat paras wanita itu.

Mulai dari rambutnya yang putih keperakan terlihat selembut sutra dan ia gerai ke depan menutupi dadanya, Ceruk matanya yang anggun, bibir yang merah merona walau tanpa lipstick, tinggi semampai dengan lekuk tubuh yang seksi, semuanya persis dengan Elena di mata Ryo, Hanya suara dan gesture tubuhnya yang membuat Ryo sedikit ragu.

"Haha, Tentu saja bukan, saya Katya Katyushka, pendiri White Raven," jawab Katya dengan tersenyum. Namun, Ryo masih belum percaya dengan yang ia lihat, dan tanpa sadar mengucek matanya beberapa kali, 'kembar identik' hanya itu yang ada di pikirannya.