"Aku juga ingin pulang, bagaimana jika kita pulang bersama saja?" Tanya Dion menawarkan Dian untuk ikut bersamanya.
"Pak, aku tidak ingin merepotkan mu"
"Merepotkan bagaimana? Bukankah sudah ku katakan aku juga ingin pulang. Rumah kita searah, bahkan kau dan aku adalah tetangga"
"Baiklah pak, jika kau memaksa" Ucap Diandra yang tidak bisa berkata kata apalagi.
"Lagi pula kau ini masih sekolah, kalau aku menawarkan dirimu untuk ikut bersama ku. Seharusnya kau menuruti saja, bukankah itu menjadi rezeki buatmu, ongkos mu bisa kau tabung" Ucap Dion lalu segera menarik tangan Diandra untuk berjalan menuju mobilnya.
Diandra hanya mengikuti saja, tanpa niat membantah dan menjawab penjelasan Dion. Lagi pula ia merasa, benar apa yang dikatakan oleh Dion.
Sepanjang perjalanan tidak ada yang membuka suara, keduanya sama sama sibuk dengan fikiran masing masing. Hanya suara klakson yang bergantian yang terdengar diantara keduanya. Sang matahari kini mulai meninggikan dirinya, sontak hal itu membuat semua insan yang berada di luaran sana bersuara lemas. Begitu pula dengan laki laki yang sedari tadi bersama Diandra.
"Panas sekali" Ucap Dion yang sedari tadi mengibas ngibaskan bajunya
"Pak, bukan kah AC mobil mu sudah menyala?" Tanya Diandra, yang merasakan bahwa tidak ada panas sama sekali yang menembus mobil ini.
"Dian, aku tau bahwa AC mobil ini sudah menyala. Tapi kau tau, aku tidak merasakan apa apa jika diluaran sana panas" Ucap Dion yang sesungguhnya, Diandra yang tadinya tidak percaya. Memilih melihat kearah Dion, benar saja pria yang berada disampingnya itu kini sudah berkeringat.
"Astaga pak, bajumu basah karena keringatmu. Kau bisa sakit jika begini pak" Ucap Diandra terkaget melihat pria yang ada disampingnya itu.
"Hm, bisakah kau melihat kearah sana?" Tunjuk Dion pada jendela mobil yang berada disamping Diandra. "Aku akan mengganti bajuku dulu, jangan lihat kesini sampai aku katakan selesai" Pinta Dion berharap bahwa gadis itu mengerti.
"Baiklah" Ucap Diandra lalu memalingkan wajahnya dari pria berhidung mancung itu. Tak perlu menunggu waktu lama kini Dion tengah siap dengan kemeja hitam miliknya, tentu saja hal itu membuat ketampanannya bertambah. Untung saja ibu kota kini sangat macet, hal itu membuat Dion bisa leluasa memakai bajunya tanpa takut diklakson.
"Sudah selesai" Ucap Dion, sementara Diandra hanya mengangguk tanpa berniat menjawab omongan Dion.
"Dian, maaf jika pertanyaan ku mengganggu dirimu, sejak kapan kepergian orang tuamu?" Tanya Dion to the point, sejujurnya dari tadi pertanyaan itu menghantui kepala Dion. Ingin bertanya, tapi takut menyakiti Diandra
"3 hari yang lalu" Jawab Diandra sejujurnya.
"Astaga, kejadiannya baru saja. Maafkan aku Dian, pasti hal itu membuatmu sangat begitu sakit, bukan? Maafkan aku. Aku tidak berniat ..."
"Tidak pak, tidak apa apa. Bukankah semua yang terjadi sudah kehendak Tuhan. Dan kita sebagai manusia hanya bisa belajar ikhlas" Ucap Diandra sambil tersenyum menatap wajah tampan pria yang berada disampingnya itu.
"Pantas saja, aku baru melihatmu. Dirumah Pak Riandi"
"Iya, dan itu pertama kalinya aku menginjakkan kaki disana. Jujur aku sangat merasa tidak enak pada mereka, baru pertama kalinya menginjakkan kaki dikediaman mereka, kini aku harus merepotkan mereka" Ucap Diandra sambil menundukkan pandangannya.
"Mengapa tidak tinggal dirumah orang tua mu saja, kalau begitu?"
"Ceritanya panjang pak, mungkin lain kali akan aku ceritakan" Ucap Diandra yang saat ini, tidak ingin memberitahukan siapa siapa soal dirinya dan keluarganya.
"Baiklah, sekali lagi jika ada pertanyaan ku yang menyinggung dirimu. Maafkan aku Dian" Ucap Dion berharap wanita itu mau memaklumi kekepoannya.
"Tidak masalah pak, lagi pula. Setiap masalah itu seharusnya bisa dibagi dengan orang lain yang mampu mengerti diri kita bukan?" Ucap Diandra. Ia selalu mengingat pesan ibunya, bahwa jangan pernah menahan rasa sakit sendirian, ceritakan lah pada orang terdekat maka mereka akan ikut mengobati luka. Dan jangan ceritakan pada sembarang orang, terkadang orang hanya ingin tahu, tanpa membantu.
"Kau benar, ibuku selalu berkata seperti itu. Karena aku tidak memiliki pasangan apalagi teman dekat. maka dari itu sewaktu ibuku belum dirumah sakit, aku akan menceritakan segala hal padanya" Ucap Dion sambil tersenyum, seketika dirinya mengingat masa masa dimana ia akan bercerita panjang lebar pada ibunya, sampai ibunya tertidur.
"Kenapa bapak, tidak memilik teman dekat?" Tanya Diandra
"Dulu ada. Namun, kini tidak. Kau tau kau tidak bisa mempercayai siapapun kecuali Tuhan, dirimu sendiri dan orang tuamu" Tegas Dion.
"Mengapa bapak beranggapan seperti itu?"
"Dian, kau ini polos sekali. Kau tau? Di dunia ini, orang jahat sekalipun, bisa bertopeng mengubah dirinya seakan akan menjadi orang paling baik untuk dirimu." Ucap Dion, seakan akan memberitahu Diandra untuk berhati hati.
"Ada banyak cara seseorang untuk menjatuhkan orang lain. Yang harus kau ingat adalah, Manusia itu menipu. Dan dunia itu panggungnya, Orang yang terlihat sangat mencintaimu, belum tentu benar benar mencintaimu, dan orang yang terlihat membenci mu belum tentu benar benar membenci mu. Kau bisa menilai siapapun dengan nilai berapapun. Itu hakmu, tapi kembali lagi pada kenyataannya hanya dirimu sendiri yang bisa menilaimu"
"Pak sungguh aku tidak mengerti" Ucap Diandra yang kini merasa fikirannya seperti diputar putar.
"Seseorang memang belum bisa mengerti, jika belum mengalami" Ucap dion sambil tersenyum kecil.
"Iya pak, kau benar aku belum pernah mengalaminya"
"Aku hanya bisa berharap kau tidak mengalaminya. Aku harap kau tau, kepercayaan mu sekarang hanya tertinggal untuk siapa, agar kau selamat"
"Pak, kedua orang tuaku sudah tidak ada. Itu artinya percayaan ku tertinggal hanya untuk diriku dan tuhan?" Tanya Diandra memperjelas.
"Sepertinya begitu"
"Ta - Tapi aku masih memiliki paman dan bibi ku"
"Diandra kau harus tau, bahwa orang yang paling mungkin menyakiti dirimu. Adalah orang terdekatmu" Ucap Dion.
"Iya pak, aku mengerti. Aku doakan yang terbaik untuk dirimu dan juga diriku" Ucap Diandra, entah mengapa kini dirinya seperti menemuka teman yang sebenarnya. Pria ini mampu membuatnya tenang, bahkan hanya dengan kata kata. Biasanya yang hanya mampu membuat Diandra seperti ini hanyala sang Mama.
"Terima kasih Diandra"
"Pak, Sepertinya. Kau layak untuk dijadikan contoh" Ucap Diandra sambil tertawa kecil, jujur dirinya kagum pada lelaki yang berada disampingnya ini.
30 menit berlalu akhirnya mobil mewah milik Dion tiba dikediaman Riandi, kemacetan ibu kota membuat mereka sangat begitu telat sampai dirumah.
"Terima kasih pak" Ucap Diandra lalu segera turun dari dalam mobil milik Dion tersebut, Dion hanya menganggukkan kepalanya seraya memberikan senyuman pada gadis itu.