Mereka sampai di suatu tempat yang sudah lama dipersiapkan oleh Brayan bagi Alina.
Laki-laki itu benar sangat mencintai Alina. Namun cinta yang tidak bersyarat serta tidak terungkapkan.
Brayan memegang pergelangan tangan Alina. Mereka sama-sama berdiri di tempat yang sama, udara mereka juga sama serta ini bukanlah mimpi melainkan nyata.
Berulang kali Alina menganggap dirinya sedang bermimpi atau berkhayal. Hal yang kerap dia lakukan ketika mengikuti pelajaran berlangsung.
"Al, kenapa kamu diam saja. Kamu pasti tidak bahagia ya dengan aku?" kata Brayan menatap bola matanya.
"Aku sangat bahagia, Brayan. Mana mungkin aku tidak bahagia. Dia tahun lebih aku menunggu untuk bertemu dengan kamu lagi. Lalu inilah waktunya. Aku hisa menatap mata kamu, memegang tangan kamu yang jahil dan juga bisa menyentuh kamu." Tangan Alina membelai wajahnya.
Brayan tersenyum, dia menarik tangan Alina lalu menciumnya. Dia sangat ingin melakukan ini dua tahun belakangan.
